Selanjutnya pada masa kependudukan Jepang orang-orang Tionghoa kembali diberikan kebijakan yang membuat pergerakan mereka terbatas. Dimana pada masa ini dilakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang anti Jepang dan termasuk orang- orang Tionghoa. Pemerintahan Jepang tidak menggunakan kekerasan dalam menghadapi orang-orang Tionghoa namun lebih memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Jepang berusaha untuk mengembalikan identitas kecinaan yang dimiliki oleh orang Tionghoa baik yang totok maupun peranakan.Â
Selain itu kembali diberlakukannya kebijakan passenstelsel yang diberlakukan oleh pihak Jepang. Ditutupnya sekolah-sekolah buatan perkumpulan THHK dan HCS yang ada di Surabaya diganti dengan sekolah-sekolah Tionghoa dengan pengantar Bahasa Tiongkok yang selalu diawasi dengan badan pengawas khusus sebagai pengontrol. Di masa Jepang, terjadi dualisme sikap warga Tionghoa antara golongan peranakan yang berpendapat lebih mudah melawan gerakan fasisme Jepang di tanah Jawa dan golongan Tionghoa totok yang solider pada penderitaan saudaranya di Tiongkok tatkala dikuasai Jepang pada 1931.
Ketika orang-orang Tionghoa dimanfaatkan oleh Imamura (panglima Jepang di Indonesia saat itu) untuk kepentingan pihak Jepang, yaitu dengan jalan menghidupkan kembali adat istiada keTionghoaan mereka. Selain itu kebijakan ini juga seklaigus bertujuan untuk menjauhkan golongan peranakan dengan budaya yang menjadi tempat tinggal mereka saat itu. Dan akhirnya menimbulkan sebuah perpecahan untuk melawan Jepang di Jawa dan orang Tionghoa pun banyak yang memilih untuk mendukung pihak Jepang.Â
Saat itu Imamura menerapkan sebuah strategi yang mirip dengan politik Devide et Empera, dengan pemikiran bahwa jika kebudayaan keTionghoaan mereka dihidupkan kembali maka dapat dipastikan para etnis Tionghoa akan memberikan simpati dan kepercayaanya kepada pihak Jepang untuk memperkuat posisi kedudukannya di Indonesia.
 Pada masa penjajahan Jepang ini etnis Tionghoa merasakan ketertindasan yang dipaksakan kepada mereka. Dimana para orang-orang Tionghoa dipaksa untuk masuk dalam kesatuan Keibotai (pertahanan sipil milik Jepang dengan anggota khusus orang-orang Tionghoa). Dan yang paling parah para warga Tionghoa disuruh untuk menyediakan perempuan dari golongannya untuk dijadikan sebagai penghibur untuk orang-orang Jepang.
Dijelaskan bahwa etnis Tionghoa dalam pendirian negara Indonesia memiliki sebuah konstribusi yang tidak sedikit. Dibuktikan ketika Surabaya berhasil diduduki oleh Pemerintahan Jepang, orang-orang Tionghoa melawan dengan cara memboikot perdagangan yang diproduksi oleh pihak Jepang dengan disposori oleh Tjin Tjay Hwee. Terlihat meskipun cara mereka bukan dengan perlawanan secara fisik tapi mereka memiliki cara tersendiri untuk mendukung perlawanan dengan Pemerintahan Jepang.
 Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan, orang-orang Tionghoa dihadapkan dengan dua pilihan yaitu ingin menjadi bagian dari RI atau tidak sama sekali. Sedangkan pilihan kedua yaitu mereka diberikan kebebasan untuk menyatakan diri menjadi bagian pihak Belanda atau Tiongkok, namun dengan situasi politik yang telah berubah tidak memungkinkan mereka untuk memilih pilihan kedua itu. Beberapa etnis Tionghoa menjadi bagian dalam persiapan kemerdekaan RI selama minggu-minggu terakhir pada masa kependudukan Jepang.
Bab V (Pemogokan Penduduk Tionghoa Surabaya 1946)
Pada bab kelima dalam buku ini juga menjadi pembahasan terakhir mengenai bagaimana terjadinya peristiwa pemogokan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa di Surabaya. Apakah peristiwa pemogokan penduduk Tionghoa di Surabaya muncul sebagai manifestasi dari endapan permasalahan di dalam golongan Tionghoa yang berkepanjangan dan tanpa adanya keterlibatan dari penguasa, atau apakah ini akibat dari penerapan kebijakan politik penguasa terhadap minoritas Tionghoa di Indonesia pada masa itu? Alasan terjadinya pemogokan dan juga dampak yang ditimbulkan dari pemogokan tersebut.Â
Aktivitas golongan Tionghoa di sejumlah tempat di Indonesia cenderung dikonotasikan negatif. Mereka disebut-sebut sekumpulan oportunis yang menginginkan kekayaan tanpa peduli masyarakat sekitarnya. Sebelum dicitrakan rezim Orde Baru sejak 1966, masyarakat Tionghoa di Surabaya, Jawa Timur, pernah mengalami perlakuan represif dari kekuasaan Sekutu yang didasarkan pada diskriminasi rasial.
Peristiwa pemogokan yang dilakukan selama empat hari itu memiliki dampak bagi aktivitas ekonomi dan sosial di Surabaya. Berawal dari terjadinya pencurian- pencurian yang terjadi menjelang pertengahan September, dengan sasaran utama ialah warga Tionghoa kaya, toko-toko, dan tempat usaha mereka, serta rumah-rumah orang Eropa yang kosong atau sedang disita penguasa Jepang. Pencurian ini dilatarbelakangi karena kekurangan pangan yang terjadi akibat Perang Dunia II.Â