Demokrastisasi adalah sistem perubahan rezim politik yang bertujuan untuk memperkuat kekuatan politik seperti strategi perang dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Gelombang Demokratisasi
Gelombang Demokratisasi I (1828-1926)
Pada periode ini lebih dari 30 negara setidaknya telah memiliki lembaga demokrasi di tingkat nasional. Dimulai dari negara-negara kategori A hingga F. Sebagai contoh negara yang mengawali demokrasi adalah AS.
Gelombang Demokratisasi Balik I (1922-1946)
Pada tahun 1920-30-an terjadi pergeseran demokrasi dan gerakan kembali bentuk ke otoriter. Pada tahun berikutnya, negara-negara kategori C hingga F, contohnya Italia di bawah Mussolini, Jerman di bawah Hitler, dan Portugal di bawah Salazar tiba-tiba balik ke arah totaliterisme, komunisme, fasisme, dan militiaterisme praktis mendominasi wacana gelombang ini.
Gelombang Demokratisasi II (1943-1962)
Setelah perang dunia II, negara-negara yang kalah perang mengikuti dinamika politik internasional. Contohnya Jepang dan Italia yang mengikuti jejak sekutu, sedangkan Jerman terbagi menjadi dua bagian, yaitu barat yang demokrasi dan timur yang komunisme. Kemudian disusul negara-negara kategori E sampai F, yaitu Uni Soviet. Saat runtuhnya kolonialisme barat, lahirlah negara-negara baru, seperti Indonesia, Pakistan, Sri Lanka, dll.
Gelombang Demokratisasi Balik II (1958-1975)
Gelombang demokrasi ini disebut fase berdarah, dan hanya negara-negara kategori A, C, dan G yang terhindar dari fenomena ini. Di fase ini sekitar 22 negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang kembali ke otoriterisme. Hal yang penting dari fase ini adalah bergabungnya kekuatan elit militer dan sipil sama-sama mengelola kekuasaan secara sinergis otoriterian dan Eropa sedang memantapkan diri untuk perang dingin.
Gelombang Demokratisasi III (1974-1990)
Fase ini muncul karenak kejadian di Spanyol, Portugal, dan Yunani, yang seolah-olah menjungkirbalikkan teori bahwa demokrasi tidak dapat hidup di negara-negara berkembang. Kemudian disusul runtuhnya rezim otoriter di beberapa negara-negara Amerika Latin dan negara Filipina. Setelah itu muncul fenomena efek bola salju yang menybabkan negara-negara Uni Soviet juga ikut runtuh.
Gelombang Demokratisasi Balik III (1991-selesai)
Tanda-tanda munculnya gelombang ini adalah adanya perubahan di negara Sudan, Suriname, dan Nigeria, naiknya Jendral Pervez Mucharraf di Pakistan, serta munculnya yunta militer Myanmar.
Isu-Isu Kritis dalam Demokratisasi
Demokrasi dan Pembangunan
Antara demokrasi dan pembangunan, keduanya sering dipertentangkan oleh para elit dalam menentukan kebijakan dalam pembangunan nasional. Pertentangan semakin tajam di negara-negara yang menuju transisi ke demokrasi. Contoh, apabila Eropa dan Amerika Utara berhasil memadukan demokrasi dan pembangunan, makanya dampak negatifnya adalah negara-negara berkembang akan mengalami keterlambatan di berbagai bidang.
Demokrasi dan Radikalisme Agama
Sebelum munculnya demokrasi sudah ada radikalisme, dan semenjak munculnya demokrasi menambah dampak radikalisme agama ini. Isu yang sering muncul adalah negara-negara yang tidak menjalankan sistem demokrasi merupakan negara yang banyak sumber radikalisme karena terlalu bebas.
Demokrasi dan Konflik
Jika konflik dihubungkan dengan demokrasi dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua, di satu sisi membawa berkah, di sisi lain membawa petaka. Demokrasi juga berarah ke konflik SARA. Saat ini negara-negara yang menikmati berkah adalah Inggris, Perancis, Jerman, dan AS. Sedangkan yang sedang menuju keberkahan adalah Afrika Selatan, Jepang, dan Eks Komunis. Demokrasi dapat menjadi petaka apabila dilaksanakan secara tanggung-tanggung.
Demokrasi dan Korupsi
Seiring berjalannya demokrasi di suatu negara. Hal tersebut menyebabkan pula munculnya korupsi. Jonathan Morgan mengkategorikan beberapa negara transisi yang sekaligus menuju masif korupsi ialah Korea Selatan dan Filipina, transisi dari bekas negara komunis ialah Uni Soviet dan Eropa, negara dekolonisasi ialah Kep. Karibia, dan negara baru seperti Timor-Timor. Di saat memasuki transisi demokrasi, negara-negara tersebut memperlihatkan gejala yang sama, yaitu negara yang keadaan lemah, proses demokrasi yang gagal, dan leberalisasi politik. Demokrasi tidak bisa dijadikan alasan munculnya korupsi karena korupsi muncul diakibatkan pemerintahannya tersebut.
Prospek Demokrasi
Kubu skeptis sejak awal sudah mengingatkan betapa terjal jalan yang akan dilalui demokrasi. Dikatakan bahwa demokrasi tidak mudah berkembang dalam realitas politik aktual. Demokrasi baru disemaikan jika tersedia lahan yang memang kondusif, dan masyarakat induvidualis yang kompetitif dan berorientasi pada pasar. Sebaliknya kubu optimistik berpendapat bahwa pasca perang dingin, orang mulai melihat perang sebagai sesuatu yang usang. Mereka optimis bahwa sisa penghalang di jalan liberalisme akan dapat disingkirkan dengan lembaga-lembaga internasional, seperti PBB, IMF, dll. Model demokrasi ini akan mengusahakan terciptanya legislatif dan eksekutif trans-internasional yang efektif pada tingkat regional dan global, yang terikat dan dan beroperasi dengan syarat-syarat hukum demokratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H