Setelah 9 bulan Sianida Jessica mengandung, saatnya melahirkan. Sang ayah, Raksasa Kimia, segera menuai benih itu. Misteri drama serial Sianida Jessica, mulai menceritakan adanya kepentingan bisnis raksasa. Jika ini bukan sebuah kebetulan, maka kisah ini adalah sebuah mahakarya peradaban.
Balada Mirna dan Jessica kuasai panggung utama sejak awal tahun, ketika Wayan Mirna Salihin tumbang pada 6 Januari 2016 di sebuah warung kopi. Media massa dan televisi seketika menobatkan Balada Mirna dan Jessica sebagai tontonan sejuta umat. Boleh jadi, jumlah pemirsa yang menonton Balada Mirna dan Jessica melebihi suara yang diperoleh Jokowi – JK di Pilpres 2014. Apakah mungkin, Jessica for President adalah pesaing kuat Jokowi – Ahok di Pilpres 2019?
Balada Mirna dan Jessica pun menjadi tontonan utama pemirsa Indonesia selama 9 bulan terakhir. Dukungan iklan televisi yang membludak, menjadikan tayangan Balada Mirna dan Jessica kuasai Prime Time. Bahkan sejak sidang perdana 15 Juni 2016, tayangan memiliki jadwal tetap, setiap hari Rabu. Tiap episode, Balada Mirna dan Jessica berdurasi rata-rata 6 hingga 8 jam, melebihi Uttaran yang berdurasi 4 jam.
Kisah pembunuhan warga biasa terhadap warga biasa, mendadak lebih heboh dari tayangan Papa Minta Saham. Kisah pembunuhan individu terhadap individu, mendadak sekeras upaya pemerintah memenuhi target pajak dan Tax Amnesty.
Aneh, tapi nyata.
Jika Balada Mirna dan Jessica tidak mendapat panggung, tentu cerita sudah berakhir sejak lama. Jika Balada Mirna dan Jessica tidak ditarik ulur secara sengaja, tentu pengadilan sudah beri vonis sejak lama.
Kehadiran Sang Penyihir Otto Hasibuan mendampingi Jessica, menyulap kasus ‘kecil’ menjadi benang kusut. Muslihat Otto Hasibuan sangat beragam, mulai dari menjadikan Jessica tidak waras hingga meragukan alat bukti.
Para pembaca wajah didatangkan Sang Penyihir Otto Hasibuan guna menjadikan Jessica tampak Gila. Ahli-ahli nujum dihadirkan untuk meragukan alat bukti dengan segudang argumen teoritis dan ujicoba paralel. Tak luput, Otto Hasibuan terkesan tengah berupaya mengarahkan, jika Jessica bersalah tak lain akibat praktik Mafia Hukum.
Hampir berhasil. Pemirsa sempat meragukan Jessica bersalah. Pemirsa sempat menduga ada intervensi alat bukti guna memojokkan Jessica. Pemirsa sempat menganggap Jessica sebagai korban Mafia Hukum.
Namun persidangan ke 20 (kemarin) yang berlangsung lebih dari 12 jam menyibak sejumlah kejanggalan. Ahli Toksikologi Kimia Budiawan yang dihadirkan Otto Hasibuan, ternyata belum pernah menangani kasus kematian akibat racun.
Budiawan mengakui bantahan terhadap adanya Sianida di tubuh Mirna, bukan didasarkan pada hasil Visum Mirna. Budiawan mengakui segudang analisanya itu bersifat teoritis dan dirangkum dari sejumlah materi seminar yang pernah ia jalani.
Bandingkan dengan Ahli Toksikologi Forensik Polri I Made Agus Gelgel Wirasute yang pernah menangani 100 kasus serupa. Gelgel juga menyatakan hasil uji forensiknya didukung peralatan yang memadai, serta didasarkan pada hasil Visum Mirna.
Lebih menarik lagi, Budiawan membantah adanya Sianida di tubuh Mirna karena konsentrasi pada data di Lambung saja. Padahal, menurut Ahli Forensik UI Budi Sampurna, sebagian besar Sianida di tubuh Mirna sudah terserap ke Empedu, Hati dan Urine.
Pertanyaannya :
- Kenapa Otto Hasibuan menghadirkan ahli yang analisanya tidak didasarkan pada Visum Mirna?
- Kenapa Otto Hasibuan menghadirkan ahli yang membantah adanya Sianida dengan eliminasi data pada Hati, Empedu dan Urine?
Pengacara papan atas sekelas Otto Hasibuan, tentu tidak mungkin ‘sembrono’ sejelas itu. Apalagi, 2 kejanggalan itu langsung terbongkar selama persidangan berlangsung.
Kenapa Balada Mirna dan Jessica terus dikepung dengan sejumlah polemik di setiap lini?
Apakah ada unsur kesengajaan dengan tujuan tertentu melalui segudang polemik Balada Mirna dan Jessica?
Tercium aroma menyengat, polemik Sianida berkepanjangan mendesak adanya regulasi tata kelola Bahan Kimia. Sudah jatuh korban, jadi desakan kuat menggolkan RUU Bahan Kimia yang bertahun-tahun Nyangkut di DPR. RUU Bahan Kimia, sempat masuk Prolegnas 2016, namun berpotensi digeser lagi ke 2017. Boleh jadi, berlarut-larutnya Balada Mirna dan Jessica, menjadi kunci vital nasib RUU Bahan Kimia.
