Pandangan Natsir ini juga tentu menarik perhatian, salah satunya dari Soekarno dimana Soekarno mendukung atas pandangannya, bahkan Soekarno mengutip dari pidato Natsir yang di sampaikan di The Pakistan Institute of The World Affair, Karachi, Pakistan pada 9 April 1952, dalam menjawab pertanyaan A. Dahlan Ranuwiharjdo (Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) mengenai hubungan Negara Nasional dan Negara Islam dan antara Pancasila dan Ideologi Islam.
Namun pandangan Natsir tentang Pancasila berubah setelah tahun 1955, sebelum tahun 1955 Natsir menerima dan bahkan membela Pancasila, namun setelah tahun 1955, Natsir menjadi orang yang menentang Pancasila. Hal ini terlihat pada sidang konstituante dalam membahas dasar negara Indonesia. Ketika itu Indonesia dihadapkan pada tiga pilihan dasar  negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial Ekonomi. Polemik mengenai Pancasila sebenarnya sudah muncul ketika Soekarno memberikan kuliah umum di depan Mahasiswa di Makassar, Sulawesi pada 5-6 Mei 1954 dan dalam pertemuan Gerakan Pembela Pancasila di Istana Negara pada 17 Juni tentang penafsiran sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pandangan Soekarno mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa membuat pengertian sila tersebut menjadi tidak jelas. Natsir menanggapi pidato Soekarno yang membahas tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa menurut Natsir dalam pidato Soekarno tersebut, paham tentang wujud Ketuhanan telah menjadi relatif menurut perkembangan hidup masyarakat. Seseorang yang hidup dalam taraf agraris memerlukan tuhan, sedangkan yang sudah menjadi industrialis tidak membutuhkan tuhan lagi. Natsir berkata : Di manakah gerangan, hendak ditempatkannga wahyu sebagai sumber kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan. Wahyu yang bebas dari pengaruh-pengaruh agraris, nomadis atau industrialis. Wahyu yang memancar ibarat air mata yang memancarkan penawar hidup dan yang bersifat abadi, serta membebaskan manusia dari ketersesatan dan terus meraba-raba dalam mencari tuhan. Pertanyaan ini mengandung jawaban tersendiri, bagi seorang sekularis, soal ketuhanan sampai pada Ketuhanan Yang MahaEsa, tak ada hubungannya dengan wahyu. Baginya, soal ketuhanan adalah ciptaan manusia yang berganti-ganti. Paham yang mengatakan bahwa struktur Ekonomi dan masyarakat yang menentukan paham hidup suatu masyarakat tentang agama, filsafat dan kultur. Menurut Natsir paham tersebut dipelopori oleh kaum Marxist.Â
Pada akhirnya dalam sidang Konstituante Natsir menentang Pancasila sebagai dasar negara karena Natsir menganggap bahwa Pancasila adalah sekuler meskipun di dalamnya terumus sila Ketuhanan Yang Maha Esa dikarenakan Ketuhanan dalam Pancasila bukan bersumber dari masyarakat Indonesia, yang dalam pandangan Natsir hal tersebut sebagai bentuk tidak ada pengakuan terhadap kekuasaan tuhan dengan konsekuensi pengakuan hukum Ilahi. Baginya pancasila memiliki artian yang tidak jelas karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi "Point of Reference" bagi empat sila lainnya menjadi tidak jelas isinya, karena boleh di isi menurut selera masing-masing orang yang memandangnya.
Menurut Kholid O. Santosa, perubahan sikap Natsir terhadap Pancasila disebabkan oleh 3 hal yaitu :
Pemikiran Soekarno yang menganggap bahwa Pancasila adalah konsep murni yang digali dari realitas kehidupan Masyarakat Indonesia yang tidak berkaitan dengan Islam. Soekarno menunjuk Pancasila sebagai suatu pedoman yang sudah ada dalam buku Kertagama. Sehingga Natsir yang awalnya meletakkan Pancasila sebagai bagian dari sistem-sistem Islam. Maka pada periode Konstituante, Natsir melihat Pancasila sebagai sistem Sekuler.
Pertentangan ideologi secara terbuka antara Masyumi dan Komunis, Natsir memandang bahwa paham komunis telah melanggar sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Terjadinya ketidakjelasan dan kekaburan fungsi dan posisi Pancasila
ReferensiÂ
Dzulfikriddin, M. (2010). Muhammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Muhammad Natsir dalam Dua Periode. Bandung: Mizan Pustaka.
Hakiem, L. (2019). Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.