A story by : Ratna Roidatin
Kali ini mentari bertahta tepat di atas ubun-ubun. Panas menyengat kulit yang sudah berubah warna menjadi gelap layaknya ubi bakar di kampong halaman. Angin kering menyapu wajah-wajah kusam nan berdebu. Langkah kaki itu berjalan tersaruk-saruk menimbulkan kepulan debu dimana-mana.
Tiga pasang kaki itu meninggalkan jejak yang cantik, di mana jejak pertama  pasti pemiliknya bertubuh kekar nan gagah. Kedua, pasti punya tubuh yang lumayan besar karena kedalaman pijakannya.  Ketiga  ini agaknya sedikit berbeda, dia punya kaki yang kecil dengan seretan garis lurus sepanjang bekas pijakan kaki satunya. Di sebelahnya terlihat jejak yang bukan manusia, berkaki empat dan selalu berada di sisi si kaki ketiga ini.
"Masih kuat berjalan?" Tanya si kaki pertama,
"Tentu"
"Ayo, kita istirahat saja sebentar"
Lelaki kedua bertubuh tambun itu mengisyaratkan teman-temannya untuk beristirahat di bawah pohon tepat 100 meter dari tempat mereka.
"Panas sekali, tenggorokanku kering"
"Kita sudah tidak punya air lagi. Habis. Kalau kau haus akan aku carikan"
Lelaki pertama itu langsung pergi, tidak mungkin orang dalam kondisi pincang karena jebakan pemburu itu mencari air.
Mereka bertiga adalah teman satu kampung yang melarikan diri dari perbudakan penjajah. Sedangkan anjing itu, hanya sebuah  kebetulan yang menganggap mereka sebagai majikan.
Awan yang biru bak laut, dan warna putihnya yang seperti gundukan kapas itu terus bergulung berlarian kesana-kemari. Mentari kali ini ingin berubah menjadi sesosok senja dengan warna merah dan kehangatannya.
"Kemana Rudi?"
Sudah hampir tiga jam Rudi belum kembali. Entah kemana perginya dia mencari air, akankah dia tertangkap oleh para penjajah itu. Hal ini memunculkan andai-andai yang buruk.
"Lebih baik aku cari saja Ed, sekalian aku cari makanan buat kita"
"Biarkan aku sa-,"
"Tak usah, dengan kondisimu itu kau hanya akan menyulitkan. Lebih baik kau disini saja, tunggu aku dan Rudi"
"Tapi Thom,"
Thomas pergi tanpa mendengarkan perkataan Ed. Kali ini Ed  benar-benar merasa bersalah dengan kawannya. Dia menyesalkan kondisinya, hari sudah mulai gelap.
Kali ini senjapun sudah benar-benar lengser. Ed hanya memandang senja. Bukan mengagumi, tapi merenung. Boni si bulldog yang sejak tadi di sampingnya sekarang entah hilang kemana. Ed sekarang merasa benar-benar sendirian.
"Boni,, Boni, "
Tak ada gonggongan jawaban.
"Berarti dia memang benar tidak ada di sini"
Ed hanya dapat tergugu. Dia tidak tahu harus bagaimana. Dia sudah ditinggal oleh kedua kawannya. Dan sekarang Boni pun meninggalkannya.
"Apa aku terlalu menyusahkan mereka? Makanya mereka meninggalkanku dan membiarkan jasad ku jadi santapan gagak hitam itu?"
Ed bertanya kepada dirinya sendiri. Pandangannya tertuju ke burung gagak yang sejak tadi memandang kaki yang diperban.
"Apa kau lihat-lihat!"
Burung gagak itu tidak berhenti memandangnya, justru teman-temannya berjumlah lima ekor berdatangan.
Kali ini, memang sudah tidak terdapat mentari. Rembulan? Tak ada. Hanya gelapnya malam sejauh mata memandang. Hitam? Iya. Hanya warna itu yang dapat terlihat oleh  mata.
"Apa aku harus mati seperti ini? Tanpa warna? Hitam?. Ditempat ini?. Padahal aku menginginkan mati di usia 100 tahun, bukan 20 tahun. Aku pun ingin mati di tempat yang terdapat senja. Dengan lukisan laut dan segala aksesoris karang, pasir, pohon kelapa, serta ombak romantisnya. Tapi ini? Sama sekali berbeda dari impianku"
Ed berucap sendiri, dia sudah putus asa. Tak ku asa menahan rasa sakit di kakinya. Gagak kematian itu pun juga sudah tidak sabar untuk makan besar.
Titik-titik keringat di jidat dan keringat dingin membasahi pakaiannya. Kedua bola matanya sudah terpejam, dan sekarang benar-benar warna gelap yang ada.
"Apa aku sudah mati?"
Mata Ed, samar-samar terbuka ketika melihat sekilas cahaya kuning di ujung jalannya.
Bukan  cahaya ke alam lain, namun terang dan hangat.
"Kau sudah sadar Ed?"
"Thomas, Rudi? Itu kalian?"
"Iya, maaf  lama karena kami tadi harus kucing-kucingan dengan beberapa tikus kumal"
Kedua kawannya telah kembali. Begitu pula dengan Boni yang sibuk  menjilati kaki Ed.
"Maaf Ed, Boni tadi  mencarikanmu kayu bakar. Sesampai di sini, kamu sudah  tidak sadar dengan kayu bakar dan Boni disampingmu. Karena kondisimu, pasti itu bukan ulahmu benarkan?"
Kali ini Rudi yang berbicara.
"Benar sekali"
"Augh-augh" Si Boni pun ikut unjuk suara yang disambut gelak tawa semuanya. Malam itu, walaupun tidak ada rembulan, bintang dan angin sekalipun. Mereka tetap senantiasa bersama, bernyanyi dirangkul hangatnya api unggun yang saat paginya pasti hilang tanpa jejak yang sama.
Waktu memang tak dapat  terpisah dengan ruang, itu fakta. Hukumnya wajib. Malam ini, nanti akan berganti dengan fajar, mentari, senja kemudian kembali lagi kemalam. Mereka berempat telah mengetahuinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H