Mohon tunggu...
Ratna Sari Dewi
Ratna Sari Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi jurusan Ilmu Al Quran dan Tafsir

Ibu rumah tangga yang juga mahasiswi jurusan Ilmu Al Quran dan Tafsir di STAI Tasikmalaya, mempunyai hobi bersepeda dan juga menulis, menulis apa yang ingin ditulis...trip, pendidikan, sosial budaya, karya sastra, dll.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menggantung Impian

11 Maret 2023   13:50 Diperbarui: 11 Maret 2023   14:18 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siluet wanita berjilbab. Photo by Idina Risk via pexels.com 

CITA-CITAKU

Air Mata Senja

Di waktu senja yang kelabu, dalam sebuah ruangan kamar rumah sakit, di situ hanya ada satu ranjang yang merupakan kamar VIP. Ainun terbaring lemah tak berdaya. Dia sempat koma selama sepuluh hari. Rahma,Ibunya Ainun yang penuh kasih sayang, selalu disampingnya dengan sabar menunggu, sesekali tertidur lelap di samping ranjang, menanti anaknya terbangun sambil memegang tangan halusnya. Ruangan yang hening, menggambarkan kesedihan yang meliputi hati ibunya Ainun. Gadis cantik yang tinggi semampai dan molek itu kini terbaring lemah. Gadis periang yang baik hati itu, kini tidak berdaya.

Tiba-tiba tangan halus yang dipegangnya bergerak dan spontan ibunya dengan sigap memanggil dokter jaga saat itu. Samar-samar Ainun membuka mata dan memandangi infus di tangannya. Dia terdiam bertanya-tanya, kenapa bisa berada di sini dengan lemas dan memakai infusan.

"Bu...kenapa aku berada di sini?" Dengan lirih sambil memandang ibunya yang sedang tertidur di sampingnya. Ibunya terbangun dan langsung membetulkan posisi tidur Ainun.

"Ainun...Alhamdulillah nak akhirnya kamu sadar...jangan banyak bergerak...dokter..dokter !"

Seru Rahma.

"Bu kenapa kakiku seperti kesemutan...aku tidak bisa menggerakan kakiku..." Tanya Ainun dengan keadaan lemas.

Rahma terdiam tidak mampu berkata-kata melihat putrinya Ainun dengan kondisinya sekarang ini pasca kejadian sepuluh hari yang lalu.

"Aaaaaaaa...mana kakiku bu...kenapa aku sekarang tidak punya kaki...dikemanakan kakiku buuu", Teriak Ainun.

Isak tangis Ainun mengguncangkan hati Rahma. Dia hanya bisa menangis dan berusaha menguatkan putrinya. Ya, sepuluh hari yang lalu, Ainun mengalami kecelakaan mobil bersama kekasihnya Rangga. Namun Rangga tidak bisa diselamatkan karena cedera parah di kepalanya. Beruntung Ainun bisa selamat, walaupun pada saat itu Ainun dalam keadaan terhimpit badan mobil dan terluka parah. 

Masih melekat dalam ingatan akan kepergian ayahnya menuju pangkuan Sang Pencipta. kini, Ainun harus menghadapi sebuah kenyataan lain dalam hidupnya. Begitupun Rahma, dia harus hidup dalam kesepian dan kesendirian, setelah suaminya meninggal karena penyakit jantung yang dideritanya sudah lama. Dia mulai merindukan sosok suami yang penyayang dan penuh perhatian itu. Kondisi putrinya saat ini sangat membutuhkan dukungan dan kasih sayang ayahnya.

Setelah diberi obat penenang, Ainunpun tertidur.Dalam kesendirian, Rahma kembali memikirkan jawaban apa yang akan diberikan untuk putrinya ketika siuman nanti. Kejadian ini akan menjadi guncangan yang hebat bagi Ainun. Karena dia sudah kehilangan segalanya. Karirnya, kekasihnya dan juga cita-citanya. Ibunya sudah banyak memikirkan apa yang akan dihadapi Ainun kedepannya. Apa yang bisa dilakukan putrinya tanpa kedua kakinya. Ainun sangat bangga dengan kakinya. Dengan kakinya dia bisa menari balet, dengan kakinya dia meraih puncak kesuksesan, dengan kakinya dia....

"Akh.....Hiiik...Hiiik....", tangisnya tak terbendung memikirkan hal-hal yang dia katakan dalam benaknya. Dipandangi Ainun yang cantik, dan dia berusaha membangunkan alam bawah sadarnya dengan mengatakan hal-hal yang baik.

Tangannya yang lembut dipegangi ibunya, membayangkan anak yang sangat menjaga tubuhnya ini sedang tergeletak dan tidak berdaya. Anak yang tidak pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya karena hidup dalam kenyamanan dan sendok emas di tangannya. Kini dia harus berjuang. 

Mengganti Cita-Cita

Hari berganti-Hari Ainun sudah mulai bisa menerima takdirnya dengan hidup tanpa kedua kaki. Ada ibu disampingnya yang akan selalu mendukungnya. 

"Namun bagaimana dengan impianku?" Tanyanya di dalam hati.

Di atas kursi roda sambil menatap tanaman hijau di belakang rumah sakit yang banyak sekali pohon-pohon dan bunga yang cantik. Ainun kembali mengingat saat-saat terindahnya bersama Rangga. Setelah tahu akan kematian Rangga dalam kecelakaan itu, Ainun sempat hilang semangat hidup dan tidak bisa menerima kepergian Rangga. Karena baginya, Rangga adalah sosok pengganti ayahnya yang penyayang dan perhatian. 

Namun Ainun bukan tipe wanita yang manja sekalipun sendok emas di tangannya. Dia adalah sosok wanita yang tangguh dan mandiri. Ainun mulai merencanakan bagaimana hidupnya nanti, bagaimana impian dan cita-citanya dan tidak mungkin jika dia harus bergantung pada ibunya.

Ketika melihat lambaian tangan dan senyum ibunya dari kejauhan, Ainun memotret ibunya dengan jari telunjuk dan jempol kedua tangannya membentuk kotak. Lalu dia baru ingat, ayahnya adalah mantan fotografer terkemuka. Dan kameranya masih tersimpan di dalam lemarinya sebagai kenang-kenangan. 

"Bu...sudah saatnya Ainun menggantung cita-cita Ainun sebagai penari balet". Kata Ainun kepada ibunya. Ibunya kaget, karena Ainun bicara dengan tiba-tiba. Ibunya hanya menyimak, menunggu apalagi yang akan dikatakan Ainun.

"Ainun ingat, ayah pernah memberikan Ainun kamera kesayangannya sebagai hadiah ulang tahun Ainun tahun lalu, ayah tahu bahwa Ainun punya bakat dalam bidang fotografi seperti ayah, betul kan bu..?" Sahut Ainun menunggu jawaban dari ibunya.

"Iya nak, ibu masih ingat...sedari kecil kamu suka main foto-foto bersama ayahmu, lakukanlah nak...gantilah cita-citamu...ibu yakin kamu bisa nak...".Sahut ibunya sambil memeluk Ainun.

Dari potret ini, kehidupan tidak selalu berpihak pada si gadis yang memegang sendok emas. Dia dengan segala kelebihan yang dimilikinya, selalu ada takdir yang menyertai. Namun cita-cita tidak harus dari apa yang selalu kita impikan, namun cita-cita bisa tumbuh dari ketidakberdayaan dan kasih sayang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun