Mohon tunggu...
Ray Indra T W
Ray Indra T W Mohon Tunggu... Penulis - Sekolah Seumur Hidup

Bukan sastrawan, apalagi karyawan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Pagi, Prediksi

27 Juni 2020   11:11 Diperbarui: 27 Juni 2020   11:25 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangalengan di Pagi Hari (Dokumen Pribadi)

Selamat pagi, itu adalah ucapan yang sering kudengar darinya setiap pagi. Hujan deras, tak sesuai prediksi. Aku berdiri mematung seperti orang tolol di depan rumahnya. Seragam putih abu-abu yang kukenakan kini basah kuyup diguyur hujan.

"AccuWeather sialan!" umpatku, tiba-tiba air mataku jatuh tak terbendung.

Beberapa jam yang lalu.

Seperti biasa, di pagi hari yang tampak biasa-biasa saja, namun aku berharap hari ini akan menjadi luar biasa. Aku melewatkan sarapanku dan seperti biasa, aku selalu melihat prakiraan cuaca. Hari ini tampak cerah, sedikit berawan.

Pagi itu, aku memutuskan untuk membolos. Aku berpikir bahwa lebih baik bermain di sungai, dibandingkan harus bernyanyi di depan kelas. Itu sungguh memalukan.

Tak kusangka bahwa dia sudah ada di depan rumahku. Wajahnya terlihat pucat pasi. Aku menghampiri dan berjalan pergi bersamanya, dia mengikutiku dari belakang tampak begitu lesu. Kami tak banyak bicara saat itu.

"Apa kau sudah sarapan? Ayo, kita beli lotek dulu!" ajakku, membuyarkan keheningan di antara kami berdua.

"Kau tak biasa sarapan, nanti malah sakit perut seperti minggu lalu." Balasnya.

Aku mengangguk menyetujui, "Oiya, bagaimana kalau kita pergi berenang ke sungai saja?"

"Ide bagus, orang-orang pasti tak tahan mendengar suara jelekmu."

"Kau juga, suaramu seperti kucing terjepit."

Langit terlihat mulai mendung dan aku mulai was-was.

"Kenapa?" tanyanya.

"Aku tak bawa payung."

"Aku juga. Apa kau takut hujan?"

"Tidak, aku hanya benci harus mencuci lagi seragamku dan menjemurnya. Sungguh merepotkan," jelasku, dia tertawa mendengar penjelasanku.

"Kau dulu paling suka hujan. Kau selalu mengajakku bermain di luar ketika hujan turun." Ucapnya.

Sesampainya di sungai, kami menanggalkan semua pakaian. Kami meloncat ke sungai bergantian. Kami bermain air seperti biasanya. Namun tiba-tiba raut mukanya berubah menjadi suram.

"Ada apa?" tanyaku.

"Aku ingin mengatakan sesuatu," ucapnya tampak serius.

"Apa?" tanyaku semakin penasaran.

"Aku suka padamu."

"Heh? Apa kau gila? Kau sedang bercanda, kan."

"Aku suka padamu. Berapa kali lagi aku harus mengatakannya?"

Aku mundur, menjauh darinya. Dia benar-benar sudah gila, saat itu aku benar-benar ingin memukul wajahnya.

"Jadi, selama ini kau diam-diam nafsu melihatku? Benar-benar gila!" Aku benar-benar marah saat itu. Emosiku tak bisa kukontrol mendengar semua kenyataan itu.

"Bukan seperti itu," air matanya mulai mengalir, "Kau dulu pernah bertanya padaku, apa yang paling kubenci dari dunia ini, kan?"

"Aku tak sedang mood untuk meladenimu," aku naik ke permukaan dan memakai kembali seragamku.

"Aku benci orang-orang di dunia ini yang tak bisa menerimaku apa adanya!" teriaknya.

Aku terdiam membeku, seperti ada sesuatu yang menusuk-nusuk hatiku. Aku berdiri kaku dan memandangnya lekat-lekat, perasaan aneh apa ini? Antara iba sekaligus marah bercampur menjadi satu.

"Maafkan atas reaksiku ini, aku benar-benar kaget mendengarnya. Sejak kapan perasaan itu muncul?"

"Sejak kau menolongku dari anak-anak yang mem-bully-ku."

Itu beberapa tahun yang lalu, saat kami masih di bangku sekolah dasar. Saat itu kami belum sedekat seperti sekarang ini. Aku benar-benar tak menyangka dia bisa menyukaiku.

"Perasaanmu itu tidak salah. Aku tak bisa melarangmu untuk menyukaiku. Perasaan itu milikmu. Aku hanya ingin bilang bahwa aku pun suka padamu, tapi hanya sekedar sahabat, tak lebih dari itu."

"Terima kasih." Ucapnya sembari tersenyum.

Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Aku terbangun dengan peluh keringat dingin membasahi tubuhku. Aku bangun dan segera mandi. Aku terus memikirkan mimpi tersebut, maksudnya apa?

Aku bergegas ke rumah sahabatku, aku ingin menanyakan pendapatnya tentang mimpi aneh barusan. Rumahnya kosong dan saat kutanyakan pada tetangganya, dia mengatakan bahwa Ujang meninggal dini hari tadi pagi. Tiba-tiba, hujan pun turun dengan deras. Apa itu pesan terakhirnya? 

"Selamat pagi."

Samar-samar kudengar suaranya, atau itu hanya perasaanku saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun