Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Amplop pembawa luka 3

25 Januari 2025   06:34 Diperbarui: 25 Januari 2025   06:45 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar deraian keringat dan harapan ( sumber: doc. pribadi)

"Maaf ya, Nak. Ayah nggak bisa bantu," katanya sambil tersenyum kecil, seolah tak ada yang salah dengan semua ini.

Air mataku hampir jatuh, tapi aku menahannya. Aku tidak ingin terlihat lemah di depan ayah. "Iya, Yah. Maaf sudah merepotkan," kataku sambil membalikkan badan.

Perjalanan pulang terasa lebih berat. Kakiku seperti tak punya tenaga lagi. Setiap langkah terasa menyakitkan, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena rasa kecewa yang menumpuk di dadaku.

Setibanya di rumah, aku tidak bercerita apa pun pada ibu. Aku hanya masuk ke kamar dan menangis diam-diam. Di usiaku yang masih muda, aku merasa seperti sudah menanggung beban yang terlalu besar.

Namun, aku tidak boleh menyerah. Hari berikutnya, aku meminta izin pada Rahmia untuk main ke rumahnya, meski sebenarnya aku punya rencana lain. Aku ingin bekerja di rumahnya untuk membantu ibu.

Setibanya di sana, aku melihat kesibukan ibunya yang luar biasa. Aku memberanikan diri untuk berbicara kepadanya, memohon agar diizinkan bekerja.

"Tante, bolehkah saya membantu mencuci baju, menyetrika, atau mencuci piring di sini? Saya ingin membantu ibu saya. Saya butuh uang untuk membayar sekolah," kataku dengan suara pelan.

Akhirnya, ibu Rahmia mengizinkanku bekerja. Setiap pagi, aku berpura-pura sakit dan tidak masuk sekolah. Aku datang ke rumah Rahmia, mencuci baju, menyetrika, melipat kain, hingga tanganku terasa perih dan kulitku memerah. Tapi aku tidak peduli. Setiap keringat yang jatuh adalah harapan untuk masa depan.

Di hari ketujuh, semuanya terbongkar. Guru bertemu ibu di jalan dan menanyakan kenapa aku tidak masuk sekolah. Saat aku pulang, ibu menungguku di depan pintu dengan mata berkaca-kaca.

"Kenapa kamu lakukan ini, Nak?" tanyanya sambil menangis.

Aku memeluk ibu erat. "Aku hanya ingin membantu ibu, Bu. Aku ingin meringankan beban ibu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun