Mohon tunggu...
Ratna Winarti
Ratna Winarti Mohon Tunggu... Penulis - Students who don't want to disappear from civilization

Just writing rather than silence!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku "Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946)

19 Januari 2021   17:49 Diperbarui: 19 Januari 2021   18:15 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Selain itu juga terjadi sebuah konflik yang cukup menegangkan antara pihak Tionghoa totok dengan Tionghoa peranakan yang berdampak juga bagi warga masyarakat.

Bab I (Pendahuluan)

Pada bab pertama buku ini menjelaskan bagaimana awal mula kedatangan etnis Tionghoa di Surabaya dengan berbagai aktivitas yang dijalaninya di Surabaya. Andjarwati menuturkan tiga persoalan yang perlu dijawab untuk penelitiannya. Pertama, apakah pergantian kekuasaan yang terjadi di Indonesia mempengaruhi kondisi masyarakat Tionghoa di Surabaya? Surabaya merupakan salah satu tempat yang menjadi tempat tinggal para migran etnis Tionghoa. Surabaya merupakan salah satu kota penting di Jawa dan salah satu kota tertua di Indonesia. 

Di masa kolonial, kota ini berkembang dan menjadi salah satu kota modern. Tidaklah mengherankan jika dalam satu buku panduan wisata dari awal abad ke-20 menyebutkan Surabaya sebagai pintu masuk di Jawa bagi para pelancong, di samping Batavia (Jakarta).

Belum diketahui secara pasti kapan pertama kali etnis Tionghoa datang ke Surabaya. Namun menurut bukti yang ada pada abad ke-14 ditemukan adanya suatu perkampungan asli orang-orang Tionghoa yang beragam islam menetap di Muara Sungai Brantas Kiri (kali porong) yang melakukan aktivitas dan mata pencahariannya sebagai pedagang hasil bumi. Etnis Tionghoa mengalami dua gelombang migrasi besar yang memiliki perbedaan yang mencolok, terutama dalam hal keyakinan dan tujuannya.

Surabaya pada awal abad ke-20 sudah berkembang menjadi kota dagang yang begitu besar dan ramai dengan aktivitas hubungan perdagangan internasional. Hal itu terlihat dari keberagaman masyarakat yang tinggal disana. Dalam autobiografinya Soekarno menyebutkan Surabaya adalah kota pelabuhan yang sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. 

Pelabuhannya yang besar dan sangat strataegis menjadikannya sebagai pusat perdagangan yang aktif dan ramai. Selain itu Surabaya menjadi kota dimana terjadi sebuah perlombaan perdagangan yang kuat bagi orang-orang Tionghoa yang cerdas, dengan juga dipengaruhi oleh arus besar dari pelaut dan pedagang yang membawa berita dari segala penjuru yang jelas juga kan menjadi sebuah pengaruh pemikiran bagi perubahan negaranya.

Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang datang dan menetap di Surabaya, jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. Bila dibandingkan dengan kelompok imigran lain, Arab dan India, masyarakat Tionghoa menempati jumlah terbesar. Hal ini dapat dilihat dari data pada tahun 1920, penduduk Tionghoa di Surabaya berjumlah 18.020 orang, Arab 2.539 orang, dan etnis Timur Asing lainnya 165 orang. Tempat yang menjadi perkampungan pertama bagi etnis Tionghoa di Surabaya berada di sekitar Bibis, yang dulunya berada di perkampungan disebelah utara keraton dan diluar benteng Kompeni.

 Di Surabaya jumlah imigran etnis Tionghoa jumlahnya lebih banyak jika dibandingan dengan imigran yang datang dari etnis lain seperti India dan Arab. Yang membuat etnis Tionghoa lebih menonjol dibandingkan dengan etnis lain adalah mereka lebih menguasai aktivitas yang berhubungan dengan perekonomian, terlebih dalam hal perdagangan.

Pada masa dinasti Qing di Tiongkok diberlakukan sebuah peraturan untuk kaum laki-laki agar memelihara kuncir, dan aturan ini juga berlaku bagi orang-orang Tiongkok yang berada di tempat lain, termasuk di Surabaya, hal itu untuk menunjukan identitas mereka sebagai orang Tiongkok meskipun berada di luar Tiongkok. 

Adapula bebrapa stigma dan identitas yang selalu menjadi ciri khas dari orang-orang etnis Tionghoa yaitu karakter mereka. Misalnya, mereka sering dianggap hidup berkelompok, memiliki sebuah sistem sosial yang tertutup dan tempat tinggal mereka yang lebih banyak memilih tempat yang lebih ekslusif seperti di pusat perkotaan, hal itu dilakukan untuk memudahkan aktivitas mereka sebagai pedagang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun