Mohon tunggu...
Ratna Winarti
Ratna Winarti Mohon Tunggu... Penulis - Students who don't want to disappear from civilization

Just writing rather than silence!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946)

19 Januari 2021   17:49 Diperbarui: 19 Januari 2021   18:15 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Judul : Komunitas Tionghoa di Surabaya, 1910 -- 1946 Penulis : Andjarwati Noordjanah
Penerbit : Ombak
Kota penerbit : Yogyakarta
Cetakan ke: 2
Tahun terbit : 2010
Jumlah halaman : xv + 151 halaman

Buku yang berjudul Komunitas Tionghoa di Suarabaya dalam jangka tahun 1910 -1946 ini terbagai menjadi enam bab besar yang salin berkaitan dan menjelaskan tentang bagaimana keberadaan etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa sendiri di Indonesia tidak pernah luput dari gejolak yang berkaitan dengan kekuasaan. Kehidupan mereka di kota-kota yang ada di Indonesia juga diwarnai dengan konflik dengan pihak-pihak Pribumi. Stigma- stigma negatif masyarakat juga menyelimuti mereka. Mereka seakan dianggap berbeda dengan masyarakat Indonesia, padahal mereka juga maysarakat Indonesia. Bagaimana sebenarnya perjalanan sejarah etnis Tionghoa di Surabaya. 

Sampai mereka dianggap berbeda dengan masyarakat lainnya? Apakah mereka memang menarik diri dari kehidupan masyarakat non-Tionghoa dan lebih suka mengelompok dengan sesama etnis? Bagaimana pula bisa terjadi pemogokan oleh penduduk Tionghoa di Surabaya yang sampai menyita perhatian yang luas dari dalam negeri hingga luar negeri?

Orang-orang Tionghoa yang tersebar di Indonesia merupakan mereka yang memiliki sebuah identitas dan kisah sejarahnya sendiri. Bahkan, seorang Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya , Jaringan Asia menuliskan satu bab khusus 'Warisan Cina'mengenai masuknya komunitas ini ke Jawa. Orang-orang etnis Tionghoa hampir bisa kita temui di seluruh sudut kota di Indonesia dengan jumlah yang relatif berbeda namun cukup besar. 

Namun keberadaan mereka hingga saat ini masih mengalami bebrapa dikriminatif baik secara fisik maupun non fisik. Bahkan dalam benak penduduk pribumi masih tersimpan beberapa stereotip yang memang diadakan sejak berabad-abad yang lalu. Sejarah juga menuliskan beberapa peristiwa-peristiwa politis yang terjadi di Nusantara, mulai di masa VOC 1740 hingga reformasi 1998 selalu menyeret kelompok komunitas ini sebagai korban.

Sebuah buku yang diangkat dari skripsi di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, buku Komunitas Tionghoa Surabaya (1910-1946) membahas masyarakat Tionghoa di Surabaya di masa kolonial, masa Jepang, hingga Kemerdekaan yang dikaitkan dengan adanya gejolak sosial pada golongan Tionghoa. Memaparkan tentang perjuangan kaum Tionghoa hidup di Surabaya dari masa penjajahan Belanda hingga kemerdekaan Indonesia. 

Sebagai bangsa pendatang, Belanda menetapkan orang- orang Timur Asing yaitu orang Melayu, Arab, India, dan Tionghoa pada lapisan kedua dalam sistem pelapisan masyarakat. Di bawah orang--orang Belanda dan Eropa lain dan di atas lapisan terendah yaitu orang-- orang Indonesia asli. Sehingga berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan kota. Hal tersebut menimbulkan kecemburuan sosial dari pihak pribumi Surabaya. Disini saya akan sedikit menulis kembali apa yang sudah dibaca dan dipahami pembaca dari isi buku tersebut. Pembahasan akan dipecah sesuai dengan bab yang ada di buku agar bisa membedakan bagaimana isi dari setiap babnya.

Etnis Tionghoa hingga sekarang memiliki citra pandang dimata masyarakat yang negatif dan buruk karena sistem sosial mereka yang terkesan tertutup, berkelompok, mementingkan duniawi, dan tidak mudah bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Namun, hal tersebut akibat pengaruh masa lalu dimasa kolonial Belanda, dimana mereka tidak begitu mendapatkan perhatian oleh karena itu mereka berupaya untuk tetap hidup dengan cara mereka sendiri, dan mengandalkan perdagangan sebagai tumpuan perekonomiannya.

 Kebijakan wijkenstelsel pada zaman kolonial yang dibuat bertujuan untuk menjadikan satu pemukiman Tionghoa yang akhirnya menjadi sebuah titik awal tumbuhnya ekslusivitas di kalangan etnis Tionghoa. 

Kemudian ketika kita mengulas kembali sejarah 10 November 1945, mungkin di benak kita hanyalah cerita peperangan antara pribumi Surabaya dengan Belanda padahal ada kaum lain, utamanya Tionghoa terlibat dalam peristiwa penting tersebut yang membawa Surabaya menjadi daerah berdaulat seperti sekarang.

Dalam peristiwa 10 November di Surabaya tidak banyak yang mengetahui bagaimana penderitaan yang diakibatkan dari peristiwa tersebut dimana hal itu bukan hanya dialami oleh masyarakat pribumi saja, namun hal itu juga berdampak bagi orang- orang Tionghoa yang ada di Surabaya saat itu. Dimana mereka mengalami kesulitas untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok, terjadi perampokan yang ekstrem, dan paling parah adalah terjadi pemerkoasaan yang dilakukan oleh serdadu Gurkha terhadap orang-orang Tionghoa terutama mereka yang masih gadis. 

Selain itu juga terjadi sebuah konflik yang cukup menegangkan antara pihak Tionghoa totok dengan Tionghoa peranakan yang berdampak juga bagi warga masyarakat.

Bab I (Pendahuluan)

Pada bab pertama buku ini menjelaskan bagaimana awal mula kedatangan etnis Tionghoa di Surabaya dengan berbagai aktivitas yang dijalaninya di Surabaya. Andjarwati menuturkan tiga persoalan yang perlu dijawab untuk penelitiannya. Pertama, apakah pergantian kekuasaan yang terjadi di Indonesia mempengaruhi kondisi masyarakat Tionghoa di Surabaya? Surabaya merupakan salah satu tempat yang menjadi tempat tinggal para migran etnis Tionghoa. Surabaya merupakan salah satu kota penting di Jawa dan salah satu kota tertua di Indonesia. 

Di masa kolonial, kota ini berkembang dan menjadi salah satu kota modern. Tidaklah mengherankan jika dalam satu buku panduan wisata dari awal abad ke-20 menyebutkan Surabaya sebagai pintu masuk di Jawa bagi para pelancong, di samping Batavia (Jakarta).

Belum diketahui secara pasti kapan pertama kali etnis Tionghoa datang ke Surabaya. Namun menurut bukti yang ada pada abad ke-14 ditemukan adanya suatu perkampungan asli orang-orang Tionghoa yang beragam islam menetap di Muara Sungai Brantas Kiri (kali porong) yang melakukan aktivitas dan mata pencahariannya sebagai pedagang hasil bumi. Etnis Tionghoa mengalami dua gelombang migrasi besar yang memiliki perbedaan yang mencolok, terutama dalam hal keyakinan dan tujuannya.

Surabaya pada awal abad ke-20 sudah berkembang menjadi kota dagang yang begitu besar dan ramai dengan aktivitas hubungan perdagangan internasional. Hal itu terlihat dari keberagaman masyarakat yang tinggal disana. Dalam autobiografinya Soekarno menyebutkan Surabaya adalah kota pelabuhan yang sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. 

Pelabuhannya yang besar dan sangat strataegis menjadikannya sebagai pusat perdagangan yang aktif dan ramai. Selain itu Surabaya menjadi kota dimana terjadi sebuah perlombaan perdagangan yang kuat bagi orang-orang Tionghoa yang cerdas, dengan juga dipengaruhi oleh arus besar dari pelaut dan pedagang yang membawa berita dari segala penjuru yang jelas juga kan menjadi sebuah pengaruh pemikiran bagi perubahan negaranya.

Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang datang dan menetap di Surabaya, jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. Bila dibandingkan dengan kelompok imigran lain, Arab dan India, masyarakat Tionghoa menempati jumlah terbesar. Hal ini dapat dilihat dari data pada tahun 1920, penduduk Tionghoa di Surabaya berjumlah 18.020 orang, Arab 2.539 orang, dan etnis Timur Asing lainnya 165 orang. Tempat yang menjadi perkampungan pertama bagi etnis Tionghoa di Surabaya berada di sekitar Bibis, yang dulunya berada di perkampungan disebelah utara keraton dan diluar benteng Kompeni.

 Di Surabaya jumlah imigran etnis Tionghoa jumlahnya lebih banyak jika dibandingan dengan imigran yang datang dari etnis lain seperti India dan Arab. Yang membuat etnis Tionghoa lebih menonjol dibandingkan dengan etnis lain adalah mereka lebih menguasai aktivitas yang berhubungan dengan perekonomian, terlebih dalam hal perdagangan.

Pada masa dinasti Qing di Tiongkok diberlakukan sebuah peraturan untuk kaum laki-laki agar memelihara kuncir, dan aturan ini juga berlaku bagi orang-orang Tiongkok yang berada di tempat lain, termasuk di Surabaya, hal itu untuk menunjukan identitas mereka sebagai orang Tiongkok meskipun berada di luar Tiongkok. 

Adapula bebrapa stigma dan identitas yang selalu menjadi ciri khas dari orang-orang etnis Tionghoa yaitu karakter mereka. Misalnya, mereka sering dianggap hidup berkelompok, memiliki sebuah sistem sosial yang tertutup dan tempat tinggal mereka yang lebih banyak memilih tempat yang lebih ekslusif seperti di pusat perkotaan, hal itu dilakukan untuk memudahkan aktivitas mereka sebagai pedagang. 

Mereka juga masih memegang teguh adat istiadat yang mereka percaya dari leluhurnya, etnis Tionghoa juga mementingkan bagaimana cara untuk mendapatkan kekayaan, mereka tidak peduli mau tinggal di negeri manapun, oleh karena itu banyak kita temui orang-orang Tionghoa adalah mereka yang pasti kaya dan terpandang.

Pada masa pemerintahan kolonial orang-orang etnis Tionghoa juga tidak luput dengan berbagai kebijakan yang diberlakukan oleh pihak kolonial. Hal itu dilakukan untuk membatasi ruang gerak dari etnis Tionghoa yang diarsa oleh kolonial hal itu bisa membahayakan ruang geraknya di Surabaya. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan adalah wijkenstelsel, passjalan, dan lain-lain. Inti dari kebijakan tersebut adalah mengatur bagaimana pemukiman dari orang-orang etnis Tionghoa yang berada di Surabaya, mereka diberikan pemukiman khusus di daerah Kalimas bagian timur jembatan gantung dan tempat itu juga menjadi tempat pemukiman orang-orang etnis asing lain seperti Arab dan Melayu. 

Pada kedatangan imigran etnis Tionghoa di gelombang kedua ini terjadi di abad ke-20 yang jumlahnya lebih besar dibandingan pada abad ke-14, dan terjadi perubahan yang sangat mencolok. Tujuan mereka datang ke Indonesia, termasuk ke Suarabaya dengan alasan karena terjadinya pergolakan politik dan peperangan yang terjadi di Tiongkok, yang akhirnya membuat mereka melakukan pelarian ke wilayah-wilayah asia bagian selatan termasuk di Asia Tenggara.

Mereka berusaha untuk melindungi dirinya dari pergolakan yang terjadi di negara asalnya, namun mereka juga memiliki tujuan untuk mencari pendudkung politik sebab kebanyakan dari mereka merupakan para aktivis pendukung kelompok yang sedang berperang. Mereka memilih Indonesia sebagai salah satu tujuan sebab saat itu pula terjadi pergantian kekuasaan yang mana sedikit banyak akan mempenagruhi kehidupan sosial politik etnis Tionghoa di Surabaya saat itu. Berbagai permasalahan yang terjadi pada orang-orang Tionghoa selalu memiliki keterkaitan dengan penguasaan.

Bab II (Dari Kolonialisme hingga Kemerdekaan)

Masuk pada bab kedua buku ini menggambarkan bagaimana keadaan Surabaya Ketika berada pada masa Pemerintahan Kolonial hingga pada masa kemerdekaan. Pada masa tersebut kota Surabaya mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi salah satu kota yang modern selain Batavia. Kota Surabaya sendiri memiliki peran yang besar bagi bangsa Indonesia diantara sebagai kota industri, kota dagang, dan kota Pelabuhan yang diawali dengan didirikannya Marine Etablissmentoleh pemerintah Belanda yang terletak di muara Kali Mas. 

Ketika Surabaya memasuki masa tanam paksa (Culturstelsel) pada pemrintahan kolonial , Surabaya menjadi salah satu kota Pelabuhan ekspor terbesar di Jawa. Sehingga dalam masa perkembangan yang begitu cepat membuat kota ini dikenal di berbagai penjuru dunia pada abad ke-20. Surabaya merupakan kota tempat perlombaan dagang yang kuat dari orang-orang Tionghoa yang cerdas, ditambah arus yang besar dari segala penjuru dunia.

Dengan dikeluarkannya kebijakan oleh pemerintahan kolonial di abad ke-20 yang diperuntukan bagi masyarakat Surabaya. Dimana mereka dibagi menjadi tiga lapisan kelas sosial, pertama lapisan kelas sosial orang-orang Eropa (termasuk didalmnya orang- orang Belanda), yang kedua lapisan sosial masyarakat bangsa Timur Asing yaitu orang Melayu, Tionghoa, Arab, dan India, dan lapisan sosial masyarakat yang terakhir yaitu untuk orang-orang Pribumi. Dengan adanya pembeda lapisan masyarakat yang berlaku di Surabaya membuat mereka juga dibedakan dna dipisahkan dalam hal lain seperti Pendidikan, pekerjaan, pemerintahan dan akan terjadi banyak diksriminasi baik secara fisik maupun non fisik.

Namun, adanya lapisan masyarakat yang membedakan kelas sosial diantara mereka, membuat sebuah protes hadir untuk pemerintahan kolonial yang akhirnya membuat sebuah kebijakan Politik Etis dimunculkan. Akibatnya membuat masyarakat pribumi mendapatkan kesempatan untuk menelan Pendidikan modern hingga tingkat tinggi yang sama dengan etnis-etnis asing lainnya. Yang mana mengakibatkan sebuah penumbuhan lapisan masyarakat menengah baru di akhir pemerintahan kolonial. 

Dengan berbagai permasalahan diskriminasi yang dirasakan oleh penduduk Indonesia saat itu membuat mereka sadar arti pentingnya sebuah nasionalisme untuk emnuju sebuah kemerdekaan. Kesadaran akan kemerdekaan itu mulai diwujudkan secara nyata oleh pemuda-pemuda bangsa Indonesia dengan dibentuknya sebuah organisasi-organisasi yang bisa menggugat dominasi kekuasaan pemerintahan kolonial di Surabaya pada masa itu.

Namun, perjalanan tidak sampai disana, ketika pihak pemerintahan kolonial Belanda berakhir masuklah pada pendudukan Jepang termasuk di Surabaya. Pihak Jepang memiliki sebuah strategi dan kebijakan sendiri untuk menguatkan kedudukannya dan menarik simpati masyarakat Surabaya. 

Jepang menerapkan sebuah kebijakan anti-Barat, baik itu dalam budaya, Pendidikan, dan peraturan yang lainnya. Struktur lapisan masyarakat juga mengalami perubahan begitu pula dengan masyarakat Surabaya, dimana lapisan pertama ditempati oleh orang Jepang, kedua orang-orang Indonesia, dan lapisan ketika ditempati oleh etnis lain seperti Belanda, Tionghoa dan yang lainnya. Namun, hal itu juga pada akhirnya menjadikan banyak konflik yang terjadi di Surabaya selama kependudukan Jepang, baik yang menyangkut urusan Pribumi maupun dengan orang- orang Belanda dan Indonesia.

Kondisi etnis Tionghoa pada masa kemerdekaan mengalami perubahan dengan adanya perpecahan yang terjadi diantara golongan mereka. Hal itu terjadi karena adanya perbedaan dukungan dimana ada pendukung republik dan ada yang anti republik. Namun, disisi lain para komunitas Tionghoa yang lam abangkit kembali bahkan mereka memberikan sebuah pelayanan medis bagi korban-korban perang termasuk kaum pribumi pada masa setelah kemerdekaan itu. Perjuangan besar para etnis Tionghoa ini patut diperhitungkan di Indonesia. Nmaun, terkadang mereka masih mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dan bahkan menyebabkan kontroversi.

Selain memberikan penjelasan mengenai etnis Tionghoa secara khusus di Surabaya, dalam buku ini juga dijelaskan ada peristiwa rasial lain yang masih berkaitan dengan etnis Tionghoa. Yaitu peristiwa Bnadung 1963 terdapat kejadian kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa yang besar di daerah Jawa Barat. Peristiwa itu bermula ketika ada keributan di Kampus ITB antara golongan mahasiswa pribumi dengan mahasiswa non-pribumi. Namun, keributan justru menjadi sebuah kerusuhan besar yang merambat keberbagai kota diantara kota Yogyakarta, Malang, Surabaya dan Malang.

 Peristiwa di kota Pekalongan pada 31 Desember 1972 dimana terjadi sebuah kributan antara orang- orang etnis Arab dengan peranakan Tionghoa. Dimana hal itu bermula ketika adanya perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda dari golongan etnis Tionghoa yang berujung bada keributan pada saat prosesi pemakaman berlangsung.

Sedangkan di kota Meda terjadi pula kerusuhan pada tanggal 12 April 1980 dimana sekolompok mahasiswa dari USU bersepeda mengeliling kota sambal mengembor-gemborkan anti suku peranakan Tionghoa , yang akhirnya berdampak pada kerusuhan yang terjadi akibat pihak Tionghoa merasa di diskriminasi. Selanjutnya kejadian kerusuhan itu juga ada di Surabaya pada tanggal 12 April 1980 yang bermula dari adanya pembantu rumah tangga yang dianiaya oleh majikannya suku peranakan Tionghoa. Akhirnya kejadian tersebut memicu sebuah kemarahan masyarakat Surabaya, mereka bergerak dengan melakukan pelemparan batu di mobil dan toko-toko milik orang Tionghoa.

Bab III (Masyarakat Tionghoa di Surabaya)

Pada bab ketiga ini memberikan penjelasan mengenai bagaimana etnis Tionghoa bisa muncul dan berkembang di Surabaya, mulai dari kedatangannya, kebudayaan dan kehidupan sosial mereka. Selain itu juga menjelaskan tentang perbedaan antara orang Tionghoa totok (singkeh) dan peranakan ragam stratifikasi sosial, agama dan kepercayaan, organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa, jenis-jenis pekerjaan, dan para pemimpin komunitas Tionghoa.

Meskipun belum diketahui secara jelas pada tahun berapa mereka datang ke Surabaya, namun berdasrkan bukti-bukti sejarah yang sudah ada menunjukkan adanya sebuah pemukiman yang dijadikan tempat berdomisili orang-orang Tionghoa di Jawa Timur selama berabad-abad yang lalu. Jauh ketika Surabaya masih menjadi bagian kerajaan, orang-orang etnis Tionghoa sudah ada dan menjadi bagian penduduk di Surabaya. Mereka memiliki ciri fisik yang sangat menonjol dan berbeda dari yang lain sehingga dengan mudah dikenali. Namun, etnis Tionghoa yang datang ke Surabaya itu terdiri dari beberapa golongan suku yang berbeda. 

Sedikitnya ada empat suku bangsa Tionghoa yang terdapat di Surabaya yang masuk dalam daftar sensus Pemerintah Hindia Belanda pada 1930, yaitu suku Hokkian, Hakka, Teo-Chiu, dan Kwang Fu.

Pada migrasi etnis Tionghoa gelombang pertama di abad ke-14 mayoritas beragama Islam, namun pada gelombang kedua abad ke-20 mayoritas mereka penganut Kong HuChu, Taoisme, Budha dan Kristen. Meskipun begitu secara mayoritas orang-orang Tionghoa yang berada di Surabaya mereka menganut Kong Hu Cu, Taoisme dan Budha, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam, dan ajaran Tridharma. Selain itu mereka juga mendirikan sebuah perkumpulan yang mencakup Sebagian orang-orang Tionghod di Surabaya yaitu Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), Joe Tik Hwee Koan, Tiong Hoa Ja Hak Hwee, Hoo Hap, dan Gie Hoo.

 Salah satu organisasi mereka THHK yang pembentukannya sebagai akibat nasionalisme Tiongkok dan nantinya organisasi ini berkembang begitu pesat yang akhirnya pemerintahan kolonial merasa cemas dengan kehadiran organisasi tersebut. THHK pula yang telah melahirkan sekolah khusus bagi anak-anak keturunan Tionghoa yang saat itu tidak mendapatkan perhatian dari pihak kolonial Belanda.

Bab IV (Kebijakan Terhadap Penduduk Tionghoa di Surabaya)

Pembahasan pada bab keempat ini membicarakan mengenai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatur etnis Tionghoa di Surabaya yang ada mulai dari masa kolonial Belanda, masa Jepang, sampai pada masa kemerdekaan Indonesia.Di masa Jepang, terjadi dualisme sikap warga Tionghoa antara golongan peranakan yang berpendapat lebih mudah melawan gerakan fasisme Jepang di tanah Jawa dan golongan Tionghoa totok yang solider pada penderitaan saudaranya di Tiongkok tatkala dikuasai Jepang pada 1931.

Berbagai kebijakan yang sifatnya diskriminatif yang berlaku untuk etnis Tionghoa sebenarnya dapat ditelusuri jauh kebelakanh dengan kebijakan yang sudah dibuat pada berabad-abad yang lalu. Dalam Regeringsreglement tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi).

 Dalam kebijakan tersebut etnis Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama dengan etnis Arab, India, Melayu dan sebagainya. Mereka harus menggunakan sebuah identitas yang berbeda dengan golongan etnis yang lain. Khusus untuk istilah golongan Vreemde Oosterlingen merupakan pergeseran nama dari Vreemdelingen yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18. Hal itu dimaksudkan untuk menjadikan alasan keamanan agar pemerintahan kolonial Belanda mudah mengawasi dan mengaturnya.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda orang-orang etnis Tionghoa dilarang untuk menghilangkan identitas yang sudah melekat pada diri mereka. Selanjutnya ada kebijakan wijkenstelsel yaitu pemusatan pemukiman orang Tionghoa dan etnis asing lainnya pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indi No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. 

Namun, sebenarnya jika dilihat secara jauh kebijakan tersebuat dibuat untuk keamanan, dalam arti supaya etnis Tionghoa dapat dikendalikan dan diawasi dengan ketat. Jika mereka melanggar kebijakan dengan tinggal diluar wilayah yang sudah ditentukan maka mereka akan dikenakan sanksi dengan dipenjara atau di denda 25-100 gulden. Di Surabaya sendiri pemukiman orang-orang Tionghoa berada di sebelah timur Jembatan Merah, daerah di sepanjang aliran Sungai Mas seperti Kapasa, Kembang Jepun,Panggoeng, Songoyudan, Bibis, dan Bongkaran. Wilayah Pecinan ini tepat berada di depan kantor residen Surabaya.

Selain itu berlaku juga sebuah kebijakan yang bernama passenstelsel atau dikenal dengan praktik pass jalan tahun 1816 yang mana dalam peraturan tersebut orang Tionghoa harus membawa kartu pass jalan ketika melakukan perjalanan kelaur kota. Jika mereka ketahuan tidak membawa kartu pass jalan tersebut akan dikenakan hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Oleh sebab itu kebijakan tersebut sangat merepotkan dan memberakan mereka para etnis Tionghoa yang beraktivitas sebagai pedagang, hal itu juga diperparah dengan pembuat pass jalan yang cukup lama dan dipersulit dengan berbagai alasan. Peraturan lain adalah adanya kebijakan Undang-undang Agraria yang berlaku di tahun 1870 yang merugikan etnis Tionghoa di Surabaya.

Pada bab ini juga dijelaskan mengenai penghapusan kebijakan wijkenstelsel dan pass jalan yang akhirnya berdampak pada kebebasan orang-orang Tionghoa dalam menjalankan aktivitasnya sebagai pedagang dan juga pergeraknnya dalam bidang politik. Penghapusan kebijakan itu juga memberikan dampak pada pembentukan partai politik Tionghoa Indonesia Surabaya, sehingga orang-orang Tionghoa akhirnya mengalami perpecahan golongan dalam segi orientasi politik dan Pendidikan. 

Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas, dalam sistem ini unsur pemerasan dan ketidakadilan seringkali terjadi.

Dari segala kebijakan yang telah ditentukan oleh pihak kolonial Belanda akhirnya memunculkan semangat dan keinginan untuk menggalangkan persatuan pada semua golongan etnis Tionghoa yang ada di perantauan. Akhirnya pada awal abad ke-19 orang- orang Tionghoa mulai membuat perkumpulan yang dinamakan THHK (Tiong Hoa Hwee Koan), selanjutnya ada Siang Hwee (Kamar dagang Tionghoa), yang dibentuk pada tahun 1907, dan ada Chung Hua Hui.

 Di Surabaya sendiri THHK dan Siang Hwee memiliki perkembangan yang sangat pesat dan merupakan cabang dari Batavia. Dalam pemikiran etnis Tionghoa dengan didirikannya perkumpulan tersebut untuk mengecarkan bahwa Eropa dan Belanda adalah musuh bersama yang harus dilawan dengan kembali menumbuhkan nasionalisme Tiongkok. Dalam perjalananya pemerintahan Kolonial Belanda merasa bahwa perkumpulan ynag didirikan oleh etnis Tionghoa tersebut bersifat mengancam dan harus segera diterapkan sebuah kebijakan untuk membatasi pergerakannya.

Selanjutnya pada masa kependudukan Jepang orang-orang Tionghoa kembali diberikan kebijakan yang membuat pergerakan mereka terbatas. Dimana pada masa ini dilakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang anti Jepang dan termasuk orang- orang Tionghoa. Pemerintahan Jepang tidak menggunakan kekerasan dalam menghadapi orang-orang Tionghoa namun lebih memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Jepang berusaha untuk mengembalikan identitas kecinaan yang dimiliki oleh orang Tionghoa baik yang totok maupun peranakan. 

Selain itu kembali diberlakukannya kebijakan passenstelsel yang diberlakukan oleh pihak Jepang. Ditutupnya sekolah-sekolah buatan perkumpulan THHK dan HCS yang ada di Surabaya diganti dengan sekolah-sekolah Tionghoa dengan pengantar Bahasa Tiongkok yang selalu diawasi dengan badan pengawas khusus sebagai pengontrol. Di masa Jepang, terjadi dualisme sikap warga Tionghoa antara golongan peranakan yang berpendapat lebih mudah melawan gerakan fasisme Jepang di tanah Jawa dan golongan Tionghoa totok yang solider pada penderitaan saudaranya di Tiongkok tatkala dikuasai Jepang pada 1931.

Ketika orang-orang Tionghoa dimanfaatkan oleh Imamura (panglima Jepang di Indonesia saat itu) untuk kepentingan pihak Jepang, yaitu dengan jalan menghidupkan kembali adat istiada keTionghoaan mereka. Selain itu kebijakan ini juga seklaigus bertujuan untuk menjauhkan golongan peranakan dengan budaya yang menjadi tempat tinggal mereka saat itu. Dan akhirnya menimbulkan sebuah perpecahan untuk melawan Jepang di Jawa dan orang Tionghoa pun banyak yang memilih untuk mendukung pihak Jepang. 

Saat itu Imamura menerapkan sebuah strategi yang mirip dengan politik Devide et Empera, dengan pemikiran bahwa jika kebudayaan keTionghoaan mereka dihidupkan kembali maka dapat dipastikan para etnis Tionghoa akan memberikan simpati dan kepercayaanya kepada pihak Jepang untuk memperkuat posisi kedudukannya di Indonesia.

 Pada masa penjajahan Jepang ini etnis Tionghoa merasakan ketertindasan yang dipaksakan kepada mereka. Dimana para orang-orang Tionghoa dipaksa untuk masuk dalam kesatuan Keibotai (pertahanan sipil milik Jepang dengan anggota khusus orang-orang Tionghoa). Dan yang paling parah para warga Tionghoa disuruh untuk menyediakan perempuan dari golongannya untuk dijadikan sebagai penghibur untuk orang-orang Jepang.

Dijelaskan bahwa etnis Tionghoa dalam pendirian negara Indonesia memiliki sebuah konstribusi yang tidak sedikit. Dibuktikan ketika Surabaya berhasil diduduki oleh Pemerintahan Jepang, orang-orang Tionghoa melawan dengan cara memboikot perdagangan yang diproduksi oleh pihak Jepang dengan disposori oleh Tjin Tjay Hwee. Terlihat meskipun cara mereka bukan dengan perlawanan secara fisik tapi mereka memiliki cara tersendiri untuk mendukung perlawanan dengan Pemerintahan Jepang.

 Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan, orang-orang Tionghoa dihadapkan dengan dua pilihan yaitu ingin menjadi bagian dari RI atau tidak sama sekali. Sedangkan pilihan kedua yaitu mereka diberikan kebebasan untuk menyatakan diri menjadi bagian pihak Belanda atau Tiongkok, namun dengan situasi politik yang telah berubah tidak memungkinkan mereka untuk memilih pilihan kedua itu. Beberapa etnis Tionghoa menjadi bagian dalam persiapan kemerdekaan RI selama minggu-minggu terakhir pada masa kependudukan Jepang.

Bab V (Pemogokan Penduduk Tionghoa Surabaya 1946)

Pada bab kelima dalam buku ini juga menjadi pembahasan terakhir mengenai bagaimana terjadinya peristiwa pemogokan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Surabaya. Apakah peristiwa pemogokan penduduk Tionghoa di Surabaya muncul sebagai manifestasi dari endapan permasalahan di dalam golongan Tionghoa yang berkepanjangan dan tanpa adanya keterlibatan dari penguasa, atau apakah ini akibat dari penerapan kebijakan politik penguasa terhadap minoritas Tionghoa di Indonesia pada masa itu? Alasan terjadinya pemogokan dan juga dampak yang ditimbulkan dari pemogokan tersebut. 

Aktivitas golongan Tionghoa di sejumlah tempat di Indonesia cenderung dikonotasikan negatif. Mereka disebut-sebut sekumpulan oportunis yang menginginkan kekayaan tanpa peduli masyarakat sekitarnya. Sebelum dicitrakan rezim Orde Baru sejak 1966, masyarakat Tionghoa di Surabaya, Jawa Timur, pernah mengalami perlakuan represif dari kekuasaan Sekutu yang didasarkan pada diskriminasi rasial.

Peristiwa pemogokan yang dilakukan selama empat hari itu memiliki dampak bagi aktivitas ekonomi dan sosial di Surabaya. Berawal dari terjadinya pencurian- pencurian yang terjadi menjelang pertengahan September, dengan sasaran utama ialah warga Tionghoa kaya, toko-toko, dan tempat usaha mereka, serta rumah-rumah orang Eropa yang kosong atau sedang disita penguasa Jepang. Pencurian ini dilatarbelakangi karena kekurangan pangan yang terjadi akibat Perang Dunia II. 

Selain itu kedatangan oaring-orang Belanda yang melakukan pengambilan secara paksa bahan kebutuhan pokok milik warga Tionghoa yang memiliki toko dan pasar membuat orang-orang Tionghjoa resah dengan Tindakan tersebut. Ditambah lagi ketika terjadinya perlawanan 10 November 1945, keadaan Surabaya semakin memburuk terjadi krisis pangan, perampokan meningkat, dan pemerkosaan sering terjadi.

Selanjutnya terjadi Penuduhan pencurian yang dilimpahkan kepada orang-orang Tionghoa yang terjadi di Gudang makanan milik sekutu, sehingga tuduhan tersebut banyak orang Tonghoa yang ditawan. Orang-orang Tionghoa di Pasar Pabean dan Songoyu yang terdiri dari pedagang sampai buruh pasar dan pegawai kemudian bersatu untuk memprotes penawanan itu. Ditambah lagi dengan terjadinya peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa yang seringkali pemerkoasaan itu dilakukan oleh para serdadu Gurkha.

 Pancingan tentara Inggris kepada warga Tionghoa miskin untuk melakukan pencurian di Gudang makanan, adanya perlakukan diskriminatif pada pembagian kebutuhan pokok antara orang berkulit putih dengan orang Tionghoa membuat mereka merasa dibedakan dan akhirnya membuat mereka marah. Karena itu tindakan ketidakpuasaan etnis Tinghoa terhadap kondisi ekonomi, keamanan, dan politik yang akhirnya memicu terjadi pemogokan yang dilakukan pada 10-13 Januari 1946.

Aksi pemogokan yang dilakukan selama beberapa hari tersebut berdampak pada penurunan aktivitas perekonomian Surabaya. Akibatnya juga dirasakan terhadap penyediaan kebutuhan logistik tentara sekutu, orang-orang Eropa dan masyarakat Surabaya pada umumnya terhambat dan mendadak lumpuh. Oleh sebab itu Mayor Jendral Mansergh mengajukan permohonan maaf atas perlakuan diskriminatif yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa hal itu bertujuan untuk memulihkan kembali perekonomian di Surabaya. 

Peristiwa pemogokan itu hanya sebagian kecil dari sikap represif dan diskriminatif yang pernah dialami warga Tionghoa di Surabaya. Dalam buku Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946) ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun