Aku masih ingat, kala sepupuku memamerkan kuitansi pembelian sepeda BMX bermerk Golden Eagle berwarna kuning emas. Â Sepeda yang sedang hits di masa dulu. Â Mewah sekali di mataku, begitu agung menurutku sampai-sampai meminjamnya pun aku tak berani, takut jatuh dan lecet. Â
Di lain waktu, saat menginap di rumah sepupu. Â Girang bukan kepalang, karena ada BMX juga di rumahnya. Â Nyaris seharian aku habiskan dengan mengendarai sepeda pinjaman tersebut berkeliling komplek. Â Tak ada capeknya, dipinjami sepeda rasanya rejeki yang tak habis-habis disyukuri.
Oranngtua saat itu memang tak mampu membelikan sepeda, bersekolah pun hanya berjalan kaki. Â Jarak sekolah dari rumah juga tak begitu jauh sehingga cukup berjalan kaki saat pulang dan pergi. Â Sepeda benar-benar adalah hal yang mewah bagiku.
Bahkan belajar sepeda pun menggunakan sepeda ontel yang palangnya sangat tinggi.  Tertatih-tatih menelusup di antara frame sepeda saat berusaha menaikinya.  Sampai kemudian lanjut belajar dengan Phoenix punya mama, yang akhirnya hilang dicuri orang.
Sampai akhirnya, pada suatu sore, entah bagaimana ceritanya abah membeli sepeda bekas dari salah seorang keluarga. Â Sepeda dengan roda 18 inchi yang kondisinya cukup mengenaskan, tapi masih bisa digunakan. Â Tak terbayang senangnya saat itu, akhirnya punya juga sepeda sendiri. Â Bayangkan itu: sepeda milik sendiri!
Sepeda yang akhirnya saya kayuh jauh-jauh berbelas kilometer. Â Sampai akhirnya tak bisa dipakai lagi, lupa entah karena apa.
Mungkin ada sedikit dendam karena tak bisa memiliki sepeda yang 'benar', bertahun-tahun kemudian tetap memendam keinginan memiliki sepeda kayuh sendiri. Â Akhirnya dendam itu tertuntaskan juga saat bisa membeli sepeda baru, setelah bekerja. Â Walau belum digunakan secara maksimal karena belum mengerti seting sepeda yang benar, belum tahu cara fitting yang baik.
Sepeda itu pun akhirnya lama parkir di garasi dan akhirnya dibeli oleh seorang kawan.
Bertahun-tahun dendam akan sepeda berhibernasi, sampai akhirnya berkenalan dengan komunitas sepeda lama, sepeda Federal saat kuliah di Jogja. Â Saat itulah seakan-akan keinginan bersepeda kembali menyala.
Saat di Jogja juga segala pengetahuan tentang sepeda yang belum pernah aku ketahui sebelumnya, mengalir dari kawan-kawan pesepeda yang sudah berpengalaman dan menikmati jalanan dengan sepeda sejak lama.
Bagaimana cara seting sepeda yang benar, fitting agar sepeda nyaman dikayuh dalam jarak yang jauh dan waktu yang lama, bahkan cara menanjak yang nyaman. Â Semua ilmu tentang itu pelan-pelan didapatkan. Â Bersepeda pun lama kelamaan jauh terasa lebih nyaman dan dinikmati.
Entah berapa kali akhirnya membeli sepeda selama di Jogja, dari sepeda pertama yang tak tahu jenis dan mereknya, beberapa kali sempat aku jadikan sarana transportasi ke kampus, hingga akhirnya ada yang mencurinya di depan kontrakan.
Sepeda pengganti pun dibeli setelah agak mengerti akan sepeda yang bagus untuk dipakai sehari-hari, sepeda favoritku tetaplah sepeda klasik keluaran tahun 90-an, dengan frame berbentuk seperti pipa ledeng. Â Walaupun berbahan besi yang cukup berat tapi stabil untuk dipakai pada jarak bahkan beratus kilometer sekalipun.
Sepeda seperti itulah yang akhirnya nekat aku bawa pulang saat selesai kuliah, dari Jogja menuju Surabaya selama tiga hari tiga malam. Â Perjalanan yang sangat menyenangkan, walau rutenya melewati tanjakan yang luar biasa di titik Cemoro Sewu.
Begitulah, sampai sekarang pun bersepeda tetaplah hobi yang menyenangkan, apalagi dendam sudah tertuntaskan. Â Sepeda sudah bisa dibeli sendiri, cara bersepeda yang nyaman pun telah diketahui. Â Jadi menurutku, hobi haruslah dipunyai seseorang, agar hidup tak monoton, dan biasanya apapun terkait hobi pasti akan didalami, sampai sedetil mungkin. Â Biar yang namanya hobi tetap terasa menyenangkan untuk dinikmati, sampai kapan pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H