"Aku suka padamu."
"Heh? Apa kau gila? Kau sedang bercanda, kan."
"Aku suka padamu. Berapa kali lagi aku harus mengatakannya?"
Aku mundur, menjauh darinya. Dia benar-benar sudah gila, saat itu aku benar-benar ingin memukul wajahnya.
"Jadi, selama ini kau diam-diam nafsu melihatku? Benar-benar gila!" Aku benar-benar marah saat itu. Emosiku tak bisa kukontrol mendengar semua kenyataan itu.
"Bukan seperti itu," air matanya mulai mengalir, "Kau dulu pernah bertanya padaku, apa yang paling kubenci dari dunia ini, kan?"
"Aku tak sedang mood untuk meladenimu," aku naik ke permukaan dan memakai kembali seragamku.
"Aku benci orang-orang di dunia ini yang tak bisa menerimaku apa adanya!" teriaknya.
Aku terdiam membeku, seperti ada sesuatu yang menusuk-nusuk hatiku. Aku berdiri kaku dan memandangnya lekat-lekat, perasaan aneh apa ini? Antara iba sekaligus marah bercampur menjadi satu.
"Maafkan atas reaksiku ini, aku benar-benar kaget mendengarnya. Sejak kapan perasaan itu muncul?"
"Sejak kau menolongku dari anak-anak yang mem-bully-ku."