Mohon tunggu...
Muhammad Panji Romdoni
Muhammad Panji Romdoni Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Learner a new thing.. Student of Quranic Science UIN SGD Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilukada 2015: Dibawah Bayang-bayang Pragmatisme

7 Desember 2015   21:11 Diperbarui: 7 Desember 2015   21:22 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dua hari lagi bangsa Indonesia kembali akan melaksanakan pesta politik akbar. Setelah pemilu legislatif dan presiden pada tahun 2014, Tahun 2015 ini akan dilaksanakan pemilukada serentak se-Indonesia.

Sebelum pemilukada ini direncanakan, sebenarnya para politisi di Senayan telah menetapkan bahwa pemilihan kepala daerah tersebut akan diselenggarakan secara tidak langsung. Yakni pemilihan ini akan dilakukan oleh wakil-wakil rakyat, yang telah dipilih oleh rakyat. Tetapi, karena dukungan rakyat yang lebih besar terhadap pemilu secara langsung, Maka Presiden SBY menolak keputusan MPR dan membuat keputusan baru, yakni pemilihan tetap dilakukan secara langsung.

Pemilu Langsung dan Tidak Langsung

Pemilu secara langsung yang akan kita laksanakan, sangat membutuhkan dana yang besar. Dana yang digunakan untuk kampanye, penyediaan kertas suara dan penyalurannya ke daerah-daerah, semua ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apalagi, di tengah krisis ekonomi yang tengah kita rasakan dewasa ini, sangat menuntut adanya penghematan anggaran biaya yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Meskipun demikian, pemilihan secara langsung akan menghasilkan kepala daerah yang sesuai dengan pilihan rakyat. Walaupun telah mengeluarkan dana yang besar, jika memang memuaskan hati rakyat itu tidaklah mengapa.

Negara kita adalah Negara rakyat. Artinya segala sesuatunya harus sesuai dengan kehendak rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Negara kita bukanlah Negara agama. Bukan untuk agama tertentu bukan untuk suatu ras tertentu, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, apapun keputusan yang dibuat haruslah sesuai dengan kehendak rakyat.

Penulis sendiri lebih memilih pemilu yang dilakukan secara tidak langsung. Berdasarkan fakta  bahwa  Negara sumber demokrasi, yaitu Amerika, melakukan pemilihan tidak langsung yang disebut electoral vote[1], sehingga dapat kita nilai bahwa  Pemilu secara tidak langsung  akan dirasa lebih efektif daripada pemilihan secara langsung baik dari segi anggaran yang dapat diminimalisir, juga dari segi kredibilitas calon-calon kepala daerah sudah diketahui dan diformat kriterianya secara pasti. Sehingga, kepala-kepala daerah yang akan terpilih nantinya adalah mereka yang memang memiliki kredibilitas tinggi dan mampu membina masyarakat.

Akan tetapi, jika melihat keadaan hari ini, penulis kurang percaya pada kondisi politisi yang berperan sebagai penentu. Penulis khawatir jika politisi-politisi itu telah terpengaruh dengan ambisi-ambisi negatif, yang nantinya akan berpengaruh terhadap keobjektifan dalam memilih pemimpin.

Negara Demokrasi

Demokrasi, secara bahasa terdiri dari dua kata: demos dan kritos. Demos artinya rakyat dan kritos artinya kekuasaan.  Jadi demokrasi adalah kekuasaan rakyat.

Indonesia menganut faham demokrasi. Dalam sila keempat Pancasila disebutkan bahwa dasar negara kita itu adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Rakyat sebagai kekuatan terbesar yang ada di negara kita, telah menjadi simbol utama maju tidaknya negara.

Pemimpin negara demokrasi harus berasal dari rakyat. Semua orang berhak untuk menjadi pemimpin negara. Semua orang berhak untuk memilih pemimpin negara. Semua orang, tidak dibatasi oleh agama, ras dan suku tertentu.

Negara demokrasi berbeda dengan negara monarki dan aristokrasi. negara monarki kekuasaan dipimpin oleh satu orang yang biasa dipanggil sebagai raja atau kaisar. Maju tidaknya negara monarki tergantung pada suksesi kepemimpinan, apakah yang mengganti itu cakap atau tidak. Jika tidak cakap, negara monarki akan mudah hancur dan bubar. Hal ini bisa kita lihat pada perkembangan perjalanan negara-negara kerajaan. Seperti, negara Turki Utsmani yang bubar pada tahun 1940-an. Sedangkan negara aristokrasi, adalah negara yang kekuasaannya dipimpin oleh orang-orang elit saja. Kebanyakan kebijakannya merugikan rakyat biasa. Sehingga keadilan sulit untuk terlaksana.

Berbeda dengan negara monarki dan aristokrat, negara demokrasi  tergantung kepada rakyat. Maju tidaknya Negara tergantung bagaimana rakyatnya. Apakah rakyat mau ikut serta membangun negara atau duduk manis di rumah tanpa ada usaha. Sudah saatnya generasi muda dan seluruh elemen masyarakat turut berkontribusi positif bagi bangsa agar negara semakin berkembang dan maju.

Kebebasan adalah kunci utama dari demokrasi. Dalam negara demokrasi, pemerintahan bisa saja dipimpin oleh orang baik, dan bisa pula dipimpin oleh orang yang jahat sekalipun. Tak ada pembatasan dan diskriminasi. Semua berhak memilih dan berhak dipilih.

Pemilukada 2015

Kembali ke pembahasan pemilukada, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pemilukada ini merupakan cermin dari pemilu 2019 nanti[2]. Oleh karena itu, semua partai politik tengah bersiap-siap dengan sangat matang dalam memperebutkan kursi kepemimpinan kepala daerah.

Pemilukada serentak ini masih cenderung sepi. Belum terlihat adanya kegiatan-kegiatan politik di tempat yang akan dilaksanakan pemilu. Bahkan, masih ada saja calon kepala daerah yang merangkap sebagai kepala daerah yang belum mengambil cuti kerjanya untuk melakukan kampanye. Hal ini sebenarnya akan menghambat proses kampanye. Entah memang kepala daerah itu percaya diri menang, atau kalah. Entahlah.

Mungkin ada sedikit kegiatan yang bisa dilihat. Pengibaran bendera-bendera partai politik di seberang-seberang jalan mulai bertebaran. Pemberitaan di televisi-televisi juga mulai terdengar.

Apapun yang akan terjadi di Pemilukada ini, haruslah bisa diterima oleh semuanya. Yang menang jangan jumawa, dan yang kalah harus bisa menerima. Esensi dari sebuah pemilihan umum adalah mencari pemimpin yang dipilih sepenuh hati oleh rakyat. Tanpa ada paksaan, intimidasi dan suap-menyuap.

Politik sebenarnya suci, jika dilihat dari aspek teoritis. Tetapi, menjadi kotor tatkala masuk dalam tataran praktis. Politik menjadi penghalalan segala cara untuk mendapat kekuasaan. Inilah yang tercela dan tak patut ditiru oleh rakyat dari segi apapun.

Politik-politik kotor sering terjadi di masa pemilu seperti ini. Money politic dan black campaign, biasanya selalu mengisi demokrasi kita. Money politic di negara kita seakan sudah menjadi hal lumrah. Masyarakat selalu menerima masukan uang dari salah satu calon yang akan dipilih dalam pemilu. Dan jika tidak menerima, masyarakat yang sudah kecanduan ini akan meminta pada calon tersebut.

Hal-hal seperti ini merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Jika seorang calon telah memberi uang dan rakyat menerima dengan sukarela, maka ini merupakan bentuk keridhoan rakyat jika suatu saat pemimpin tersebut berlaku korup. Wajar saja jika mereka korup, terpilihnya juga dengan cara suap.

Money politic dalam masyarakat dan bahkan di kalangan ulama sudah berubah dengan berbagai istilah. Terkadang, istilah-istilah ini merupakan pembenaran akan penerimaan uang itu. Anjing tetaplah anjing walaupun dikalungi emas. Begitulah kira-kira pepatah. Jika diresapi, pemberian uang macam apapun pada masa pemilu, yang datang dari calon kepala daerah itu merupakan hal yang buruk dan tidak boleh diterima.

Terkadang, rakyat karena desakan ekonomi dan kesadaran politik yang kurang, menerima saja uang yang diberikan itu. Di sinilah seharusnya para alim ulama dan akademisi bersikap netral dan membimbing umat untuk bersikap seperti seharusnya. Jangan sampai, yang dinamai kyai atau dosen yang justru pertama kali menerima uang-uang seperti itu.

Jangan sampai kita terbelenggu oleh kenikmatan sesaat. Kita menerima uang, katakan saja misalkan 50.000. Kita hanya berfikir instan, tak melihat efek yang akan ditimbulkan dari perilaku kita. Kita akan menderita selama lima tahun. Hanya karena menerima 50.000. Bayangkan itu!

Selain money politic tadi, yang menjadi masalah dalam demokrasi kita adalah adanya black campaign, atau kampanye hitam. Kampanye yang biasanya dilakukan dengan menjelek-jelekan pihak lawan dengan cara yang tidak baik. Seperti fitnah, rasisme, dan mempermasalahkan agama seseorang.

Jika kampanye hitam terus dibiarkan, maka semakin lama akan menjadi karakter rakyat. Rakyat akan mudah saling memfitnah. Sehingga akan terjadi konflik di mana-mana. Ini akan menyebabkan kestabilan bangsa runtuh.

Bukti adanya kampanye hitam di negara kita bisa kita saksikan pada pemilu presiden kemarin. Dua calon presiden yang diajukan banyak mendapat celaan dan fitnah-fitnah keji. Pasangan Jokowi-JK difitnah antek-antek asing, keturunan tidak jelas, tidak berpendidikan, dan tidak berpengalaman. Pasangan Prabowo-Hatta difitnah akan membangkitkan kembali orde baru, tak bisa mengurus rumah tangga, satria berkuda, dan tak pantas memimpin Indonesia. Fitnah-fitnah seperti ini, tak layak kita dengar apalagi kita ikut menyebarkannya. Akan hancur bangsa kita jika sikap-sikap seperti ini terus dibiarkan.

Di bawah bayang-bayang pragmatisme

Pragmatisme berbanding terbalik dengan idealisme. Pragmatisme bisa diartikan sebagai pemikiran yang selalu mengutamakan aspek manfaat secara instan, dan tak melihat aspek-aspek lain dari tindakan yang akan dilakukan. Idealis justru sebaliknya yakni, jalan berfikir yang mengutamakan aspek tujuan yang sempurna dalam setiap tindakan. Di zaman sekarang, orang-orang telah banyak terjangkit pemikiran pragmatis ini. Bagaimana tidak, setiap hari kita lihat banyak orang yang selalu mementingkan kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan kelompoknya, tanpa melihat kemaslahatan yang didapat oleh umat.

Islam mengajarkan bahwa hidup di dunia itu bukanlah untuk mengutamakan kepentingan pribadi. Segala sesuatu yang dilakukan ada konsekuensinya di akhirat. Islam selalu mengajarkan bahwa kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi. Dalam Islam dikenal adanya dua fardhu:; fardhu ain dan fardhu kifayah. Bobot antara kedua fardhu ini sangatlah berbeda. Fardhu ain itu kewajiban untuk diri sendiri. Sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban untuk umum. Kewajiban umum harus diutamakan, mengingat jika fardhu kifayah atau kewajiban umum ini tidak dilaksanakan, maka semua orang akan ikut berdosa. Berbeda dengan fardhu ain, ini hanya kewajiban personal saja, jika tidak dikerjakan yang akan terkena dosa hanya orang yang bersangkutan.

Islam mengajarkan kehidupan idealis. Kehidupan yang damai aman dan sentosa. Dimulai dari sikap bertetangga sampai pada sikap bernegara. Dalam hal bertetangga, Islam mengajarkan untuk berbuat baik, siapapun tetangganya, apapun agamanya. Bahkan, kesempurnaan iman seorang muslim tak akan terwujud jika tetangganya tidak dihormati hak-haknya.

Sistem masyarakat dalam Islam adalah sistem masayarakat yang idealis juga. Rasulullah SAW menyebutkan muslim dan muslim lainnya merupakan suatu bangunan, satu sama lain saling menguatkan. Bisa difahami bahwa seorang muslim tidak boleh keluar dari fungsi yang telah ia jalani. Jika ia berfungsi sebagai pengajar, maka ia harus mendukung muslim lain yang berfungsi atau berprofesi sebagai pegawai dan lain sebagainya. Di lain kesempatan Rasulullah mengibaratkan kehidupan muslim sebagai sebuah jasad.

Jika satu anggota badan merasa sakit, maka yang lain akan merasakannya juga. Bisa difahami, seorang  muslim itu harus memiliki kepekaan sosial. Muslim tidak boleh membiarkan muslim yang lain kesusahan, dalam artian muslim harus bahu-membahu untuk membantu satu sama lain. Jika dalam jasad ada mata yang menangis, maka tanganlah yang menyapu air matanya. Jika seorang muslim sedang dirundung duka, maka datanglah muslim lain yang menghiburnya. Begituah kira-kira.

