Mohon tunggu...
Sri Hidayati
Sri Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pasca Sarjana UM Sumatera Barat

Berkarya dengan pena, menembus dunia, meraih ridha Ilahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Amplop pembawa luka 3

25 Januari 2025   06:34 Diperbarui: 25 Januari 2025   06:45 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar deraian keringat dan harapan ( sumber: doc. pribadi)

Aku mengangguk pelan, mengambil amplop itu dengan tangan yang gemetar. Saat aku membuka amplop itu, mataku langsung menangkap angka-angka yang membuat dadaku sesak. SPP-ku belum pernah dibayar sejak aku naik kelas 3. Jumlahnya menumpuk, ditambah lagi uang ujian akhir yang besar.

Ketika aku menyerahkan amplop itu kepada ibu di rumah, ia terdiam. Ibu membaca rincian itu perlahan, lalu menarik napas panjang.
"Insya Allah, Nak. Ibu akan usahakan," katanya dengan senyum tipis yang terasa begitu berat. Aku tahu, senyum itu hanyalah cara ibu menyembunyikan air mata.

Namun, hari itu ibu memberitahuku sesuatu yang membuat dunia kecilku hancur. Sambil menghindari tatapanku, ibu berkata pelan, "Nafisa, kata paman robi, ayahmu... bukan keluar kota. Ayahmu menikah dengan seorang janda di kampung sebelah yang rumahnya disamping SDN sekitar sana."

Aku membeku. Rasanya seperti dihantam palu besar di dada. Di kampung sebelah? Aku tidak tahu harus berkata apa. Kepalaku terasa berat. Aku hanya bisa menatap ibu dengan mata yang mulai basah.

Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk menemui ayah. Aku tidak tahu apa yang aku harapkan, mungkin aku hanya ingin mendengar penjelasannya. Dengan langkah kecil, aku berjalan tanpa kendaraan. Perjalanan 45 menit menuju kampung sebelah terasa seperti perjalanan tanpa ujung. Jalanan berdebu, panas matahari terasa membakar kulitku. Tapi aku terus berjalan, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengannya.

Setelah sampai, aku melihat ayah duduk di depan rumah mewahnya. Di pangkuannya, seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun tertawa riang. Aku berdiri diam, menatap dari kejauhan. Rasanya seperti melihat pemandangan yang bukan milikku. Itu adalah ayahku, tapi kenapa aku merasa begitu jauh darinya?

"Assalamu'alaikum, Yah," sapaku akhirnya.

Ayah menoleh dan tersenyum lebar. "Nafisa! Kenapa kamu ke sini?" tanyanya sambil bangkit berdiri.

Tanpa basa-basi, aku mengutarakan maksudku. "Yah, aku butuh bantuan. Sekolahku mengharuskan membayar uang ujian akhir. Ibu sudah sangat kesulitan, Yah. Tolong bantu aku," pintaku sambil menahan getar di suaraku.

Ayah terdiam sesaat, lalu mengelus kepala anak kecil di pangkuannya. "Nafisa, Ayah juga sedang tidak punya uang. Kehidupan Ayah di sini juga pas-pasan," jawabnya.

Namun, yang membuat hatiku semakin sakit adalah ketika ia kembali duduk dan memeluk anak kecil itu erat, mencium pipinya dengan penuh kasih sayang. Anak itu tertawa riang, sementara aku berdiri kaku, merasa seperti seorang pengemis yang tidak diinginkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun