Dahulu dirinya hanya memperoleh 10 ribu sekali putaran, sekarang dapat mencapai Rp 20 hingga 30 ribu.
Tata eksterior dan interior andong yang rapi membuat pihak Gudang Garam memberikan hibah kepada Pak Tukiran sebesar Rp 700 ribu per tahun. Ia juga mendapat sponsor dari indosat berupa cover, seragam, jok dan bendera. Kesemua aksesoris gratis itu berwarna kuning menyala.
Dalam keluarganya, ia dikenal sebagai sosok yang penyayang. Dia sangat menyayangi keluarga dan anak-anak. Di rumah ia tinggal bersama istri, anak, menantu dan seorang cucu bernama Iga Putri Nur Hazizah.
Istri Pak Tukiran bernama Aminah. Mereka saling mengenal satu sama lain ketika Pak Tukiran menjadi guru mengaji Aminah. Dari situ muncul lah benih-benih cinta seperti pepatah jawa "witing tresno jalaran soko kulino". Selain itu mereka juga merupakan tetangga dekat sehingga tiap keluarga sudah saling mengenal sejak lama.
Masa kecil
Pak Tukiran anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya tinggal dan bekerja di Jakarta. Dia satu-satunya anak yang bekerja sebagai kusir andong.
Impian masa kecilnya, ia bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Karena ia sangat menyukai anak kecil. Ia gemar menyanyi bersama anak-anak kecil. Ia sangat sayang terhadap anak kecil, bahkan seringkali ia mengajak penumpang anak-anak untuk menyanyi bersama sambil berkeliling naik andong.
Dahulu dirinya juga pernah mendaftar menjadi Angkatan Darat. Namun, keinginannya terpaksa kandas di tengah jalan karena surat lamaran yang ia kirim salah alamat.
Karir pendidikannya hanya sempat ia lalui di bangku SD kelas lima. Pendidikannya terhenti karena faktor ekonomi keluarga yang kiam memburuk. Mirip tokoh Lintang -salah satu pemeran utama dalam Film Laskar Pelangi- keadaan ekonomi yang sulit membuatnya harus putus sekolah. Padahal ia termasuk murid cerdas di sekolah.
Ia bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) Banguntapan. Ia berhenti ketika berumur 15 tahun. Setelah itu ia mencoba bekerja menjadi tukang batu bata. Ia mampu memproduksi batu bata sampai 15 ribu buah dalam sehari.
Keseharian