Covid-19 atau virus corona sudah menyebar di Indonesia, berdasarkan data terakhir menunjukkan orang yang berstatus positif terkena virus corona sudah melebihi angka 4.000 orang.
Penyebaran virus corona yang begitu cepat memaksa Indonesia memberlakukan kebijakan kepada warganya agar belajar dari rumah, bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH), bahkan pemerintah sudah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19).
Akibat pemberlakuan PSBB ini tidak sedikit masyarakat yang kena dampaknya, karena saat PSBB diberlakukan hanya usaha-usaha tertentu saja yang diperbolehkan beroperasi.
Usaha-usaha yang tidak boleh beroperasi berdasarkan ketentuan yang berlaku dilakukan guna mencegah terjadinya kerumunan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
Keadaan seperti ini membuat perokonomian masyarakat menjadi turun dan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat, terlebih lagi bagi masyarakat yang mempunyai tanggungan, cicilan, utang baik berupa uang maupun perbuatan.
Misal, A yang merupakan penyedia jasa Wedding Organization mengadakan perjanjian jauh-jauh hari sebelum menyebarnya Covid-19 dengan B yang merupakan seorang pengantin yang akan mengadakan resepsi pernikahan.
Karena adanya pemberlakuan PSBB oleh pemerintah, setiap kegiatan yang menimbulkan kerumunan di atas 5 orang dilarang. A yang sudah melakukan perjanjian dengan B tidak dapat mengadakan janjinya karena keadaan demikian, padahal B sudah membayar uang jasa Wedding Organization kepada A. Lantas, apakah B dapat menuntut wanprestasi kepada A?
Antara Kreditur dan Debitur
Agar dapat memahami penjelasan berikutnya, perlu diketahui dalam perjanjian terdapat istilah bagi para pihak yang berjanji adalah antara kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berhak menuntut haknya kepada orang yang melakukan perjanjian dengannya, yaitu debitur.
Kreditur dapat disebut juga orang yang mempunyai piutang terhadap debitur. Sedangkan debitur adalah orang yang harus memenuhi kewajibannya kepada orang yang melakukan perjanjian dengannya, yaitu kreditur.
Debitur dapat disebut juga orang yang mempunyai utang terhadap kreditur. Jadi, dengan kata lain para pihak yang melakukan perjanjian, keduanya mempunyai hak yang berhak dipenuhi maupun kewajiban yang harus dijalankan.
Contoh, seperti perjanjian jual beli yaitu antara penjual dan pembeli. Penjual mempunyai hak untuk menerima pembayaran atas barang atau jasa yang dijualnya, sedangkan kewajiban penjual adalah memberikan barang atau pelayanan jasa yang dijanjikan kepada pembeli.
Begitu juga sebaliknya dengan pembeli, ia mempunyai hak dan kewajiban terhadap penjual. Pembeli mempunyai hak untuk menerima barang atau jasa yang dijanjikan oleh penjual. Sedangkan kewajibannya adalah memberikan pembayaran terhadap barang atau pelayanan jasa yang diberikan oleh penjual.
Wanprestasi atau Force Mejeur?
Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang berbunyi:
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Dari pasal yang disebutkan di atas, maka unsur-unsur wanprestasi adalah:
- Ada perjanjian oleh para pihak;
- Ada pihak melanggar atau tidak melaksakan isi perjanjian yang sudah disepakati;
- Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi perjanjian.
Kemudian Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”
Pasal 1244 KUHPerdata memberikan perlindungan hukum kepada debitur yang intinya adalah jika debitur dapat membuktikan tidak dilaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan karena sesuatu hal yang tidak terduga, debitur tidak perlu memberikan ganti rugi kepada kreditur.
Ketentuan ini juga dipertegas dengan Pasal 1245 KUHPerdata yang berbunyi:
“Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”
Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata merupakan ketentuan yang mengatur mengenai keadaan memaksa atau Force Mejeur. Berbeda dengan wanprestasi yang disebabkan karena kelalaian yang padahal debitur mampu melaksanakannya, sedangkan pada Force Mejeur tidak dilaksanakannya suatu kewajiban dalam perjanjian disebabkan karena sesuatu hal yang tidak terduga atau diluar kendali debitur.
Subekti mengemukakan force majeur adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi;
Abdulkadir Muhammad mengemukakan force majeur adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Berdasarkan pasal dan pengertian para ahli di atas tentang force majeur, maka unsur-unsurnya adalah:
- Tidak terduga oleh para pihak.
- Tidak dapat dipertanggung jawabkan.
- Bukan merupakan kesalahan para pihak.
- Tidak ada itikad buruk dari para pihak.
Sehingga pada kasus A yang tidak dapat melaksanakan jasa Wedding Organization-nya kepada B tepat waktu karena adanya pemberlakuan PSBB oleh pemerintah, maka B tidak dapat menuntut ganti rugi dengan dalil A telah melakukan wanprestasi, karena menyebarnya Covid-19 dan pemberlakuan PSBB diluar kendali atau kesadaran A, sehingga A dibebaskan dari kewajibannya demi hukum.
Namun, pembebasan kewajiban pada A bersifat relatif, yang artinya setelah pemberlakuan PSBB dicabut atau wabah Covid-19 telah selesai, A dapat melaksanakan kewajibannya setelah pemberlakuan PSBB selesai atau mengembalikan pembayaran sudah dilakukan oleh B.
Apakah Perjanjiannya Gugur?
Pasal 1545 KUHPerdata menyebutkan:
“Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar-menukar itu.”
Pasal ini hanya berlaku pada perjanjian timbal balik seperti jual beli dan tukar menukar barang, jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah karena force majeur maka perjanjian diantara keduanya menjadi gugur, kemudian pihak yang telah menerima penyerahan barangnya/uang dari pihak lain wajib mengembalikan barangnya/uang.
Dengan kata lain, perjanjian antara A dan B pada kasus di atas tidak menjadi gugur karena objek perjanjiannya tidak musnah karena objek perjanjiannya adalah jasa pengadaan pesta pernikahan atau Wedding Organization, sehingga pelaksanaannya bisa ditangguhkan kemudian hari atau dicari alternatif lain.
Apakah Perjanjiannya Bisa dibatalkan?
Bisa, hal ini sesuai dengan Pasal 1381 KUHPerdata yang salah satu poinnya mengatakan bahwa perikatan bisa hapus karena adanya kebatalan atau pembatalan. Artinya para pihak yang mengadakan perjanjian dapat membatalkan perjanjiannya sesuai dengan kesepakatan para pihak, hal ini merupakan asas dari kebebasan berkontrak yang sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Sehingga jika kedua belah pihak sepakat atau berjanji akan mengakhiri hubungan perjanjiannya, maka perjanjian dapat dibatalkan.
Semoga bermanfaat,
Penulis: Ray Sumarya
Baca Juga: Hak Pekerja yang Di-PHK Saat Covid-19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H