Dalam kehidupan bernegara, sikap-sikap pragmatis selalu saja lebih dominan. Ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa Negara kita ini telah 70 tahun merdeka, tapi masih banyak rakyat yang belum sejahtera. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjadi trending topic hari ini.

Berbagai faktor dan masalah masih mengurung nasib rakyat Indonesia. Korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin dan wakil-wakil rakyat masih terjadi dan sangat masif. Tercatat berbagai kasus korupsi dan kasus suap-menyuap masih santer terjadi. Korupsi ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang biasa tapi orang yang soleh dari partai yang sangat islami pun ada. Inilah mungkin sikap-sikap pragmatis yang dicontohkan oleh para pemimpin bangsa yang justru menjadi cerminan bagi rakyat biasa.

Sebenarnya masalah korupsi dan suap-menyuap ini telah diperingatkan dalam Islam. Rasul pernah mengatakan bahwa, Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap. Laknat Allah adalah menjauhkan seseorang dari rahmatnya, dari anugerahnya. Bagi muslim, tak ada yang lebih diharapkan dalam kehidupanya selain dari mendapat rahmat dari Allah. Jika seorang muslim melakukan suap, berarti ia siap untuk menjauh dari rahmat Allah. Begitu pula orang yang menerima suap. Bersiap-siaplah untuk jauh dari rahmat Allah.  

Pemilukada sekarang bersiap berada pada bayang-bayang pragmatisme. Sikap pemilih yang ingin enaknya saja, walau itu hanya sebentar, dengan memakai berbagai macam dalih untuk melegalkan mereka dalam menerima suap. Mirisnya, ini bukan hanya dilakukan oleh orang yang kriteria pengetahuan agamanya rendah, tetapi, sekali lagi, dilakukan oleh orang-orang alim yang berpengetahuan luas dalam agama. Sikap calon kepala daerah yang dikhawatirkan juga melegalkan segala cara untuk mendapatkan kursi kepemimpinan. Juga sikap partai-partai politik yang dengan curang membatasi kebebasan calon-calon pemimpin daerah. Mereka memilih calon kepala daerah yang sesuai dengan kriterianya saja, bukan calon kepala daerah yang memang kompetitif untuk memajukan daerah itu.

Melihat berbagai macam kemungkinan yang akan terjadi setelah pemilukada ini. Sebagai rakyat kita mesti bersikap idealis, dengan cara tidak menerima apapun bentuk money politic yang dilakukan oleh para calon kepala daerah. Kita harus mampu untuk tegas, bahkan menolak untuk memilih calon yang melakukan hal-hal seperti itu. Kita mengharapkan pemimpin yang ingin membangun daerah kita dengan ikhlas, maka kita juga harus memilih mereka dengan ikhlas, tanpa pamrih dan meminta imbalan.

Calon kepala daerah yang mungkin akan terpilih ataupun tidak, diharapkan untuk tidak melakukan korupsi. Korupsi-korupsi yang dilakukan akan menyakiti rakyat. Penulis catat ungkapan dari Gubernur Jakarta, Basuki Cahaya Purnama, bahwa hal tersulit dalam memimpin itu adalah tidak korupsi. Oleh karena itu, untuk membela dan membangun bangsa kita tercintai ini langkah pertamanya adalah tidak korupsi. Itu saja.

Terakhir, mari kita ciptakan lingkungan-lingkungan yang jauh dari sikap pragmatisme. Baik itu di kampus, sekolah, rumah dan masyarakat. Jika kita bisa membangun mental idealis, dalam arti siap melawan godaan-godaan yang bisa merugikan orang banyak, Indonesia akan maju dan jaya.

Dalam pemilukada kali ini kita juga berharap, kepala-kepala daerah yang lahir dari pemilihan ini merupakan murni pilihan rakyat dan bisa bertanggung jawab memajukan daerahnya. Kepala daerah yang bersikap idealis, anti suap dan anti korupsi. Pemimpin daerah yang rela berkorban untuk rakyatnya, bukan yang rela mengorbankan rakyatnya. Pemimpin daerah yang selalu mendahulukan kepentingan rakyatnya, bukan yang ingin didahulukan kepentingannya. Pemimpin daerah yang merakyat, bukan pemimpin yang membuat rakyat melarat. (MPR)

 

[1] http://internasional.kompas.com/read/2012/11/05/11550452/Pilpres.Amerika.Langsung.atau.Tak.Langsung

[2] http://www.pemilu.com/berita/2015/11/pilkada-2015-akan-jadi-rujukan-pemilu-2019/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun