Mohon tunggu...
Rayyan Yasser
Rayyan Yasser Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah - Manusia Biasa-Biasa Saja

Sedikit berbagi tulisan atau cerita yang semoga saja bisa memberikan manfaat bagi orang banyak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Biografi Singkat serta Pemikiran Islam dan Pancasila Mohammad Natsir

12 Oktober 2024   08:01 Diperbarui: 12 Oktober 2024   08:15 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mohammad Natsir (KOMPAS/William Ciputra)

Biografi Muhammad Natsir

Mohammad Natsir dilahirkan pada 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Kedua orangtuanya bernama Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Pekerjaan ayahnya yaitu seorang juru kontrolir, beliau ini selalu mendorong Natsir untuk mendalami agama Islam. Dalam adat Minangkabau di masa itu, seorang anak laki-laki berusia 7-8 tahun, pada malam hari harus tidur di surau bersama teman-teman sebayanya. Rumah ayahandanya ini dekat dengan masjid sehingga sejak usia dini Natsir sudah menjadikan mengaji sebagai makanan sehari-hari. Dari dorongan ayahnya ini melahirkan dampak positif kepada Natsir pada saat kecil untuk mengikuti pelajaran di pendidikan formal, Natsir sangat bersemangat untuk mengikuti pendidikan di sekolah dasar Hollandsche Inlandsche Schoolen (HIS) Sekolah tersebut didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1914 untuk memberikan pendidikan dasar yang lebih maju bagi orang Cina dan kaum Bumiputera. Akan tetapi penghasilan ayahnya tidak cukup untuk membiayai Natsir bersekolah di HIS. Pada akhirnya Natsirnya sempat "menumpang" belajar di Sekolah II (Sekolah Rakyat yang bahasanya pengantarnya bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda). Beberapa lamanya beliau menumpang belajar tanpa harus membayar uang sekolah, juga tanpa terdaftar sebagai murid, selama menumpang disana beliau seperti bermain kucing-kucingan dengan Inspektur Sekolah itu.

Setelah beberapa bulan bersekolah secara kucing-kucingan, akhirnya Natsir di ajak oleh Kakaknya, Rabiah untuk pindah ke Padang. Dengan Sukacita Natsir mengikuti kakaknya karena dia tahu di Padang ada HIS. Natsir mendaftarkan diri ke HIS dan hasilnya ditolak, sebab HIS di Padang hanya menerima anak pegawai negerti yang bergaji besar ataupun anak dari Saudagar Kaya. Ambisi Mohammad Natsir bisa di katakan dari hal tersebut sebab beliau menjadi bertanya-tanya mengenai " Apakah yang boleh maju dan pintar hanya anak-anak orang kaya?".

Sebuah kesempatan emas yang bisa diambil oleh seorang Mohammad Natsir yang akhirnya bisa bersekolah di HIS Adabiyah. Walaupun HIS Adabiyah ini sebuah sekolah swasta yang waktu belajarnya sore hari, dan sekolah ini didirikan oleh para pemimpin pergerakan yang bertujuan ingin mencerdaskan kehidupan bangsa terjajah dengan mendirikan sekolah-sekolah partikelir. Hanya beberapa bulan Natsir bersekolah di HIS Adabiyah, dia dipindahkan oleh ayahnya ke HIS pemerintah di Solok yang baru dibuka. Di sana, Natsir tinggal bersama keluarga Haji Musa, seorang saudagar yang dermawan. Ketika di Solok itulah, dasar agama Natsir dibentuk dan dibina. Pagi hari dia belajar di HIS, sorenya ia lalu belajar di Madrasah Diniyah, kemudian belajar mengaji Al-Quran dan ilmu agama Islam lainnya pada malam hari. Tiga tahun lamanya Natsir tinggal di padang, menyelesaikan pendidikan di HIS dari kelas V hingga kelas VII.  

Setelah tamat dari HIS pada 1923, Natsir melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang (setingkat dengan SLTP/SMP sekarang). Ketika di MULO itu, beliau mempunyai kesukaan bermain biola serta menjadi anggota pandu (Nationale Indoneisische Padvinderij), dan Jong Islamieten Bond (JIB) sebuah organisasi Pemuda Islam yang didirikan di Batavia pada 1 Januari 1925. Perkumpulan seperti JIB dan Jong Sumatera bertambah luas dan telah berperan besar di dalam mengkader generasi muda yang pada masanya kelak tampil menjadi pemimpin bangsa Indonesia. Dari Jong Sumatera lahir tokoh-tokoh seperti Bahder Djohan dan Mohammad Yamin. Dari JIB lahir tokoh-tokoh seperti Sjamsuridjal (Walikota Jakarta tahun 1950-an), Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito dan Natsir sendiri. Di JIB, Natsir berkenalan dengan Noer Nahar, seorang pemudi yang kemudian menjadi istrinya, sewaktu gadis itu menjadi anggota JIB bagian Putri.

Setamat dari MULO, Natsir melanjutkan sekolahnya ke Algemeene Middle School (AMS) di Bandung. Untuk itu, dia harus berlayar jauh mengarungi lautan meninggalkan tanah kelahirannya. Pada Juli 1927, sewaktu dia berusia 19 tahun mulailah Natsir belajar di AMS. Sembari bersekolah di AMS, Natsir juga aktif menjadi anggota JIB Cabang Bandung, bahkan terpilih menjadi ketuanya sejak 1928-1932.  Di JIB itu pula, Natsir bertemu dengan beberapa tokoh gerakan politik, seperti Haji Agus Salim, H.O.S Tjokroaminoto dan Syaikh Ahmad Syurkati yang sering memberikan pengajaran dan menjadi tempat bertanya para anggota JIB. Di samping itu, Natsir juga berkenalan dan banyak belajar dari Ahmad Hassan, seorang ulama  dan tokoh utama Organisasi Persatuan Islam (Persis). Keempat orang terakhir itulah yang banyak memengaruhi alam pikiran intelektual dan keagamaan Natsir.

Setelah tamat dari AMS pada 1930, Natsir sebenarnya mempunyai kesempatan untuk meneruskan pendidikannya Ke Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta atau ke Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, namun beliau memilih menjadi guru agama dan Jurnalis di samping meneruskan kajian keagamaannya dengan Ahmad Hassan. Pada tahun 1930, Natsir merintis sebuah sekolah di Bandung dan dinamainya "Pendidikan Islam" (Pendis). Sekolah itu benar-benar dimulai dari nol. Natsir memulai kegiatan pendidikannya dengan lima orang murid di sebuah ruangan yang di sewanya di simpang jalan Pangeran Sumedang, Bandung. Ruangan yang bertetangga dengan tempat praktik tukang cukur itu sangat sederhana.

Keberhasilan Natsir dengan "Pendidikan Islam" itu tidak terlepas dari bantuan teman-temannya yang membantu mengajar dengan tulus ikhlas. Mereka itu diantara lain Ir. Ibrahim, Ir. Indracahya dan Fachruddin Al-Kahiri. Ada pula seorang kaya yang dermawan dan budiman bernama Haji Muhammad Yunus yang banyak memberikan "jalan" dan bantuan keuangan bagi kelangsungan hidup Sekolah Pendis. Ada seorang lagi yang perlu disebutkan dalam pembinaaan pendia itu. Dia adalah seorang gadis bernama Noer Nahar yang saat itu sudah mengajar di sekolah "Arjuna" yang disubsidi oleh pemerintah. Sebagai Jurnalis, dia bekerja sama dengan Hassan menerbitkan kepada Natsir untuk mngeluarkan pendapatnga tentang Islam dan Pembaharuan. Natsir juga mengirimkan karangan-karanganmya ke Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat, dua majalah mingguan Islam terkemuka saat itu yang terbit di Medan. Di sini, Natsir memakai nama samaran A. Muchlis.