RUU Bahan Kimia merupakan usulan yang muncul pada pemerintahan SBY jilid II. Krisis global 2008, menurunkan daya beli Eropa terhadap produk-produk industri kimia dari RI. Sementara, bahan baku industri kimia RI, bergantung pada impor.
Penurunan ekspor RI di tengah ketergantungan impor bahan baku industri kimia, mendesak adanya industri bahan kimia dasar di RI. Jika RI memiliki industri kimia dasar nasional, maka tak perlu impor sehingga menciptakan efisiensi bisnis. Dengan terciptanya efisiensi industri kimia nasional, maka harga jual diproyeksikan tak perlu naik.
RUU Bahan Kimia, dianggap sebagai solusi menciptakan efisiensi industri kimia di tengah turunnya ekspor ke Eropa. Saat ini, 92% bahan baku kimia untuk obat / farmasi masih impor senilai Rp 11 T. Nilai impor bahan baku kimia untuk produk plastik capai USD 5,5 miliar. Belum bahan baku kimia lainnya.
Sayangnya, RUU Bahan Kimia terus terganjal akibat tarik menarik internal maupun eksternal. Biar bagaimanapun, industri kimia dari tingkat bahan baku hingga bahan jadi, pemainnya tak banyak. Kartel menjadi karakteristik dasar industri kimia global maupun Indonesia.
RI membangun Industri Bahan Kimia Nasional, berarti memangkas impor bahan baku dari Eropa, Jepang, China, AS, Australia, dan sebagainya. Memutus impor bahan baku kimia dengan negara lain berarti renegosiasi kerjasama bilateral di sektor lainnya.
Belum persoalan kubu-kubuan di internal Indonesia. Mengurangi impor bahan kimia (Perdagangan) berarti meningkatkan industri kimia nasional (Perindustrian). Kemudian juga, antar pengusaha kimia nasional terjadi tarik menarik jika tiba-tiba tidak perlu impor bahan baku kimia. Juga tarik menarik antara produsen bahan kimia dengan importir bahan baku kimia.
Pada lobi RUU Bahan Kimia, ada juga tarik menarik antar negara asing. Negara yang selama ini mengekspor bahan baku kimia ke RI, juga ingin investasi industri kimia di RI. Negara yang selama ini belum bekerja sama dengan RI di sektor industri kimia, juga ingin dapat ruang di RI. Lalu produsen kimia nasional ingin dominan kuasai pasar, sementara produsen kimia asing juga senada.
Tarik menarik panas lintas sektoral itu, terus menunda pembahasan RUU Bahan Kimia. Wajar jika munculnya Balada Mirna dan Jessica bagai pucuk dicinta ulam tiba, ditunggangi untuk menggolkan RUU Bahan Kimia.
Bahkan bukan tidak mungkin, Jessica membunuh Mirna sebagai sebuah operasi terstruktur untuk menggolkan RUU Bahan Kimia. Apalagi, Australia adalah salah satu negara yang ingin investasi industri kimia di Indonesia besar-besaran. Selain, Australia, ada juga Korea Selatan dan Tiongkok yang serius investasi besar-besaran di sektor industri kimia RI.
Semuanya hanya menunggu RUU Bahan Kimia.
Disinyalir juga, rencana pengenaan Cukai Plastik juga bagian dari langkah menggolkan RUU Bahan Kimia. Rencana Cukai Plastik otomatis akan menaikkan harga produk Plastik Kemasan. Kenaikan harga produk Plastik Kemasan bisa menaikkan harga banyak produk makanan dan minuman. Kenaikan harga produk makanan dan minuman, akan memicu penurunan daya beli dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pengusaha kompak menolak rencana pengenaan Cukai Plastik.
Penolakan ramai-ramai ini masih dalam skenario. Cukai Plastik, merupakan salah satu solusi meningkatkan pendapatan negara. Penolakan Cukai Plastik serentak, adalah bentuk negosiasi, jika ingin Cukai Plastik didukung, harus dibarengi RUU Bahan Kimia.
Hitungannya, disahkannya RUU Bahan Kimia akan ciptakan efisiensi industri kimia. Dengan adanya efisiensi, pengenaan Cukai Plastik bisa dieksekusi tanpa harus menaikkan harga produk di pasaran. Win win solution. Negara dapat tambahan pendapatan dari Cukai Plastik. Produsen tak perlu naikkan harga jual ke konsumen karena RUU Bahan Kimia akan beri diskon.
Meninjau sejumlah korelasi bisnis raksasa kimia di atas, sangat mungkin jika Balada Mirna dan Jessica akan dijadikan tumpuan. Sudah jatuh korban akibat penyalahgunaan bahan kimia karena tak adanya tata kelola kimia via RUU Bahan Kimia.
Kita diminta maklum jika Balada Mirna dan Jessica yang seharusnya sudah tutup buku sejak lama, terus diulur. Sengaja atau tidak, tarik ulur pembelaan Otto Hasibuan pada Jessica telah ‘membantu’ percepatan pengesahan RUU Bahan Kimia. Sementara RUU Bahan Kimia ‘diuntungkan’, Mirna yang tidak lain korban pembunuhan yang sebenarnya, belum mendapat keadilan. Pemirsa ramai yang sempat tersihir, hampir melupakan bahwa keluarga korban (Mirna) masih menunggu hasil putusan pengadilan, demi RUU Bahan Kimia.
Mari kita simak kelanjutan kisahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H