Mohon tunggu...
Muhammad Raza Pahlawan
Muhammad Raza Pahlawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - De Vrije Mensch

Anak sejarah yang pikirannya lebih banyak ke filsafat, sosiologi, psikologi, dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bencana Alam, Sakit Jiwa, dan Masyarakat Risiko

14 November 2021   11:01 Diperbarui: 14 November 2021   11:20 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pertama kali digaungkan, modernitas dianggap selalu berkaitan dengan kemajuan. Optimisme yang dibawanya membuatnya dianggap sebagai juru selamat peradaban. Tetapi seiring waktu berjalan, optimisme ini perlahan ditantang kenyataan-kenyataan yang terjadi. Modernitas ternyata masih membawa banyak persoalan dan permasalahan.

Carl Jung, seorang pendiri Psikologi Analisis, di dalam buku berjudul Manusia dan Simbol-Simbol (2018) mengingatkan kita tentang bahaya yang dibawa manusia modern secara psikologis, berkaitan dengan timbulnya psikopatologi yang khas. Di dalam sosiologi, ada Ulrich Beck yang dikenal dengan analisisnya mengenai apa yang disebut Masyarakat Risiko. 

Ternyata, sedari awal, dari tataran filsafat Max Horkheimer dan Theodor Adorno sudah merasa bahwa nalar Pencerahan yang dibawa oleh modernitas ternyata sudah memiliki kekurangannya sendiri yang membuatnya malah terjatuh kepada praktek yang destruktif.

Manusia Modern dan Gangguan Jiwa

Kaum primitif beranggapan bahwa manusia memiliki 'jiwa alam' disamping jiwanya sendiri yang membuat keduanya memiliki keterhubungan identitas psikis. Jiwa alam yang dimaksud di sini menitiskan dirinya pada hewan liar atau pohon. Lebih jauh lagi, Jung menjelaskan bentuk-bentuknya,

"Bagi kaum primitif, identitas ini terdapat dalam bentuk yang berbeda-beda. Jika jiwa alam yang dimilikinya berasal dari binatang, maka binatang tersebut dianggap seperti saudara bagi orang tersebut. Seseorang yang bersaudara dengan buaya, misalnya, ditengarai akan aman ketika berenang di sungai penuh buaya. Jika jiwa alamnya berasal dari pohon, maka pohon tersebut dianggap memiliki derajat setara dengan orang tua bagi yang bersangkutan. Dalam kedua contoh tersebut, cedera pada jiwa alam mereka dimaknai sebagai cedera pada manusia itu sendiri."

Pemahaman ini sangat krusial bagi peradaban manusia yang tidak bisa lepas dari alam. Pemahaman sebagai bagian dari alam membuat mereka jauh lebih sadar dan berhati-hati atas apa yang mereka lakukan. Tetapi pemahaman bahwa jiwa tidak satu unit ini menunjukkan psike yang tidak utuh mengakibatkan kaum primitif rentan untuk mengalami keterpecahan ketika emosinya tidak terkendali.

Hal ini berbeda dengan manusia modern yang sudah bisa mengendalikan emosinya dengan lebih baik. Tetapi di saat yang sama juga membawa bahaya yang jauh lebih besar atas rasionalitasnya. Membayangkan adanya jiwa di luar diri sendiri, mempercayai adanya kekuatan roh-roh yang dapat mempengaruhi, mengiyakan anggapan bahwa kesurupan berasal dari makhluk supranatural, hal-hal seperti itu jelas ditolak pemikiran manusia modern.

Manusia modern yang cenderung melepaskan diri dari berbagai mitos-mitos kuno atau agama tidak lagi memiliki pegangan untuk menjawab gangguan-gangguan atau keterpecahan yang terjadi pada diri mereka, yang tak berhasil dimengerti karena sifat-sifat rasional yang membuatnya tak bisa membayangkan adanya peristiwa di luar akal sehat. 

Akhirnya penafsiran-penafsiran yang memberikan jalan keluar dari kaum primitif yang lebih terhubung dengan hal-hal yang tidak rasional pun ditinggalkan dan tak banyak yang masih kita kenal.

Fenomena primitif menurut Carl Jung tidak lenyap dari kehidupan kita, ia tetap ada tetapi ditafsirkan dengan cara yang berbeda dan lebih tidak menyenangkan. Padahal, mitos atau agama dapat diartikan sebagai terapi mental bagi penderitaan dan kecemasan umat manusia dalam menghadapi kelaparan, perang, penyakit, usia tua, dan kematian.

Manusia Modern dan Masyarakat Risiko

Mengenai bahaya modern, sosiolog Ulrich Beck memperkenalkan istilah "Masyarakat Risiko". Geoffrey. R. Skoll di dalam bukunya Social Theory of Fear: Terror, Torture, and Death in a Post-Capitalist World (2010) menggambarkan istilah itu sebagai pergeseran sosial dari masa lalu ketika bahaya utama manusia yang awalnya berawal dari alam, sedangkan di masa kini bahaya utama itu berasal dari produk manusia.

Anthony Giddens, seperti yang dikutip Pip Jones, Liz Bradbury, dan Shaun Le Bouttilier di dalam buku Pengantar Teori-Teori Sosial (2016) membagi risiko menjadi dua, yaitu risiko eksternal (external risk) dan risiko buatan (manufactured risk). Risiko eksternal adalah risiko yang dialami yang datang dari luar, dari ketetapan tradisi atau ketetapan alam, sedangkan risiko buatan adalah risiko yang diciptakan oleh dampak besar perkembangan pengetahuan kita mengenai dunia. 

Lebih lanjut, menurut Giddens risiko adalah perbedaan antara kekhawatiran mengenai apa yang dapat diperbuat alam terhadap kita dan kekhawatiran mengenai apa yang dapat kita lakukan terhadap alam.

Salah satu poin penting Masyarakat Risiko yang dijelaskan Geoffrey adalah bagaimana risiko itu adalah efek bumerang yang timbul sejalan dengan penggunaan teknologi-teknologi yang awalnya digunakan untuk memperoleh profit. Prinsip ini berkaitan dengan karakteristik masalah modern, yaitu ketakutan komunal dan rasa tidak aman.

Di sinilah analisis Carl Jung tentang bagaimana manusia akhirnya memisahkan dirinya dari alam yang dulu pernah menjadi bagian hidup kaum primitif berperan besar dalam eksploitasi berlebihan yang menimbulkan risiko-risiko yang jauh lebih membahayakan. Mulai dari semakin besar bahaya yang dapat ditimbulkan dari kecelakaan teknologi hingga ke efek penggunaan teknologi terhadap alam seperti global warming, longsornya tanah, dan lain sebagainya yang adalah suatu sebab tindakan manusia.

Jung memperingatkan bahwa manusia semakin mendominasi alam dan memenuhinya dengan mesin-mesin raksasa, yang kejeniusannya membuat kecenderungan untuk menciptakan hal-hal yang semakin berbahaya, bahkan semakin baik dan ampuh sebagai alat pemusnah massal. Dari sini kita dapat melihat betapa manusia terlena dengan segala kemudahan yang ia telah raih, yang jelas membuat kita ketergantungan dan semakin parah lagi membawa kita pada kerakusan yang marak.

Dikutip dari buku Dari Mao ke Mercuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin (2013), dari Mazhab Frakfurt, Max Horkheimer dan Theodor Adorno mengatakan bahwa manusia mau maju, tetapi kemajuan malah semakin menjadi proses dehumanisasi, yang mana disebabkan oleh rasionalitas yang hanya dipahami sebagai sarana kalkulasi penguasaan dunia. 

Wawasan keselamatan dan pengembangan menyeluruh manusia menjadi cita-cita yang terancam karena dalam perspektif teknik, manusia itu sendiri menjadi bagian dalam proses produksi dan oleh karena itu harus ditundukkan terhadap tuntutan efisiensi produksi industrial.

Lebih lanjut, pada persoalan dialektika penguasaan alam, Francis Bacon berperan dalam menghasilkan pemikiran mengenai pengetahuan tentang alam yang memberi kepada manusia kekuasaan atas alam. Manusia harus mengerti cara kerja alam untuk dapat membuatnya tunduk. 

Secara sederhana, perkembangan pengetahuan manusia terhadap alamlah yang membuat manusia dapat mengeksploitasi alam secara besar-besaran, meninggalkan suatu masa di mana alam masih dipenuhi mitos dan misteri, serta keterhubungan dirinya dengan alam yang mengelilinginya.

Pada pandangan-pandangan tadi, terlihat bahwa masalah yang terjadi bukan hanya tentang manusia atau hanya tentang alam, baik manusia dan alam itu terhubung. Menguasai alam berarti menguasai manusia, merusak alam berarti membahayakan manusia. Kita mesti membayar mahal sebagai timbal-balik upaya kita untuk mengeruk lebih banyak keuntungan. 

Kita berhadapan dengan masalah-masalah kemanusiaan terlepas seberapa majunya pola pikir kita yang modern. Tetapi kita tidak melihat itu sebagai rentetan masalah yang mesti dilihat dengan konteks yang lebih luas.

Perlahan, kita menjadikan apa yang kita keruk sebagai komoditas, dan perlindungan atas bencana alam yang disebabkan atas tindakan kita sendiri juga sebagai komoditas. Masyarakat Risiko membangun kembali stratifikasi sosial yang didasarkan pada bagaimana tingkat keamanan seseorang. 

Di tahap itu, kita melihat diri kita makin sakit, sesakit jiwa kita yang terlalu memuja rasionalitas yang menyimpang dari niatnya untuk emansipasi. Kemanusiaan direduksi hanya jadi soal keuntungan pribadi dan keserakahan setengah mati, keserakahan yang membuat banyak orang mati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun