KFC Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Gerainya banyak tutup, ribuan karyawan terkena PHK, dan kerugian perusahaan terus meningkat. Perdebatan muncul di berbagai media: apa penyebab semua ini? Apakah ini efek COVID-19? Apakah boikot terkait konflik Palestina-Israel? Atau ada masalah internal yang tak terlihat?
Mari kita mulai dari sejarah. KFC masuk Indonesia pada 1979, dibawa oleh pengusaha Dick Gelael. Gerai pertama mereka ada di Melawai, Jakarta. Hanya dalam beberapa tahun, franchise ini berkembang pesat. Grup Salim, salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia, mulai berinvestasi pada 1990. Tiga tahun kemudian, KFC Indonesia melantai di bursa saham. Publik pun bisa ikut memiliki sahamnya.
Namun, seperti roda yang terus berputar, performa bisnis KFC mulai mengalami guncangan. Dalam sembilan bulan pertama 2024, pendapatan mereka turun drastis: dari Rp 4,6 triliun di 2023 menjadi hanya Rp 3,5 triliun. Lebih parah lagi, kerugian mereka melonjak. Dari Rp 152 miliar pada 2023 menjadi Rp 558 miliar di 2024. Perusahaan ini sudah lama merugi, tetapi jumlahnya kini semakin besar.
Sebagian menyalahkan dampak pandemi. COVID-19 memang memukul banyak bisnis, termasuk restoran cepat saji. Selama pandemi, makan di tempat dilarang atau dibatasi. Pelanggan tak bisa datang ke restoran, dan omzet pun turun drastis. Tapi, apakah hanya itu penyebabnya?
Ada juga isu boikot terkait konflik Palestina-Israel. KFC disebut-sebut sebagai target boikot dari gerakan BDS (Boycott, Divestment, and Sanctions). Namun, jika kita cek daftar resmi BDS, KFC tidak ada di dalamnya. Yang masuk daftar justru Burger King, McDonald's, dan beberapa brand lain. Jadi, boikot ini tampaknya bukan faktor utama.
Satu hal yang lebih masuk akal adalah persaingan. Brand lokal seperti Sabana dan Hisana menawarkan ayam goreng dengan harga jauh lebih murah. Dengan Rp 10.000 saja, pelanggan bisa mendapatkan ayam goreng di gerai lokal ini. Bandingkan dengan harga KFC yang bisa mencapai Rp 50.000 per paket. Di tengah inflasi dan daya beli masyarakat yang menurun, konsumen mulai beralih ke opsi yang lebih murah.
Namun, bukan hanya brand lokal yang menjadi ancaman. McDonald's, dengan ayam goreng pedasnya, semakin digemari. Persaingan ini membuat KFC tertekan, apalagi mereka harus terus memberikan diskon untuk menarik pelanggan. Diskon Senin, diskon Kamis, diskon setiap hari. Tapi, apakah itu cukup?
Ada hal lain yang menarik. Indomaret, salah satu pemegang saham utama KFC, mulai menjual fried chicken di gerai-gerai mereka. Harganya lebih murah dari KFC. Pelanggan pun mulai bertanya-tanya: apakah lebih baik beli ayam di KFC, atau cukup di Indomaret? Ini seperti Indomaret menggigit tangan yang memberinya makan. Kompetisi yang tak biasa.
Tak hanya itu, biaya operasional KFC juga menjadi sorotan. Biaya produksi mereka (COGS) mencapai hampir 50% dari pendapatan. Padahal, harga ayam di pasar global cenderung turun. Tetapi KFC tetap membayar mahal untuk bahan bakunya. Mengapa?
Salah satu penyebabnya adalah ketergantungan pada perusahaan besar seperti Charoen Pokphand, yang mendominasi pasar pakan ternak di Asia Tenggara. Banyak peternak ayam di Indonesia yang terpaksa bermitra dengan mereka. Harga pakan tetap tinggi, meskipun harga ayam turun. Akibatnya, biaya produksi KFC juga tidak ikut turun.
Kita bisa belajar dari Filipina. Di sana, merek lokal Jollibee mendominasi pasar. Jollibee bahkan mengalahkan McDonald's dan KFC. Dengan lebih dari 1.100 cabang di Filipina, Jollibee menunjukkan bahwa merek lokal bisa bersaing. Mereka tidak hanya menjual makanan, tetapi juga rasa bangga sebagai produk dalam negeri.
Mengapa hal ini sulit terjadi di Indonesia? Mungkin karena merek lokal kita belum cukup kuat untuk bersaing di tingkat premium. Beberapa merek lokal seperti Ayam Geprek Bensu atau Ayam Richeese memang mulai naik daun, tetapi belum sekuat Jollibee di Filipina. Apakah ini saatnya kita memberi lebih banyak dukungan untuk merek lokal?
Kembali ke KFC. Ada satu keputusan mereka yang banyak dikritik: sponsorship Formula 1. Mereka memasang logo di mobil balap. Biaya besar dikeluarkan, tetapi apa manfaatnya? Apakah ini benar-benar mendatangkan pelanggan baru? Atau hanya membakar uang?
Pada akhirnya, KFC harus berbenah. Mereka harus mencari cara untuk menekan biaya produksi tanpa mengorbankan kualitas. Mereka juga harus lebih peka terhadap kebutuhan pasar lokal. Inovasi menu, harga yang lebih kompetitif, dan strategi pemasaran yang relevan bisa menjadi kunci.
Bagi kita, semua ini adalah pelajaran. Bahwa bahkan merek besar seperti KFC pun bisa jatuh jika tidak beradaptasi. Di tengah perubahan zaman, siapa yang cepat, dia yang bertahan.
New version of GPT available - Continue chatting to use the old version, or start a new chat for the latest version.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI