Setiap mendengar nama Kota Bandung, kebanyakan orang akan langsung teringat getaran dan suasana khasnya yang estetik. Udara yang dingin, arsitektur art-deco warisan kolonial, kafe instagramable dan berbagai tempat wisata yang indah. Tidak sepenuhnya salah, karena setidaknya hal-hal itulah yang tergambar di media. Tayangan dan konten romantisasi tersebut yang membentuk image aesthetic Kota Bandung seperti sekarang.
Tetapi, Kota dengan julukan Kota Kembang ini semakin hari semakin hilang pula sisi estetiknya. Bagaimana tidak? Seketika ekspektasi wisatawan buyar kala terjebak macet berjam-jam selepas keluar GT Pasteur atau Pasirkoja. Atau bagi pengendara yang melalui Jalan Soekarno-Hatta, perjalanan terasa lama karena harus melalui banyak persimpangan. Warga lokal lebih mengenalnya dengan istilah stopan.Â
Nah, ini yang bikin jengkel, nih. Selain jumlahnya yang banyak, stopan di Kota Bandung juga memiliki durasi lampu merah yang tidak masuk akal. Sebut saja stopan Kircon, tersohor karena lampu merahnya bisa bikin kamu molor. Sekali kamu berhenti, perlu waktu 720 detik atau 12 menit agar bisa jalan lagi. Dengan waktu segitu, kamu bisa masak telor sekaligus makan di tempat sambil nunggu lampu hijaunya nyala.
Tapi tentunya, lampu merah bukan satu-satunya penyebab, ya. Selain penumpukan kendaraan pribadi, angkot yang ngetem sembarangan jadi biang keroknya. Lagian kebayang kalo stopan ini diganti jadi Pak Ogah, makin deadlock aja Jalan Soetta dari Cibuntu ke Cibiru. Makin susah, deh, Dilan mau ketemu Kamu, eh-.
Lanjut, menurut Asian Development Outlook-2019 yang dirilis pada 2023, Bandung menempati urutan ke-14 sebagai kota termacet di Asia. Dengan begitu, Kota ini berada di atas Jakarta yang menempati urutan ke-17. Prestasi yang membanggakan bukan? Kapan lagi bisa bersaing dengan (calon) mantan ibukota. Juara pokoknya, mah. Juara macet!
Karena data dan fakta di lapangan saling tegak lurus, tentu harus dicari akar masalah dan solusi secepatnya. Apalagi Kang Emil, mantan walikota Bandung, bilang kalau 2037 nanti Bandung macet total. Duh, ngeri juga ya?
Nah, menanggapi hal tersebut, Generasi Melek Politik di bawah naungan Yayasan Partisipasi Pemuda mengadakan workshop Academia Politica di Kota Bandung. Berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Politik Universitas Padjajaran dan Kawula17, Generasi Melek Politik mengajak anak muda untuk ikun andil merumuskan kebijakan publik bagi Kota Bandung agar terhindar dari kemacetan. Kegiatan ini dilaksanakan pada 29 Juni 2024 di Universitas Padjajaran Kampus Dipati Ukur.
Dihadiri oleh Dra. Mudiyati Rahmatunnisa, MA., Ph.D., dosen Ilmu Politik UNPAD dan Amanda Deviana, praktisi di bidang planologi dan merehabilitaai transportasi publik di wilayah Cekungan Bandung sebagai narasumber, peserta antusias menyimak materi yang disampaikan. Selain itu, moderatornya ga kaleng-kaleng. Andriansyah Yasin Sulaeman, penggiat transportasi umum sekaligus pendiri FDTJ dipercaya memandu kegiatan ini. Ketiganya merupakan seseorang ahli di bidangnya masing-masing.
Mengusung tagline, "Macet itu Berat, Biar Kita Cari Solusinya Bersama", Academia Politica UNPAD menekankan pentingnya kolaborasi antar-stakeholder untuk mewujudkan transportasi ideal bagi Kota Bandung. Setelah sesi materi, peserta dibagi ke dalam lima peran. Diantaranya adalah; pemerintah, legislatif, akademisi, korporasi dan NGO (Non-Govermental Organization). Nah, di sini mereka akan mengusulkan poin kebijakan sesuai dengan peran yang mereka dapatkan.
