" Kalau tau begini, aku nggak mau buka hadiah dari Ayah," sesekali Ilana cemberut, ia pandangi sekelilingnya. Rupa-rupanya sangat bagus tempatnya, ia mendapati sebuah sungai kecil berwarna coklat. Ilana berlari kecil menuju sungai itu. Ia mencoba mencelupkan jari telunjuknya ke sungai berwarna coklat itu.
" Mmmmm rasanya manis. Cla, kemarilah aku menemukan sungai coklat,"Â pangil Ilana pada Claudia. Dengan tersengal-sengal Claudia menghampiri Ilana. Mata Ilana melotot tak percaya.
" Kalian bisa menikmati apa saja yang ada di negeri ini," celoteh perempuan bergaun putih nan indah.
" Cantik sekali dia, dia seperti bidadari ya Cla!"
" Mari ikut aku," perempuan bak bidadari itu mengajak dua gadis kembar itu berjalan. Seharian mereka diajak sang bidadari. Tergiang dipikiran Claudia tentang Ayah dan Ibunya. Sementara Ilana asik mendengarkan cerita sang bidadari. Tak berselang beberapa menit, Claudia menarik lengan Ilana dan berbicara di antara semak-semak kumpulan rumput putri malu.
" Coba perhatikan, tumbuhan putri malu ini biasanya jika tersengol pasti daunya mengatup. Juga duri durinya bisa melukai. Tapi disini tidak berlaku,"Â lirih Ilana, tanganya memetik bungal kecil putri malu berwarna pink, ia masukan di mulutnya.
" Lancang kamu Ilana, apa kamu lupa, ibu selalu berpesan agar selalu menjaga sikap dimanapun berada,"Â hardik Claudia emosi.
" Iya tau, bawel amat sih . Ini negeri tiada berpenghuni. Cuma ada bidadari yang tadi."
" Stop, sekarang aku mau tanya. Apa kamu memakai liontin pemberian ibu?"
" Tidak, Cla!"
Bagai elang menyambar mangsa, Claudia mengajak Illana bergegas berlari meningalkan negeri ini. Betapa Claudia merasakan dari liontin yang ia kenakan, ia bisa mendengar di dunia aslinya waktu sudah telah berjalan satu minggu lebih. Dari liontin itu ia bisa merasakan, ibunya terus memanggil dan meratapi.