Di kaki Pegunungan Rocky, di padang luas tempat angin menderu bagai bisikan leluhur, Tianaga, seorang pria dari suku Lakota, tinggal sendirian di sebuah pondok kayu tua yang dia bangun. Nama Tianaga berarti "serigala yang berlari", sebuah gelar yang disematkan ayahnya, seorang pemburu ulung. Namun, Tianaga bukan pemburu. Dia lebih memilih merawat alam, memahat kayu menjadi ukiran yang menceritakan legenda sukunya, dan merenung dalam kesunyian hutan.
Hari itu, Tianaga berjalan di tepi sungai. Dia mendengar suara rintihan kecil dari bawah semak. Saat mendekat, dia menemukan seekor anak elang botak dengan sayap yang patah. Mata burung itu menyala dengan keinginan hidup, meskipun lunglai. Tianaga membawanya pulang, membalut sayap tak berdaya itu dengan kulit rusa tipis, dan memberi makan dengan sisa-sisa ikan yang dia tangkap.
Sang elang diberi nama Kaya, yang berarti "kebebasan" dalam bahasa Lakota.
"Kaya," Tianaga berbisik suatu malam di depan api unggun, "kau adalah pesan dari leluhur. Kau harus belajar bebas. Namun, aku akan membimbingmu hingga kau siap."
Hari demi hari, Tianaga melatih Kaya. Dia mengangkat burung itu ke udara, melatihnya melawan angin, dan mengajarinya memekik seperti raja langit. Namun, saat tubuh dan sayapnya tumbuh gagah, Kaya tetap tidak mau meninggalkan tanah. Tianaga menyadari satu hal: Kaya takut.
"Elang sepertimu tidak seharusnya tinggal di bumi," Tianaga berkata suatu hari. "Namun, aku takkan memaksamu. Kebebasanmu adalah hakmu."
Satu pagi, Tianaga bangun mendapati kandang Kaya kosong. Jejak kaki mengarah ke utara, menuju desa orang kulit putih. Hatinya berdebar. Dia tahu Kaya telah dicuri. Tianaga segera mempersiapkan kudanya dan menempuh perjalanan melintasi padang rumput yang seolah tanpa tepi.
Dia sampai di pasar kecil di dekat sungai besar. Pasar itu penuh dengan pedagang kulit putih dan pembeli yang mencari barang-barang eksotis. Tianaga menyusuri keramaian hingga Kaya terlihat terikat di tiang kayu. Burung itu mengepakkan sayap lemah, matanya memancarkan ketakutan.
"Kaya ...." Tianaga berbisik, mendekat.
Seorang pria besar dengan topi lebar berdiri di dekat burung itu.
"Tertarik dengan elang botak ini?" tanyanya, menyeringai. "Burung ini langka, harganya mahal."
"Itu elangku," Tianaga menjawab tegas. "Dia dicuri dari rumahku."
Pria itu tertawa sinis. "Burung ini milikku sekarang. Kau punya uang, Penduduk Asli? Kalau tidak, jangan buang waktuku."
Tianaga berdiri tegak, menatap pria itu dengan mata tajam.
"Kaya bukan untuk dijual. Dia adalah sahabatku, bukan barang dagangan."
"Semua di sini adalah barang dagangan!" tukas si pria. "Kalau kau tidak bisa membayar, enyahlah!"
Orang-orang mulai berkumpul, memperhatikan perselisihan itu. Tianaga mengangkat suaranya.Â
"Burung itu tidak layak menjadi budakmu. Dia lahir untuk terbang bebas. Biarkan aku membawanya pulang, atau akan kupanggil pihak berwenang!"
Penjual itu mendengus, tetapi wajahnya mulai gelisah.
"Buktikan kalau dia milikmu," katanya akhirnya.
Tianaga maju mendekat. "Lepaskan dia. Jika dia datang padaku, itu buktinya!"
Pria itu ragu, tetapi akhirnya membuka ikatan Kaya. Elang itu terjatuh ke tanah, terlalu lemah untuk berdiri tegak. Tianaga berlutut, memandang burung itu dengan penuh kasih.
Kaya," bisiknya. "Tayan wachiyanke. Senang bertemu denganmu lagi, Kaya. Ini aku. Jangan takut!"
Burung itu mengangkat kepalanya perlahan, lalu menyeret tubuhnya ke arah Tianaga. Orang-orang di sekitar terdiam, terpesona oleh pemandangan itu. Si penjual mendesah berat.
"Baiklah," katanya. "Bawa dia pergi."
Tianaga membawa Kaya kembali ke pegunungan. Dia tahu burung itu telah kehilangan kepercayaan dirinya, tetapi dia tidak menyerah. Dirawatnya burung itu hingga suatu hari Tianaga mendaki bukit tertinggi, membiarkan angin menggulung mereka.
"Kaya," katanya dengan suara lembut, "kau lahir untuk terbang. Langit memanggilmu. Aku tidak bisa melindungimu selamanya, tetapi aku tahu kau bisa menjaga dirimu sendiri."
Burung itu menatapnya ragu. Tianaga mengangkatnya ke udara, lalu berkata, "Terbanglah, Kaya. Percayalah pada dirimu!"
Kaya mengepakkan sayapnya, pertama-tama ragu, lalu dengan kekuatan yang semakin besar dia melompat dari lengan Tianaga, melayang di udara. Untuk sesaat, Tianaga menahan napas, takut burung itu akan jatuh. Namun, angin menangkap tubuh Kaya, membawanya lebih tinggi.
"Kau berhasil!" Tianaga berbisik, air matanya mengalir.Â
Di langit, Kaya melingkar, memekikkan suara yang penuh kemenangan. Tianaga tertawa, hatinya lega. Meski merasa kehilangan Kaya, dia tahu burung gagah itu telah diberinya hadiah paling berharga: kebebasan.
Pemuda itu sering melihat bayangan elang besar berputar-putar di langit pegunungan. Dia tahu itu adalah Kaya, kembali mengawasi tempat yang pernah dia sebut rumah. Legenda tentang Tianaga dan elangnya pun menjadi cerita turun-temurun di suku Lakota, menggambarkan keberanian, kebebasan, dan cinta tanpa syarat. (RK)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI