part 3
Deraian Keringat dan Harapan
Pagi itu, sinar matahari mulai menerobos celah atap rumah kami yang sudah mulai rapuh. Aku duduk di meja kecil, menatap sepiring nasi yang hampir putih polos. Di atasnya, hanya ada sambal sederhana. Tak ada lauk, bahkan sebutir telur pun terasa mewah.
Ibu duduk di depanku, berusaha menyembunyikan rasa lelah di wajahnya. "Makanlah, Nak. Nanti terlambat ke sekolah," ucapnya lembut. Suaranya terdengar serak, mungkin karena tangis yang sering ia tahan di malam-malam yang sunyi.
Aku tersenyum kecil, menahan rasa yang mengganjal di dadaku. "Bu, ini enak kok. Lebih dari cukup," kataku mencoba menenangkan hatinya. Aku tahu ibu berusaha keras membuatku merasa cukup, meski dalam hati aku tahu ia memaksakan diri.
Aku memulai suapan pertama dengan perlahan, mencoba menikmati setiap butir nasi. Dalam hati, aku berjanji bahwa suatu hari aku akan membuat ibu makan dengan kenyang, tanpa harus menahan rasa khawatir seperti sekarang.
Setelah sarapan, aku berangkat ke sekolah dengan langkah ringan. Meski tanpa uang jajan, aku tetap berjalan dengan semangat. Aku harus kuat, batinku. Aku ingin ibu tahu bahwa aku tidak menyerah, bahwa aku berusaha memberikan harapan baru untuknya.
Di sekolah, suasana tampak biasa saja. Teman-temanku tertawa, bercanda, seolah tak ada beban di dunia. Aku ikut tersenyum bersama mereka, meski di hatiku ada kekhawatiran yang terus menghantui.
Namun, kekhawatiranku semakin nyata saat bel berbunyi dan seorang guru berdiri di depan kelas untuk memberikan pengumuman.
"Bagi seluruh siswa kelas 9, harap memperhatikan pengumuman penting ini. Pembayaran uang ujian akhir paling lambat dua minggu lagi. Jika tidak, siswa tidak diperkenankan mengikuti ujian."
Duniaku seakan terhenti. Dua minggu? Bagaimana ibu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sesingkat ini? Aku tahu betul kondisi rumah kami. Bahkan untuk makan sehari-hari saja, ibu sering meminjam ke tetangga.
Tiba-tiba, seorang guru memanggilku ke ruang tata usaha.
"Nafisa, ini amplop rincian biaya sekolahmu. Sampaikan kepada orang tuamu segera, ya," ucapnya sambil menyerahkan amplop putih.