Tak ada gonggongan jawaban.
"Berarti dia memang benar tidak ada di sini"
Ed hanya dapat tergugu. Dia tidak tahu harus bagaimana. Dia sudah ditinggal oleh kedua kawannya. Dan sekarang Boni pun meninggalkannya.
"Apa aku terlalu menyusahkan mereka? Makanya mereka meninggalkanku dan membiarkan jasad ku jadi santapan gagak hitam itu?"
Ed bertanya kepada dirinya sendiri. Pandangannya tertuju ke burung gagak yang sejak tadi memandang kaki yang diperban.
"Apa kau lihat-lihat!"
Burung gagak itu tidak berhenti memandangnya, justru teman-temannya berjumlah lima ekor berdatangan.
Kali ini, memang sudah tidak terdapat mentari. Rembulan? Tak ada. Hanya gelapnya malam sejauh mata memandang. Hitam? Iya. Hanya warna itu yang dapat terlihat oleh  mata.
"Apa aku harus mati seperti ini? Tanpa warna? Hitam?. Ditempat ini?. Padahal aku menginginkan mati di usia 100 tahun, bukan 20 tahun. Aku pun ingin mati di tempat yang terdapat senja. Dengan lukisan laut dan segala aksesoris karang, pasir, pohon kelapa, serta ombak romantisnya. Tapi ini? Sama sekali berbeda dari impianku"
Ed berucap sendiri, dia sudah putus asa. Tak ku asa menahan rasa sakit di kakinya. Gagak kematian itu pun juga sudah tidak sabar untuk makan besar.
Titik-titik keringat di jidat dan keringat dingin membasahi pakaiannya. Kedua bola matanya sudah terpejam, dan sekarang benar-benar warna gelap yang ada.