Poin-poin kebijakan tadi selanjutnya akan dipresentasikan oleh tiga orang perwakilan di setiap perannya. Setelah kelima peran telah selesai menyampaikan usulan, maka tiap orang yang tergabung dalam satu peran berhak mengkritisi poin kebijakan yang diusulkan oleh peran lain. Inilah sesi paling dinantikan, karena peserta akan saling melemparkan opini dan kritik satu sama lain hingga timbul perdebatan sengit. Baik pemerintah, legislatif, akademisi, korporasi serta NGO saling mengglorifikasi usulan masing-masing.
Kadang ketika pendapat dan usulan poin antar-stakeholder sama, mereka akan bersekutu untuk memperkuat argumen agar poin yang diusulkan bisa disetujui. Begitu pun sebaliknya, saat terjadi konflik kepentingan yang mengakibatkan poin dari masing-masing peran bersebrangan maka akan terjadi sawala argumentasi satu sama lain. Hal ini terjadi seterusnya hingga menemui titik temu dan moderator kemudian akan memandu jejak pendapat di antara seluruh peserta untuk memilih poin terbaik.
Kemudian, setelah poin terbaik ditemukan dan disetujui semua pihak, maka akan bertemu dengan sesi terakhir. Para fasilitator acara dan moderator akan menuangkannya dalam Policy Brief yang tersedia. Policy Brief merupakan dokumen singkat berupa rekomendasi sebuah kebijakan terhadap suatu permasalahan yang ada. Dalam konteks ini, isu pemantik yang diangkat adalah penolakan sopir angkot Kota Bandung yang enggan beralih ke microbus. Poin-poin dari berbagai stakeholder tadi kemudiam diintegrasikan dalam satu Policy Brief untuk kemudian diusulkan pada Pemkot Bandung sebagai rekomendasi kebijakan.
Diikuti oleh siswa/i SMA dan mahasiswa/i dari berbagai Perguruan Tinggi di sekitar Kota Bandung, Academia Politica UNPAD mengedukasi pemuda tentang bagaimana proses dibuatnya suatu kebijakan. Di sini, peserta bisa saling bertukar ide dan gagasan dari berbagai sudut pandang. Sehingga, kebijakan publik yang akan dibuat akan bersifat bottom up dari masyarakatnya sendiri, bukan hanya dari kacamata pemerintah saja.
Academia Politica UNPAD menggandeng Kawula17 sebagai mitra kegiatan. Kawula17 menyediakan Voting Advice Application (VAA) yang dirancang untuk membantu peserta memahami prefensi politiknya masing-masing. Dengan begitu, mereka dapat mengikuti kegiatan sesuai dengan perannya masing-masing.
Setelah terlaksananya kegiatan ini, diharapkan para pemuda lebih aktif lagi berkontribusi dalam kehidupan berpolitik sedini mungkin. Anak muda sebagai generasi penerus bangsa harus lebih bermakna dalam partisipasinya sebagai warga negara. Sebab, kebijakan politik akan berpengaruh secara langsung bagi kehidupan. Sehingga dibutuhkan kacamata vertikal dalam merumuskan suatu kebijakan publik agar sesuai dengaan apa yang dibutuhkan.
Terlepas dari itu, Generasi Melek Politik tentunya berharap Policy Brief yang telah disusun dapat diterima dan diimplementasikan Pemkot Bandung dalam sebuah kebijakan. Karena, sudah saatnya Bandung memiliki transportasi publik yang memadai. Dengan begitu, kemacetan akan teratasi. Terlalu lama Pemkot Bandung hanya menggunakan Solusi jangka pendek seperti membangun flyover atau underpass yang tidak menyelesaikan masalah ini secara konkrit.Â
Solusi ini dihasilkan dari sudut pandang yang sempit karena hanya mengandalkan kacamata pemerintah saja. Maka dari itu, sudah saatnya kebijakan yang ada bersumber dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tujuannya, agar input dan output yang dihasilkan sesuai dengan kehendak masyarakat.
So, bagi Pemkot Bandung, mari kembalikan estetika Kota Bandung seperti sediakala dengan political will lyang kuat. Dengan adanya transportasi umum yang terintegrasi akan menjadi opsi bagi orang-orang untuk beralih dari kendaraan pribadi. Benefit yang didapat bukan hanya mengurai kemcetan, tetapi menyelamatkan lingkungan dengan mengurangi jejak karbon dan memperlambat perubahan iklim.
Tak lupa pada kawula muda, jadikan transportasi publik sebagai moda transportasi utama, ya. Karena Dilan-da kemacetan itu gak enak. Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H