Mohon tunggu...
Ratna Puspitasari
Ratna Puspitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidikan Matematika UNISSULA

Saya tertarik dengan menulis, membahas hal yang berkaitan dengan Matematika, karir, gaya hidup, buku, dan literasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ide Konseptual dalam Implementasi Teori Resiliensi Dilihat dari Keadaan Psikologis Siswa saat Masa Transisi Pandemi ke Endemi Covid-19

13 Januari 2023   08:33 Diperbarui: 13 Januari 2023   08:37 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa sedang mengerjakan angket, siswa sedang diwawancara, dan guru sedang diwawancara. (Sumber Gambar : Pribadi)

Akhir-akhir ini, dunia tengah  dikejutkan  dengan  wabah  Covid-19  (Corona Virus Desease) yang dikabarkan berasal dari kota Wuhan, Cina sejak Desember 2019 (Lee, 2020). Angka Covid-19 di Indonesia tinggi, sehingga mengakibatkan sekolah online. Sampai pada awal tahun 2022, status pandemi sudah beralih menjadi endemi dan banyak lembaga-lembaga pendidikan yang mulai menerapkan kembali pembelajaran tatap muka secara offline, tetapi juga harus menerapkan social distancing. Peralihan pembelajaran siswa dari online ke offline tentunya berkaitan dengan keadaan psikologis siswa.

Psikologis merupakan bagian dari psikologi, psikologi sendiri adalah studi yang membahas perilaku dan pikiran seseorang. Sejalan dengan pendapat (Nikmatuzaroh, 2019) psikologi didefinisikan sebagai studi ilmiah tentang perilaku dan proses (Scientific Study of Behaviour and Mental Processes). 

Maka dapat diartikan bahwa kondisi psikologis siswa dapat ditentukan dari pikiran, mental serta kesadaran yang timbul dari tingkah laku siswa tersebut sebab pengaruh dari diri sendiri maupun lingkungan.

Faktor psikologis siswa erat kaitannya dengan Teori Resiliensi. Menurut pandangan dari beberapa ahli psikologi, Teori Resiliensi dapat diartikan sebagai: 

1. Kemampuan individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah mengalami kesulitan (Reivich dan Shatte, 2002). 2. Sebuah pola adaptasi yang bersifat positif dalam menghadapi kesulitan (Riley dan Masten, 2005). 3. Kemampuan untuk mempertahankan stabilitas psikologis dalam menghadapi stress (Keye & Pidgeon, 2013). Dari ketiga pandangan ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa Teori Resiliensi merupakan teori tentang keadaan psikologis individu saat menghadapi suatu kesulitan atau keterpurukan. 

Imbasnya ke siswa setelah diterapkan kembali ke pembelajaran offline adalah tentang perilaku, sikap, kesiapan mental, dan kemandirian daripada siswa itu sendiri. Terkait dengan penjabaran tersebut, maka penulisan artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian secara umum terkait pembelajaran pasca pandemi Covid-19 serta ide konseptual untuk menyikapi keadaan psikologis siswa saat masa transisi.

Dari penjelasan di atas, sampel dalam penelitian ini diambil di salah satu sekolah menengah swasta di Pati, Jawa Tengah. 

Dari hasil angket penelitian saat pembelajaran offline kembali diterapkan keadaan psikologis siswa dijelaskan bahwa siswa dapat tetap tenang meskipun berada di bawah tekanan, dapat mengendalikan emosi, perhatian, perilakunya, berkonsentrasi dan memahami materi ketika pembelajaran offline. Kemampuan beradaptasi kerap kali menjadi suatu hal yang sulit bagi siswa ketika terjadinya transisi, terlebih lagi ketika menghadapi kesedihan. Namun, siswa tidak mudah menangis ketika kesulitan dalam mengerjakan soal atau ujian secara luring. 

Siswa mampu mengembangkan kemampuan sosial, seperti tidak takut berinteraksi dengan guru dan teman satu kelas secara offline. Salah satu indikator penting yang sangat erat dengan belajar siswa dan tentunya tidak terlepas dari psikologis siswa adalah harapan akan masa depan.

Hal tersebut dapat dilihat dari sikap optimis siswa ketika belajar dan tetap semangat menggapai cita-cita setelah adanya pandemi. Indikator yang lain adalah kemampuan percaya untuk mengatasi masalah. Namun, pada usia anak SMP peran orang tua, seperti memberikan dorongan, semangat belajar, memfasilitasi sarana untuk mendukung kegiatan pembelajaran saat offline dan selalu memberikan evaluasi terhadap hasil belajar anaknya sangat diperlukan. 

Oleh karena itu, siswa mengaku bahwa orang tua mereka lebih nyaman pembelajaran secara offline kembali diterapkan karena saat pembelajaran secara online orang tua siswa tidak bisa mengajari anaknya. Memahami dan merasakan perasaan orang lain sangat erat kaitannya dengan psikologis siswa. 

Hal tersebut dapat dilihat ketika siswa memberikan bantuan kepada temannya, saling bertanya, dan membantu teman yang masih kesulitan dalam memahami materi saat pembelajaran secara offline.

Dari hasil wawancara penelitian baik kepada siswa maupun guru keadaan siswa saat pembelajaran offline kembali diterapkan dapat dijabarkan bahwa pada saat mengerjakan soal ataupun pembelajaran matematika keadaan kelas ramai, tidak kondusif, seperti adanya obrolan dari siswa jika tidak ada guru yang mengawasi. Hal ini terjadi disebabkan adanya perubahan dari pandemi ke endemi. Siswa di kelas dapat memperhatikan pembelajaran dengan cukup baik, walaupun terkadang mengalami gangguan seperti beberapa siswa yang menjadi penyebab keramaian. 

Semua nilai mengalami peningkatan, baik secara sedang, bertahap, maupun yang signifikan jauh meningkat dan siswa lebih menyukai pembelajaran secara offline, hal ini disebabkan pada saat online materi yang diajarkan tidak sepenuhnya masuk dan mudah untuk dipahami oleh siswa. Namun, faktor ekonomi lagi-lagi mempengaruhi nilai siswa tersebut, di mana siswa dengan ekonomi keluarga menengah ke atas, memiliki nilai yang lebih baik daripada siswa dengan ekonomi keluarga menengah ke bawah. 

Sejalan dengan keadaan siswa pada narasumber sebelumnya, siswa cenderung pasif dan kurang adanya interaksi satu sama lain disebabkan karena siswa sudah terbiasa sendiri di rumah. Pada nilai, faktor keluarga tidak 100% melatarbelakangi adanya perubahan nilai siswa, terdapat hal yang lebih mendalam. 

Keadaan siswa saat masa transisi ini diketahui lebih cenderung suka bekerja secara kelompok, sebab mudah berinteraksi secara langsung dengan teman, sehingga membuat pembelajaran lebih asik, seru, menyenangkan, dapat bertukar pikiran, berbagi secara langsung, dan berdiskusi walaupun ada sedikit kendala, seperti terdapat anggota kelompok yang kurang berkontribusi dan lain sebagainya. 

Selain itu, terdapat keantusiasan siswa secara positif dalam memberikan bantuan untuk memahami masalah, saling berbagi materi, membantu mengarahkan, dan memberikan informasi. Beberapa siswa lebih nyaman ketika belajar dengan teman sebayanya daripada dengan guru.

Untuk menyikapi masalah psikologis siswa saat masa transisi, diperlukan suatu ide konseptual yang kreatif dan inovatif guna membantu siswa dalam memahami materi pelajaran, khususnya matematika. Selain itu, ditinjau dari aspek psikologis kebanyakan siswa lebih menyukai pembelajaran yang berbasis diskusi, sehingga salah satu ide konseptual yang dapat diterapkan adalah mengadakan tutor sebaya. 

Dengan adanya tutor sebaya dapat meningkatkan psikologis siswa, seperti siswa senang dalam berdiskusi, mudah bertukar pikiran, dan tentunya menambah wawasan atau pengetahuan antara satu sama lain. Dampak lain mengadakan tutor sebaya adalah siswa menjadi semangat dalam belajar dan termotivasi untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Menurut penelitian yang telah dilakukan dijelaskan bahwa dalam tutor sebaya, kesenjangan akademik antara peserta harus diminimalkan. Tujuan memasangkan siswa dengan rekan-rekan yang berprestasi serupa menjamin kemudahan dan kenyamanan mereka (De Backer, Van Keer, & Valcke, 2015).

Selain melakukan tutor sebaya, siswa juga dapat berkonsultasi terkait dengan psikologis masa transisi pada guru Bimbingan Konseling (BK). Perlu diketahui bahwa Bimbingan Konseling tidak hanya melayani siswa yang mempunyai masalah kenakalan saja, namun dapat juga melayani konsultasi terkait dengan prestasi maupun keadaan akademik siswa. Jika banyak yang berkonsultasi terkait dengan hal tersebut, maka terdapat kemungkinan hasil belajar siswa pada sekolah tersebut akan mengalami peningkatan.

Dari beberapa penjelasan yang sudah dipaparkan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa keadaan psikologis siswa di masa transisi pandemi ke endemi tetap tenang di bawah tekanan, dapat berkonsentrasi ketika pembelajaran offline, siswa lebih suka berinteraksi dengan teman secara offline, dan lain sebagainya. 

Nilai siswa cenderung mengalami peningkatan, baik secara bertahap maupun secara signifikan. Hal tersebut tidak terlepas dari bagaimana manajemen kelas yang dilakukan oleh guru dan dukungan dari kedua orang tua. Untuk menyikapi masalah psikologis siswa saat masa transisi, dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu melaksanakan tutor sebaya, berkonsultasi dengan guru mata pelajaran, maupun guru Bimbingan Konseling.

Kedepannya sekolah harus dapat berpartisipasi aktif dalam mengontrol psikologis siswa pada masa transisi pandemi ke endemi, sehingga siswa dapat lebih maksimal dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, siswa diharapkan mampu mengontrol dirinya untuk dapat berkonsentrasi dalam kegiatan pembelajaran, mampu berinteraksi dengan guru secara aktif, serta dapat berdiskusi dengan teman-teman lainnya. Tidak hanya untuk sekolah dan siswa. 

Kedepannya, guru matematika sebaiknya lebih aktif berkomunikasi dengan siswa agar siswa lebih merasa berani untuk bertanya ataupun sekadar menyampaikan kesulitan yang dihadapi. Kemudian, guru bisa membuat program-program khusus dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran serta memberikan teladan dan kenyamanan bagi siswa saat pembelajaran, agar siswa mudah beradaptasi dengan cepat pada saat transisi. 

(Ratna Puspitasari, Nur Hidayah, dan Yulianti. Mahasiswi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Sultan Agung. Dengan Bapak Imam Kusmaryono, S. Pd, M. Pd selaku dosen Manajemen Pendidikan dan Ibu Hevy Risqi Maharani, S.Pd., M.Pd selaku dosen Problematika Pembelajaran Matematika, Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Sultan Agung)

Referensi :

De Backer, L., Van Keer, H., & Valcke, M. (2015). Exploring evolutions in reciprocal peer tutoring groups’ socially shared metacognitive regulation and identifying its metacognitive correlates. Learning and Instruction. 38(1). 63–78. https://doi.org/10.1016/j.learninstruc.2015.04.001.

Keye, M. D., & Pidgeon, A. M. (2013). Investigation of the Relationship between Resilience, Mindfulness, and Academic Self-Efficacy. Open Journal of Social Sciences. https://doi.org/10.4236/jss.2013.16001.

Lee, A. (2020). Wuhan Novel Coronavirus (COVID-19): Why Global Control is
Challenging?. Public Health, 179, A1-A2.

Reivich, K. & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skills for overcoming life’s inevitable obstacles. Newyork: BroadwayBook.

Riley, J. R., & Masten, A. S. (2005). Resilience in context: Linking context to practice and policy. Editor Peters, R. D, Leadbeater, B & McMahon R. J. Resilience in children, families, and communities: Linking context to practice and policy (hal. 13-25). New York, NY: Kluwer Academic/Plenum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun