Pendahuluan
Arundhati Roy adalah seorang penulis kontemporer yang brilian dengan suara yang menantang dan reformatif. Buku-buku Roy tidak terlalu emosional dibandingkan dengan bukubuku dari penulis wanita lainnya. Drama-dramanya menggambarkan realitas kehidupan yang keras. Roy tidak pernah lebih tertarik untuk menulis dongeng, roman, atau fantasi daripada mengungkap penderitaan manusia.
Semua bukunya membahas tentang agama, perang, politik, nasionalisme, kapitalisme, dan penderitaan rakyat di masa krisis ini. Arundhati Roy selalu berusaha untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi orang-orang yang kurang mampu. Roy mempertanyakan patriarki, stigma sosial, dan otoritas politik. Karya-karyanya mencerminkan kemarahan, ketidakpuasan, dan belas kasihnya. Roy menjelaskan dalam sebuah wawancara dengan Kathy Arlyn Sokol (“Like Sculpting Smoke,” 2011).
Seperti yang dikatakan Roy dalam (“Like Sculpting Smoke,” 2011), “I believe that writers are always two people. I'm one person who lives my life, and another part of me watches me live my life, which is the writer, who is detached from everything and observes. It doesn't make you less passionate about your own life, but there's a part of you that sits on the ceiling fan and watches it while smiling or whatever. In everything I do or have ever done, I am angry at authority, and I am even afraid of having a child because I do not want authority over that small person.
It's very confusing for me and everyone else involved. Because there's this constant questioning of everything, every sentence. I mean, it becomes a wall, which can be exhausting at times. I believe that these emotions are often awakened in you as a result of your childhood experiences, and nothing you do as an adult can quell those questions, fears, or anger. It'll always be there. And yet, I know that if you ask anyone who knows me, they will say, "Oh, she's so calm." And the truth is that I am very calm, but only in my day-to-day interactions; I am not calm about major issues or questions, you know. And I don't have a shouting kind of anger, but rather a very cold anger.”
Sejak zaman terdahulu, budaya telah dibagi menjadi yang lemah dan dominan, dengan orangorang yang rentan menjadi sasaran dominasi dan sanjungan dari kelas otoriter masyarakat dan dengan demikian menjadi pelaku paranoia. Dalam masyarakat, mereka tidak memiliki nama atau kehidupan. Identitas mereka dipertaruhkan, atau mereka akan hidup dengan keunikan yang dipenggal. Mereka adalah spesies yang paling menyedihkan di dunia ini yang tidak memiliki pengalaman, merupakan pelaku kerendahan yang mendalam, dan selalu takut dihina.
paper ini berfokus pada pelecehan transgender dan krisis identitas, yang merupakan inti dari masalah identitas gender. Identitas gender menyiratkan identitas seseorang berdasarkan tingkat karakteristik feminin atau maskulin pada orang dewasa yang sesuai dengan definisi tradisional masyarakat tentang laki-laki atau perempuan. Identitas gender seseorang merupakan faktor psikologis yang mempengaruhi orientasi seksualnya.
Sibsankar Mal mendefinisikan Hijra (Kasim) atau Transgender dalam artikelnya "Biarkan Kami Hidup: Pengucilan Sosial Komunitas Hijra" sebagai "istilah umum untuk menandakan individu yang menentang konstruksi gender yang kaku dan biner dan yang mengekspresikan atau menampilkan pendobrakan dan pengaburan peran gender yang secara budaya lazim secara stereotip." (Mal, 2015).
Oleh karena itu, paper "Identitas Gender dan Perlawanan dalam Novel The Ministry of Utmost Happiness karya Arundhati Roy" membahas tentang bagaimana novel Roy membahas isuisu identitas gender yang kompleks, terutama berfokus pada komunitas transgender, di samping tema-tema perlawanan sosial yang lebih luas. paper ini juga mengeksplorasi marjinalisasi individu transgender, khususnya komunitas Hijrah di India, dan perjuangan mereka dengan identitas, pengucilan masyarakat, dan perlawanan terhadap gender normatif. Hal ini juga menyentuh tema-tema identitas nasional, kelas, dan penindasan interseksionalitas yang dialami oleh perempuan dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya.
Teori utama yang digunakan dalam paper ini adalah teori Judith Butler tentang performativitas gender dan Identitas. Butler berargumen bahwa "gender is not an innate quality but is constructed through repeated performances and social practices" (Butler, 2006). Selain itu, gagasan bahwa gender bukanlah sifat yang tetap atau melekat melainkan sebuah proses konstruksi diri. Menurut Butler, gender bersifat performatif, yang berarti bahwa gender merupakan sesuatu yang "dilakukan" melalui perilaku yang diulang-ulang, dan bukan sesuatu yang "ada" pada diri seseorang berdasarkan biologis atau esensi yang telah ditentukan sebelumnya.
Dengan demikian, gender mempengaruhi identitas yang tidak ditentukan secara pasif tetapi merupakan proses dinamis yang berkelanjutan di mana individu secara aktif mengkonstruksi dan menampilkan gender mereka. Perspektif ini disoroti dalam konteks karakter Aftab, yang bertransisi menjadi Anjum, yang menggambarkan sifat fluiditas dan performatif dari identitas gender. Teori Butler menekankan bahwa tubuh adalah tempat di mana makna historis dan budaya ditorehkan dan ditafsirkan kembali, yang sejalan dengan penggambaran novel tentang perjalanan Anjum dalam menemukan dan merangkul jati dirinya di dalam batasan dan ekspektasi normanorma masyarakat.