Natsir mulai berkecimpung dalam bidang politik sejak dia diminta oleh Sabirin, Ketua PSI cabang Bandung, untuk menjadi anggota partai Sarekat Islam pada 1930. Natsir juga aktif dalam organisasi Majelis Islam A'la Indonesia yang kemudian berganti menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Natsir pernah menjadi ketua Masyumi, daalam kepemimpinannya, Masyumi mampu menjadi partai Islam terbesar di Indonesia. Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Natsir menjadi anggota Parlemen (DPR) RIS. Beliau jugalah yang menjadi ketua Fraksi Masyumi. 

Pada tanggal 6 Februari 1993 M, Mohammad Natsir wafat di RS Cipto Mangun Kusumo, Jakarta di usia 85 tahun. Selama hidupnya, Mohammad Natsir banyak menerima penghargaan dan penghormatan baik dari negara lain maupun Pemerintah Indonesia, beliau dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada November 2008. Natsir juga diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana pada masa B.J. Habibie. Mohammad Natsir adalah seorang yang gigih berjuang untuk agama dan negara Indonesia. Sosoknya yang tekun dan sederhana serta perjalanannya dalam sejarah Indonesia akan selalu menjadi teladan dan dipelajari generasi muda Indonesia.

Karya-Karya Mohammad Natsir

Sebagai seorang aktivis, Mohammad Natsir juga sangat produktif dalam hal menulis. Banyak buku yang sudah beliau tulis, adapun tulisan Natsir yang berbentuk artikel jumlahnya sudah ratusan bahkan mungkin ribuan. Artikel-artikel itu dimuat dalam beberapa majalah dan surat kabar sejak 1930 sampai dia wafat. Buah karya Natsir yang banyak itu, bersama perjalanan sejarah hidupnya menjadi amal ibadah baginya dan warisan yang tak ternilai harganya bagi generasi berikutnya. Diantara beberapa karyanya adalah sebagai berikut:

Karya Mohammad Natsir tentang Keislaman

  • Islam sebagai Ideologi (1951)

  • Islam dan Akal Merdeka (1969)

  • Islam dan Kristen di Indonesia (1969)

  • Di Bawah Naungan Risalah (1971)

  • Iman sebagai Sumber Kekuatan Lahir dan Batin (1975)

  • Pandai-Pandai Bersyukur Nikmat (1980)

  • Dunia Islam dari Masa ke Masa (1982)

  • Mempersatukan Umat Islm (1983)

  • Asas Keyakinan Agama Kami (1984)

  • Bahaya Takut (1991)

  • Marilah Shalat (1999)

Karya Mohammad Natsir tentang Dakwah

  • Fiqhud Dakwah (1965)
  • Kumpulan Khutbah Dua Hari Raya (1978)
  • Buku PMP dan Mutiara yang Hilang (1982)
  • Kubu Pertahanan Umat Islam dari Abad ke Abad (1982)
  • Pancasila akan Hidup Subur sekali dalam Pengakuan Islam (1978)
  • Mencari Modus Vivivindi antara Umat Beragama di Indonesia (1983)

Karya Mohammad Natsir tentang Politik

  • Indonesia di Persimpangan Jalan (1984)
  • Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional (1985)
  • Demokrasi di Bawah Hukum (1986)
  • Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme, dan Nostalgia (1987)
  • Agama dan Negara dalam Perspektif Islam (2001)

Karya Lainnya

  • Kapita Selekta I (1954)
  • Kapita Selekta II (1957)

Tulisan-tulisan Natsir di kumpulkan oleh D.P. Sati Alimin dalam Kapita Selekta sebagai seleksi dari lebih 90 karangannya yang ditulis sejak 1935 sampai 1941. Dalam buku itu, Natsir berbicara tentang kebudayaan pendidikan, agama, ketatanegaraan, kemasyarakatan dan filsafat. Natsir juga menulis di berbagai surat kabar dan majalah Islam yang terbit pada masa itu seperti Pandji Islam, Pedoman Masjarakat, Pemandangan, Al-Manar dan Al-Lisan.

Islam dan Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Natsir

Hubungan Natsir dan Pancasila bisa dikatakan memiliki hubungan yang rumit. Hal ini bisa dilihat dari perubahan sikap Natsir terhadap Pancasila yang awalnya tidak menentang Pancasila sebagai dasar negara, namun di Konstituante berubah menjadi orang yang paling menentang Pancasila. Terdapat tiga periode yang menjadi pokok utama dalam pemikiran Natsir termasuk pandangannya mengenai Pancasila. Tiga periode tersebut adalah Periode 1930-1940, Periode Pasca Kemerdekaan dan Periode Konstituante. Periode Pertama yaitu Periode 1930-1940 merupakan Periode polemik pemikiran antara Natsir dan Soekarno yang salah satunya mengenai posisi agama dalam negara. 

Periode kedua adalah periode pasca kemerdekaan. Dalam periode ini, Natsir menerima pancasila sepanjang inti dan hakekat dari semua sila yang terkandung di dalamnya dipenuhi secara memadai dan dilaksanakan secara tepat, walaupun sebenarnya Natsir cukup kecewa dikarenakan dihapusnya sila pertama di dalam piagam Jakarta. Beliau berpandangan bahwa pancasila tidak bertentangan dengan Islam karena nilai-nilai Islam terdapat didalamnya. Pancasila adalah suatu perumusan dari lima cita kebijakan sebagai hasil permusyawaratan antara pemimpin-pemimpin kita dalam satu taraf perjuangan 9 tahun yang lalu. Beliau, sebagai perumusan, tidak bertentangan dengan Al-Quran kecuali kalau diisi dengan apa-apa yang memang bertentangan dengan Al-Quran itu.

Islam dan Pancasila dalam pandangan awal Natsir bukanlah suatu yang bertentangan, bahkan Pancasila dan Islam memiliki hubungan yang erat berdasarkan nilai-nilai pancasila yang merupakan bagian kecil dari nilai-nilai Islam. Namun Natsir juga mengatakan bahwa bukan berarti Pancasila itu Islam, namun Pancasila mengandung tujuan Islam. Pancasila akan hidup subur dalam Islam karena sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa" yang akan menentukan berjalan atau tidaknya sila-sila selanjutnya akan tumbuh dalam Islam. Beliau juga berpendapat bahwasannya semua sila tidak akan ada artinya kalau sila Ketuhanan Yang Maha Esa hanya sekedar buah bibir saja bagi orang yang skeptis terhadap agama, diaman dalam langkah sila pertama tidak berjalan, maka sila-sila selanjutnya tidak akan berjalan karena pada hakikatnya sila pertama adalah urat tunggal bagi sila-sila selanjutnya sehingga Pancasila tersebut menjadi hampa dan tidak terbentuk dan tinggal hanyalah kerangka Pancasila tersebut.

Pandangan Natsir ini juga tentu menarik perhatian, salah satunya dari Soekarno dimana Soekarno mendukung atas pandangannya, bahkan Soekarno mengutip dari pidato Natsir yang di sampaikan di The Pakistan Institute of The World Affair, Karachi, Pakistan pada 9 April 1952, dalam menjawab pertanyaan A. Dahlan Ranuwiharjdo (Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) mengenai hubungan Negara Nasional dan Negara Islam dan antara Pancasila dan Ideologi Islam.

Namun pandangan Natsir tentang Pancasila berubah setelah tahun 1955, sebelum tahun 1955 Natsir menerima dan bahkan membela Pancasila, namun setelah tahun 1955, Natsir menjadi orang yang menentang Pancasila. Hal ini terlihat pada sidang konstituante dalam membahas dasar negara Indonesia. Ketika itu Indonesia dihadapkan pada tiga pilihan dasar  negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial Ekonomi. Polemik mengenai Pancasila sebenarnya sudah muncul ketika Soekarno memberikan kuliah umum di depan Mahasiswa di Makassar, Sulawesi pada 5-6 Mei 1954 dan dalam pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Negara pada 17 Juni tentang penafsiran sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pandangan Soekarno mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa membuat pengertian sila tersebut menjadi tidak jelas. Natsir menanggapi pidato Soekarno yang membahas tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa menurut Natsir dalam pidato Soekarno tersebut, paham tentang wujud Ketuhanan telah menjadi relatif menurut perkembangan hidup masyarakat. Seseorang yang hidup dalam taraf agraris memerlukan tuhan, sedangkan yang sudah menjadi industrialis tidak membutuhkan tuhan lagi. Natsir berkata : Di manakah gerangan, hendak ditempatkannga wahyu sebagai sumber kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan. Wahyu yang bebas dari pengaruh-pengaruh agraris, nomadis atau industrialis. Wahyu yang memancar ibarat air mata yang memancarkan penawar hidup dan yang bersifat abadi, serta membebaskan manusia dari ketersesatan dan terus meraba-raba dalam mencari tuhan. Pertanyaan ini mengandung jawaban tersendiri, bagi seorang sekularis, soal ketuhanan sampai pada Ketuhanan Yang MahaEsa, tak ada hubungannya dengan wahyu. Baginya, soal ketuhanan adalah ciptaan manusia yang berganti-ganti. Paham yang mengatakan bahwa struktur Ekonomi dan masyarakat yang menentukan paham hidup suatu masyarakat tentang agama, filsafat dan kultur. Menurut Natsir paham tersebut dipelopori oleh kaum Marxist. 

Pada akhirnya dalam sidang Konstituante Natsir menentang Pancasila sebagai dasar negara karena Natsir menganggap bahwa Pancasila adalah sekuler meskipun di dalamnya terumus sila Ketuhanan Yang Maha Esa dikarenakan Ketuhanan dalam Pancasila bukan bersumber dari masyarakat Indonesia, yang dalam pandangan Natsir hal tersebut sebagai bentuk tidak ada pengakuan terhadap kekuasaan tuhan dengan konsekuensi pengakuan hukum Ilahi. Baginya pancasila memiliki artian yang tidak jelas karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi "Point of Reference" bagi empat sila lainnya menjadi tidak jelas isinya, karena boleh di isi menurut selera masing-masing orang yang memandangnya.

Menurut Kholid O. Santosa, perubahan sikap Natsir terhadap Pancasila disebabkan oleh 3 hal yaitu :

  1. Pemikiran Soekarno yang menganggap bahwa Pancasila adalah konsep murni yang digali dari realitas kehidupan Masyarakat Indonesia yang tidak berkaitan dengan Islam. Soekarno menunjuk Pancasila sebagai suatu pedoman yang sudah ada dalam buku Kertagama. Sehingga Natsir yang awalnya meletakkan Pancasila sebagai bagian dari sistem-sistem Islam. Maka pada periode Konstituante, Natsir melihat Pancasila sebagai sistem Sekuler.

  2. Pertentangan ideologi secara terbuka antara Masyumi dan Komunis, Natsir memandang bahwa paham komunis telah melanggar sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

  3. Terjadinya ketidakjelasan dan kekaburan fungsi dan posisi Pancasila

Referensi 

Dzulfikriddin, M. (2010). Muhammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Muhammad Natsir dalam Dua Periode. Bandung: Mizan Pustaka.

Hakiem, L. (2019). Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Natsir, M. (2001). Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah.

Setyaningsih, Emi. "Perjuangan Dan Pemikiran Politik Mohammad Natsir (1907-1993)" dalam Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam, Vol. 12, No. 2, (2016) 73-94.

Sukri, M.A. "Islam dan Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Natsir". dalam Alfuad: Jurnal Sosial dan Keagamaan, Vol. 3, No. 1, (2019) 82-96.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun