Mohon tunggu...
Dwi Ratna Sari
Dwi Ratna Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Gadis dengan kelahiran 14 September, senang membaca buku fiksi dan mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harapan dan Impian

23 Desember 2024   20:02 Diperbarui: 23 Desember 2024   20:02 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seluruh anak akan sepakat apabila setelah lulus SMA seseorang akan kebingungan dalam menentukan masa depannya kelak. Apakah ia harus bekerja untuk mencukupi kebutuhannya? Atau lebih memilih untuk melanjutkan pendidikannya dalam artian kuliah? Saat anak tersebut memilih untuk bekerja, pekerjaan seperti apa yang akan ia lakukan? Kemudian ketika ia memilih kuliah, Universitas dan Prodi apa yang akan ia pilih nantinya? Kira-kira begitulah isi pikiran Kinan sekarang.

Kinan, perempuan kelas 12 akhir tersebut rupanya tidak henti-hentinya berusaha untuk dapat lulus di Perguruan Tinggi Negeri favoritnya. Ia termasuk siswa yang cukup pintar, namun tidak ada yang menyangka saat pengumuman jalur undangan kemarin ia dinyatakan tidak lulus oleh Universitas pilihannya. Tidak ada kata menyerah dalam kamus Kinan. Berbagai jalur sudah ia coba mulai dari jalur undangan maupun jalur prestasi, namun tetap saja ia masih gagal. Hari-harinya setiap saat selalu ia gunakan untuk belajar, tidak pernah berhenti; tidak pernah lelah untuk bisa masuk fakultas kedokteran impiannya.

Pada kesunyian malam, tampak lampu-lampu temaram di sekitar rumah. Tidak ada lagi kendaraan yang berlalu lalang, tidak ada lagi percakapan-percakapan kecil keluarga yang menggembirakan, yang ada hanyalah suara jangkrik selaras dengan larutnya malam. Rupanya orang-orang tengah melakukan tradisi lelahnya; terlelap pulas di alam mimpinya, namun berbeda dengan Kinan. Gadis itu masih berusaha keras dalam pelajarannya, terlihat sekali buku-buku tebal menumpuk juga lampu belajarnya yang hampir padam. Besok ialah kesempatan terakhir bagi Kinan untuk mengikuti tes Perguruan Tinggi Negeri atau yang biasa disebut dengan SNBT (Seleksi Nasional Berbasis Tes). Untungnya dia mendapatkan sesi siang, memberikan kesempatan baginya untuk mengulas semua materi walaupun kesempatan itu sedikit.

Siangnya Kinan pergi untuk mengikuti tes SNBT di kampus Negeri yang tidak jauh dari rumahnya. Berbekal apa yang sudah ia pelajari kemarin, ia sangat yakin mampu menjawab soal-soal yang keluar pada saat tes nanti. Dengan mantap ia pun menuju ruangan tes, tak lupa setiap langkahnya merapalkan doa harap-harap dapat lulus di prodi impiannya. Pada saat mengerjakan soal, terbukti gadis itu mampu menjawab satu per satu soal tersebut dengan lancar. Semoga saja cita-cita nya terkabulkan. Semoga saja...

***

Sebulan kemudian tiba saatnya hari yang paling mendebarkan bagi Kinan. Pasalnya pengumuman tes SNBT akan diumumkan sore ini. Ditemani Maira, sahabatnya itu mengajak Kinan untuk pergi ke rumah makan terdekat untuk bersama-sama melihat hasil akhir tesnya. Dibanding Maira, gadis tersebut lebih memilih untuk bekerja daripada harus melanjutkan pendidikannya. Alasannya sih simpel nggak mau mikir lagi katanya, matematika saja sudah pusing apalagi dengan ratusan soal yang harus dikerjakan lalu tugas-tugas kuliah yang banyak yang ada malah tifus dadakan! Duh, yang benar saja!

"Sekarang kamu kerja dimana, Mai?"

"Kerja di toko kue punya kakakku si, Nan."

"Bukannya kamu suka kue ya? Cocok juga pekerjaanmu bisa makan kue tiap hari," canda Kinan.

Maira mengerucutkan bibirnya, kemudian ia menyendokkan beberapa nasi ke dalam mulutnya."Sebenarnya aku tuh bingung pekerjaan aku itu apa. Boro-boro buat kue, nyicip kue aja gak pernah, Nan. Aku kalau lagi di toko lebih sering jaga keponakan daripada buat kue. Kayaknya cuma dapat hikmahnya doang biar keponakanku gak ganggu kakak pas lagi kerja," ujar Maira.

"Walaupun dapat hikmahnya aja tapi tetap digaji kan?" tanya Kinan.

"Digaji sih, royal banget, pengen berhenti kerja tapi gajinya banyak ya udah pasrah ikhlas aja jalaninnya, Nan."

Kinan tertawa mendengarnya, dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul tiga sore sudah waktunya bagi dirinya untuk membuka pengumuman, "Nan, udah waktunya kan?" tanya Maira.

Perlahan tapi pasti Kinan membuka web pengumuman menggunakan handphone nya. Kinan menarik napasnya cemas, ia sudah gugup sedari tadi. Apapun hasilnya nanti lulus atau gagal ia akan berusaha untuk menerimanya,"Gimana hasilnya?" tanya Maira yang sudah tidak sabar.

Kinan menggelengkan kepalanya, di depan Maira ia berusaha kuat. "Merah, Mai. Aku gak lulus," gumam Kinan.

Tidak perlu hitungan detik dalam sekejap Maira langsung memeluk sahabatnya itu. Takut-takut Kinan akan menangis seperti halnya kemarin-kemarin pada saat pengumuman sebelumnya. Maira menepuk punggung Kinan seolah-olah sedang menenangkannya. "Kamu boleh nangis, Nan. Aku tau perjuangan kayak apa, nggak pernah berhenti buat belajar. Kalaupun kamu belum lulus bukan berarti perjuanganmu sia-sia. Seenggaknya kamu udah berusaha, Nan."

Sementara Kinan tidak tau harus merespon ucapan Maira seperti apa. Entah kenapa saat ini ia sedang tidak ingin menangis, air matanya sudah habis ketika beberapa jalur yang ia daftarkan hasil keseluruhan menunjukkan bahwa dirinya tidak ada yang berhasil. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri apa ia sebodoh itu sampai-sampai tidak ada satupun Universitas Negeri yang mau menerimanya.

Sebenarnya ada beberapa opsi lain yang mengatakan bahwa tidak apa jika tidak lulus di kampus negeri karena masih ada kampus swasta yang dengan tulus hati akan menerimanya. Namun, tekad Kinan sungguh bulat. Ketika ia sudah memutuskan apa yang dia mau, ia tidak akan pernah mengubahnya. Jika dipikir-pikir untuk masuk kampus swasta tentu saja akan membutuhkan biaya yang sangat banyak. Sungguh itu menjadi persoalan bagi Kinan terlebih dia hanya tinggal bersama abangnya saja dan mereka hanyalah rakyat kecil biasa.

***

Setelah Kinan pulang ke rumah, ia berniat untuk mengunci diri di dalam kamarnya. Ia tidak ingin bertemu dengan siapapun termasuk Abangnya. Di antara pergantian sore ke malam, gadis itu menangis terisak di sudut ruangan. Seringkali Kinan bertanya-tanya perihal banyak pertanyaan yang teramat mengusik kepalanya. Seperti misal, mengapa manusia harus hidup selaras semesta jika ingin hidup baik? Mengapa manusia harus melewati fase-fase dewasa yang jauh dari kata cukup? Mengapa harus ada kegagalan dalam setiap perjalanan manusia? Maka ketika ia meratap disudut ruangan gelap, ia memangkas rambutnya seperti halnya membumikan harapannya. Semua hal yang direncanakan dirasa jauh dari kata sampai. Satu per satu angan yang ia bingkai serupa guguran daun yang berjatuhan.

Kemudian pada menit setelahnya Jinandra hadir dalam suasana paling tenang seperti halnya mengajak pada perapian hangat di suatu dinginnya malam. Abang Jinan, panggilnya. Laki-laki yang selalu menjadi tokoh favorit Kinan dalam segala hal, menganjakkan peran layaknya orang tua baginya. Satu-satunya keluarga Kinan, karena selepas orang tuanya meninggal hanya Jinan saja yang dapat ia andalkan.

Jinan membawa Kinan dalam dekapan paling hangat, sangat nyaman untuk dijadikan layaknya penghuni rumah yang merindukan tempat untuk berpulang. Dipeluknya Kinan dengan erat seraya mengelus rambutnya. "Kenapa rambutnya dipotong? Bukannya kamu suka rambut panjang?" celetuk Jinan.

Kinan menggelengkan kepalanya, "Mulai hari ini aku nggak suka rambut panjang."

"Kenapa begitu, hm?" Jinan masih berusaha bertanya sembari mengusap mata Kinan dengan jemarinya.

"Abang, aku gagal."

"Gak, kamu gak gagal, dek."

"Abang, maaf aku gak jadi apa-apa," jawabnya dengan suara yang bergetar.

"Kata siapa begitu?"

"Abang, Kinan kangen Bunda," Kinan kembali terisak.

"Besok kita ke makam Bunda ya?" Tidak ada sahutan dari Kinan lantas ia menggenggam jemari Kinan. "Ngeliat kamu kayak gini, rasanya Abang gagal buat ngejaga kamu."

Jinan menarik napasnya pelan, ia berusaha melanjutkan kata-katanya itu, "Ketika berbicara tentang hidup mungkin yang terlintas di pikiran orang lain adalah hidup itu selalu selaras dengan pilihan sebab selalu ada pilihan-pilihan yang amat membingungkan bagi manusia itu sendiri. Ketika pilihan yang kamu ambil adalah jalan yang kurang tepat, maka akan ada jalan lain yang selalu siap untuk menyambutmu. Abang pernah baca buku berjudul Filosofi Teras dan menemukan satu kalimat yang paling Abang ingat, Some things are up to us , some things are not up to us, ada hal-hal di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak di bawah kendali kita. Jadi nggak papa, nggak perlu ngerasa gagal jadi manusia sebab perkara-perkara tersebut bukan di bawah kendali kamu, dek."

Jinan menjeda ucapannya lalu menepuk pelan pundak adiknya itu sembari tersenyum hangat. "Usaha adalah yang paling penting disaat kamu mengejar hasil terlebih manusia sangat wajar jika mengalami kegagalan. Belum beruntung hari ini bukan berarti belum beruntung di hari esok kan? Masih ada hari-hari baik di depan yang menunggu kamu. Apa dari awal seseorang di sekitarmu sudah terlahir menjadi berhasil? Nggak kan? Mereka punya sifat berani, keberanian untuk melangkah ke depan, keberanian untuk bisa semangat walaupun nanti nggak tau hasilnya seperti apa. Terbentur, tersungkur, lalu berdiri lagi. Tersungkur lagi lalu berdiri lagi, begitu seterusnya sampai kamu terbentuk," tutur Jinan.

Setelahnya ia menggenggam tangan adiknya itu, menatapnya lamat harap-harap Kinan mengerti apa yang diucapkannya. "Kinan, katakan pada dirimu sendiri bahwa kamu sudah bekerja keras dan dirimu yang sekarang sangat layak untuk diberikan penghargaan. Bahkan ketika kamu belum jadi apa-apa maupun belum mencapai kampus impianmu, kamu tetap jadi adik Abang, Kinan kecil yang harus Abang jaga."

Suasana hati Kinan rasanya sangat membaik setelah Jinan mengatakan hal panjang itu untuknya, "Udah ya nangisnya? Adik Abang jelek kalau nangis," pinta Jinan sementara Kinan menampilkan wajah cemberut ketika diejek Jinan.

"Makan dulu ya? Mau abang suapin?" Malam itu Kinan benar-benar kembali pada dirinya yang kecil. Kali ini suasananya berbeda, bukan dengan Bundanya melainkan bersama Jinan. Sungguh jikalau ada Jinan di setiap rumah, maka dipastikan tidak ada hal yang perlu dirisaukan. Lewat tindakan dan ucapan magisnya ia mampu menghangatkan seisi rumah. Menenangkan.

"Abang?'' panggil Kinan.

"Hm? Kenapa?"

"Makasih, makasih buat semuanya. Makasih udah terlahir jadi Abangnya Kinan," ungkap Kinan, sedangkan Jinan hanya tersenyum mendengar ucapan adiknya. "Abang juga makasih karena Kinan masih mau di sisi Abang, kedepannya kita jalani hidup dengan bahagia, ya?"

Kinan tersenyum. "Selama Abang tetap di samping Kinan, gak ada yang perlu dikhawatirkan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun