Nama jurnal: Identifikasi permasalahan pendidikan di indonesia untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme guru
Penulis:Riza Yonisa Kurniawan
Tahun terbit:2016
Abstrak
Tujuan artikel ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan pendidikan di Indonesia. Dengan mengetahui permasalahan pendidikan yang ada diharapkan dapat dibuat suatu kebijakan yang sesuai untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme guru. Pendidikan sebagai suatu sistem terbuka tidak lepas dari masalah, baik masalah mikro ataupun masalah makro. Masalah mikro, yaitu masalah yang timbul dalam komponen komponen yang terdapat dalam pendidikan itu sendiri sebagai suatu sistem, antara lain masalah kurikulum, masalah pendidikan, administrasi pendidikan dan sebagainya. Masalah makro, yaitu masalah yang muncul dalam pendidikan itu sebagai suatu sistem dengan sistem sistem lainnya yang lebih luas didalam seluruh kehidupan manusia, antara lain masalah kurang meratanya pendidikan, rendahnya mutu pendidikan, masalah efisiensi, relevansi dan lain lain. Berkaitan dengan permasalahan yang sering terjadi di Indonesia, guru dianggap sebagai sumber dari permasalahan tersebut, sehingga dengan mengidentifikasi permasalahan pendidikan kita mengetahui letak permasalahan yang sebenarnya dan berusaha untuk memberikan solusi dari permasalahan tersebut.
Kata kunci: Masalah Pendidikan, Mutu, Profesionalisme Guru
PendahuluanÂ
Pendidikan sebagai suatu sistem terbuka tidak lepas dari masalah, baik masalah mikro ataupun masalah makro. Masalah mikro, yaitu masalah yang timbul dalam komponen komponen yang terdapat dalam pendidikan itu sendiri sebagai suatu sistem, antara lain masalah kurikulum, masalah pendidikan, administrasi pendidikan dan sebagainya. Masalah makro, yaitu masalah yang muncul dalam pendidikan itu sebagai suatu sistem dengan sistem sistem lainnya yang lebih luas didalam seluruh kehidupan manusia, antara lain masalah kurang meratanya pendidikan, rendahnya mutu pendidikan, masalah efisiensi, relevansi dan lain lain. Berkaitan dengan permasalahan yang sering terjadi di Indonesia, guru dianggap sebagai sumber dari permasalahan tersebut, sehingga dengan mengidentifikasi permasalahan pendidikan kita mengetahui letak permasalahan yang sebenarnya dan berusaha untuk memberikan solusi dari permaslahan tersebut. Masalah pendidikan di Indonesia apabila ditinjau dari sisi kualitas Sumberdaya Manusia masihlah jauh bilah dibandingkan dengan negaralain. Berdasarkan data World Education Ranking yang diterbitkan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD, 2015), di posisi mana suatu negara maju dalam segi pendidikan. Organisasi ini menentukan peringkat negara mana yang terbaik dari segi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan. Indonesia menempati urutan ke 69 dari total 75 negara. Berdasarkan laporan OECD, posisi tertinggi diraih oleh Singapura kedua Hongkong, ketiga Korea Selatan dan ke empat jepang. Sementara untuk Indonesia mendapatkan nilai membaca 402, matematika 371, dan ilmu pengetahuan alam 383. Pemeringkatan pendidikan dunia tersebut berhubungan dengan Program for International Student Assessment (PISA). Pisa sendiri adalah program yang cukup disegani di seluruh dunia, dan kemungkinan besar politisi dan pembuat kebijakan untuk menilai perbedaan sistem pendidikan di berbagai negara.
Sejalan dengan kondisi peringkat pendidikan Indonesia dibandingkan negara-negara lain di dunia, banyak faktor yang menentukan keberhasilan dari peserta didik, mulai dari sarana dan prasarana sekolah, kondisi ekonomi orang tua, Peran Pendidik, lingkungan belajar, lingkungan keluarga, faktor psikis dari peserta didik dan masih banyak faktor yang lainnya. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan peserta didik yang paling berperan adalah pendidik dalam hal ini adalah guru. Guru yang notabene sebagai pengayom dan pemberi contoh bagi siswanya sangatlah penting sebagaimana diketahui bahwa semboyan guru "digugu lan ditiru" yang artinya orang yang dipercaya dan diikuti sebagai teladan. Kepercayaan yang diberikan kepada guru inilah yang henkadnya menjadi penyemangat dan stimulus agar guru selalu meningkatkan mutu dan profesionalismenya.
Di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terdapat empat kompetensi dimana masing masing harus dimiliki seorang guru. Komponen tersebut adalah kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan kompetensi sosial. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015) uji kompetensi guru masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan dan masih perlu ditingkatkan untuk menembus tujuan standar pelayanan pendidikan untuk kompetensi guru. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pembahasan
Masalah Masalah Pokok Pendidikan Saat Ini
Menurut P.H. Combs (1968) ada lima masalah pokok pendidikan, yaitu :
Pertama Banjir murid. Banjir murid yaitu bertambahnya jumlah anak anak yang memerlukan pendidikan baik diseluruh dunia maupun di negara berkembang, karena para pengelola pendidikan tidak mampu menyediakan tempat belajar, guru, dan sarana pendidikan, serta sulit untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Kedua langkanya sumber daya dan dana. untuk memenuhi kebutuhan pendidikan diperlukan sumber daya dan dana yang mencukupiguna memenuhi kebutuhan pendidikan, seperti penyediaan guru, gedung, buku dan sarana penganjar, beasiswa, serta biaya lainnya. Meskipun sumber daya dan dana sudah berlipat ganda, namun akibatnya banjir murid, kebutuhan pendidikan semakin meningkat akibatnya kemampuan sumber daya dan guna semakin menipis. Ketiga biaya pendidikan yang semakin mahal. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, di usahakan mutu guru harus ditingkatkan, gaji guru harus ditingkatkan, jumlah dan mutu buku juga harus ditingkatkan, alat bantu pengajaran pun harus ditingkatkan pula sehingga untuk meningkatkan mutu pendidikan tentu dibutuhkan juga peningkatan biaya pendidikan bagi setiap murid.
Keempat ketidaktepatan hasil pendidikan. Hasil pendidikan tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan individu dalam masyarakat dan kebutuhan masyarakat karena tidak sesuai dengan sikap dan minat terhadap pekerjaan dan bayangan tentangkedudukan yang diinginkan oleh individual.
Kelima kelambatan dan ketidakefisienan sistem pendidikan. Sistem pengelolaan kurikulum, metode mengajar, pola pola dan struktur pendidikan guru memperlihatkan kelambanan dan ketidakefisienan dalam menghadapi tuntutan yang semakin meningkat, sesuai dengan kemajuan IPTEK dan kebutuhan masyarakat.
Sehingga dapat disimpulkan terdapat dua permasalahan utama yang menjangkiti dunia pendidikan di Indonesia, yaitu: bagaimana seluruh masyarakat bisa memanfaatkan peluang pendidikan dan bagaimana pendidikan bisa menyiapkan siswa dalam hal kemampuan dan skill yang siap untuk bersaing di dunia kerja.
2.2. Permasalahan Pokok Pendidikan di Indonesia
Ada empat faktor sebagai poin penting dalam kaitannya dengan permasalahan pokok Pendidikan di indonesia dan perlu segera untuk diselesaikan, yaitu:
2.2.1. Masalah pemerataan pendidikan
Masalah pemerataan pendidikan, dimana isu ini berkaitan dengan sistem pendidikan seyogyanya menyiapkan peluang yang sangat besar bagi seluruh masyarakat agar dapat mengakses pendidikan, yang mana mampu menjadi tempat bagi keberlanjutan peningkatan SDM di Indonesia.Â
Menurut Wayan (1992) pemerataan pendidikan yang berkaitan dengan mutu proses dan hasil pendidikan belumlah merata di Indonesia. Masih banyak terdapat gap yang cukup besar pada penyelenggaraan pembelajaran pendidikan baik di kota maupun di desa, lebih khusus lagi bila dibandingkan daerah Jawa dan daerah Timur Indonesia. Apabila diamati lebih seksama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir masih dirasa belum berhasil Pendidikan secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas hasil belajar sebagaimana pendapat Idris (1992:61-62) yang mana banyak peserta didik mempunyai kemampuan yang sedang/kurang dalam hasil belajar.Â
Berdasarkan UU No.4 tahun 1950 sebagai landasan pendidikan dan pengajaran disekolah bab XI, Pasal 17 :
"Tiap-tiap warga negara RI mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah tersebut terpenuhi."Â
Kemudian berkaitan dengan wajib belajar bab VI, pasal 10 ayat 1:
"semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun lamanya".
Pasal 10 Ayat 2 : "belajar di sekolah beragama yangtelah mendapatkan pengakuan dari mentri agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar".
Urgensi pemerataan pendidikan menjadi isu yang menarik, karena apabila anak-anak yang seharusnya mengenyam pendidikan, di tingkat sekolah dasar, maka siswa tersebut mempunyai kemampuan berupa membaca, menulis dan berhitung. Dengan demikian ia mampu mengikuti tidak akan tertinggal dengan kemajuan zaman, mereka menjadi mandiri dan tidak menjadi penghambat dari pembangunan Indonesia.Â
Pada tingkat pendidikan dasar, kebijakan yang berkaitan dengan tersedianya akses pendidikan yang mempertimbangkan aspek kuantitatif, sebab seluruh masyarakat perlu diberikan materi pemahaman yang seimbang. Jika dilihat dengan seksama untuk jenjang pendidikan menengah sampai dengan jenjang pendidikan tinggi, kebijakan pemerintah berkaitan dengan pembangunan kualitatif dan relevansi, yang berhubungan dengan minat dan bakat siswa, dimana kebutuhan lapangan kerja dan untuk pengembangan kebudayaan, dan teknologi terbarukan.
Namun dalam perkembangan yang terjadi pada dewasa ini, terjadi ketidak seimbangan antara jumlah lembaga pendidikan dengan peserta didiknya, antara sekolah umum dan sekolah kejuruan pada masing masing tingkat satuan pendidikan, padahal sekolah kejuruan seharusnya lebih banyak daripada sekolah umum karena pembangunan membutuhkan kader kader yang cerdas dan terampil, yang hal ini dapat ditangani melalui pendidikan kejuruan, dan ketidak seimbangan juga terlihat pada adanya perbandingan jumlah yang mencolok antara SD, SMP dan SMA. Lembaga SD jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah lembaga SMP dan SMA.
Di sisi lain adanya upaya untuk pemerataan pendidikan melalui pendidikan luar kelas berkembang cukup pesat, dalam hal ini ada dua faktor yang menjadi pemicu hal tersebut. Pertama perkembangan IPTEK yang memberikan alternatif bagi masyarakat dan kedua konsep pendidikan sepanjang hayat yang tidak membatasi usia dari peserta didik dan tidak terbatas pada dinding ruangan kelas yang mana hal ini dapat memberi akses yang luas bagi masyarakat dalam menikmati kesempatan belajar.
Ada banyak cara dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan. Mulai dari cara konvensional sampai dengan cara inovatif. Adapun untuk cara tradisonal pemerintah dapat melakukan: Pertama dengan membangun gedung sekolah dan ruang belajar dan kedua memanfaatakan sekolah dengan sistem double sift (siswa dibagi kelas pagi dan sore). Adapun cara kedua yaitu cara inovatif dengan membangun sistem pamong (pendidikan bekerjasama dengan masyarakat), membangun sekolah di daerah terpencil dan mengirimkan guruguru untuk mendidik didaerah tersebut (pola SM3T), pola pendekatan rumah (guru mendatangi rumah siswa), Program Kejar Paket, Pembelajaran jarak jauh seperti yang diterapkan pada Universitas Terbuka.
Berkenaan dengan solusi di atas yang lebih penting dan utama adalah bagaimana menumbuhkan dan membangkitkan kemauan belajar dari peserta didik, baik masyarakat maupun keluarga yang kurang mampu supaya semangat dan terus terpacu untuk membuat anak-anak mereka agar tetap bisa sekolah.
2.2.2. Masalah Mutu / Kualitas Pendidikan
Mutu pendidikan sangatlah luas cakupannya, banyak yang hanya melihat dari kualitas luarannya. Apabila kita sadari proses belajar yang baik akan menghasilkan luaran yang baik pula, maka jika proses belajarnya kurang baik maka mutu hasil yang diharapkan akan kurang baik juga. Jika terjadi pembelajaran yang kurang optimal hal ini mengakibatkan nilai tes yang baik, sehingga bisa dikatakan hasil belajar itu semu. Hal ini mengindikasikan terdapat masalah pada kualitas pendidikan yang berkaitan dengan "pemrosesan" pembelajaran.
Proses pembelajaran berjalan dengan baik apabila didukung oleh berbagai unsur pendidikan diantaranya tenaga pendidik, peserta didik, sarana pembelajaran, kurikulum bahkan lingkungan sekitar. Sebagai contoh apabila unsur sarana yang ada di sekolah tersebut lengka, Sedangkan tenaga pendidik kurang terampil , hal ini menyebabkan kurang optimalnya proses pembelajaran dalam rangkan meningkatkan kualitas dan hasil belajar.
Masalah mutu pendidikan berkaitan erat dengan ketersediaan akses pada semua jenjang pendidikan, yang mana kondisi di Indonesia masih belum merata terutama di daerah pedesaan yang masih rendah bila dibandingkan dengan di kota. (Meirawan, 2010: 126-127).
Penelitian yang dilakukan Goldhaber and Anthony (2007) menyatakan bahwa peningkatan mutu guru dapat dilakukan dengan sistem sertifikasi guru.
Solusi yang bisa ditawarkan untuk meningkatkan mutu pendidik diantaranya: (1) seleksi yang ketat untuk penerimaan mahasiswa calon pendidik; (2) Pengembangan keteramilan tenaga pendidik melalui pelatihan-pelatihan; (3) penyempurnaan kurikulum yang materinya disesuaikan dengan muatan lokal di daerah setempat; (4) pengembangan sarana dan prasaran yang dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman; (5) penyempurnaan administrasi sekolah sehingga dapat efisiensi anggaran; (6) pengorganisasian dalam rangka untuk menjaga kualitas penyelenggara pendidikan perlu ditetapkan dengan didukung oleh lembaga yang sudah diberi wewenang dalam menjamin mutu diantaranya Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan, dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah Madrasah (BAN-SM) maupun dari lembaga independen.
2.2.3. Masalah Efisiensi
Membahas tentang efisiensi dalam sistem pendidikan dimana erat kaitannya dengan pemanfaatan segala kekuatan yang dimiliki agar tercapai misi yang rencanakan. Apabila dalam penggunaanya hemat dan cermat maka bisa disimpulkan bahwa tingkat efisiensinya tinggi. Tetapi apabila terjadi sebaliknya, maka efisiensinya dikatakan kurang.Â
Banyak para ahli yang berpendapat sistem pendidikan Indonesia sudah bagus mengikuti perkembangan zaman dan teknonoli. Hanya saja ada beberapa area yang tidak bisa dijangkau oleh kebijakan pemerintah pusat. Kelemahan tersebut dapat dilihat dengan masih banyaknya murid yang mengalami DO, banyak peserta didik yang seharusnya sekolah mereka bekerja untuk membantu kebutuhan orang tua. Adanya pembedaan kelas unggulan dengan kelas biasa, sehingga dibutuhkan suatu sistem yang menjadikan pendidikan lebih efisien (Idris, 1992:60-61)Â
Masalah ini meliputi : (1) kesenjangan antara lulusan dan lapangan kerja, dimana lulusan atau angkatan kerja lebih tinggi dari lapangan pekerjaan sehingga banya yang tidak terserap; (2) Beberapa daerah masih banyak guru yang mengajar diluar bidang keahlianya dan sukarnya untuk membuat guru mau mengabdi di daerah perbatasan maupun yang minim akses ke kota juga kurangnya insentif yang diberikan; (3) Pengembangan tenaga pendidik yang kurang cepat seperti perubahan kurikulum baru, sehingga banyak guru-guru yang belum siap menerima kurikulum baru; (4) Distribusi dan penggunaan sarana pembelajaran bila tidak diimbangi dengan kemampuan yang handal dari penggunanya mengakibatkan terjadi masalah di lapangan. Kemudian perubahan kurikulum yang menyebabkan buka lama tidak terpakai.
Semua ilustrasi di atas mengindikasikan bahwa pemborosan anggaran telah terjadi walaupun sukar untuk dihindari, karena pemberharuaan kurikulum adalah usaha untuk menyiapkan bahan dan kompetensi yang harus dimiliki oleh luaran supaya diterima pasar.
2.2.4. Masalah Relevansi
Masalah relevansi berkaitan erat dengan sistem pendidikan dan pembangunan secara umum serta kepentingan perseorangan, masyarakat secara jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah ini membahas seberapa dalam sistem pendidikan bisa menciptakan karya yang cocok dengan keberlangsungan suatu proses pembangunan. Apabila sistem pendidikan menciptakan output yang dibutuhkan di semua lini pembanguanan, bisa berhubungan langsung ataupun tidak dengan permintaan dunia kerja maka kualitas luaran yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka tingkat kebutuhan tersebut sesuai dengan yang dibangun oleh lembaga.
Apabila dilihat dengan seksama, dalam membangun sebuah sekolah pasti dilandaskan kebutuhan yang riil dan selaras dengan pembangunan nasional, dan melihat juga kearifan lokal di masing-masing daerah (Idris, 1992:60).
Pada umumnya kriteria relevansi yang disebutkan diatas cukup ideal apabila dihubungkan dengan keadaan yang ada di Indonesia dimana: (1) kualitas lembaga pendidikan masih bervariasi; (2) Sistem pendidikan kita banyak yang menciptakan output yang siap diterima di dunia kerja; (3) belum dimilikinya roadmap kebijakan kebutuhan tenaga kerja yang mana dapat dipakai untuk menyiapkan lulusan yang bisa diterima di dunia kerja.
2.3. Permasalahan Guru dan Pemecahannya
Paradigma sekolah sudah banyak berkembang dari dulu hingga saat ini. Dulu sebuah sekolah sudah bisa menjalankan kegiatan pembelajaran apabila terdapat siswa, guru dan ruangan untuk proses pembelajaran dengan peralatan dan sarpras seadanya. Guru juga dijadikan sebagai sumber utama. Ia dijadikan sebagai sumber ilmu. Tugasnya mengalirkan pengetahuan ke siswa.
Hal tersebut untuk saat ini sudah sudah tidak relevan dimana tugas guru sudah tidak menjadi penceramah yang harus selalu berdiri di depan siswa dan menjelasakan materi semua. Melainkan peran guru sudah berubah dimana tugsa guru menjadi fasilitator, mediator motivator guna menumbuhkan kreativitas dan daya imajinasi yang bagus siswa. Peraturan menteri pendidikan dengan membangkitkan budaya baca patut diberi apresiasi dimana siswa pada jam pertama dianjurkan untuk membaca buku bacaan apasaja. Sumber belajar bisa ditemukan dimana saja sehingga guru bukanlah menjadi perpustakaan berjalan, proses mendapatkan pengetahuna bisa didapat dari siswa sendiri pada saat mereka mengakses informasi dari berbagai media yang ada mulai dari lingkungan sekitar maupun melalui internet. Sebagaimana pendapat Cornelius (dalam Sadler 2013) yang mengungkapkan bahwa "alam adalah buku besar yang sangat lengkap isinya".
Masalah penempatan guru, khususnya dalam penempatan studi, sering mengalami permasalahan yaitu guru ditempatkan tidak sesuai dengan bidangnya. Sebagai contoh ada sekolah yang diberikan guru baru tetapi untuk mata pelajaran yang bersangkutan sudah penuh dan beliau harus mengajar mata pelajaran lain diluar keahliannya. Ada juga guru yang merangkap mengajar misalnaya guru Matematika juga mengajar kesenian. Dalam hal ini, seorang guru yang seharusnaya mengajar sesuai dengan bidang studinya, karena terbatasnya tenaga pendidik (guru), seorang guru harus mengajar bukan dengan bidangnya. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya tugas seorang guru.
Multi peran seorang guru yaitu: melakukan interaksi dan pendeketan khusus dengan siswanya. Perhatian kepada siswa secara klasikal dan individu harus dikuasai oleh guru, dimana tugas guru pada saat memberikan motivasi dan mengarahkan siswa tidak boleh memelih siswa tertentu misalkan guru hanya memperhatikan siswa yang pandai, sementara siswa yang kurang pandai tidak diperhatikan. Guru hendaknya memberikan perhatian yang sama dengan selalu menanamkan rasa tanggungjawab, disiplin, percaya diri, menghargai pendapat teman dan pendidikan karakter lainnya. Dalam segi pembelajaran guru diharapkan dapat: sebagai pengembil keputusan dalam pembelajaran (sebagai manager), memberikan arah pembelajaran (director), mengorganisasi kegiatan pembelajaran (organisator), mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran (koordinator), mengkomunikasikan murid dengan berbagai sumber belajar (komunikator), menyediakan dan memberikan kemudahan-kemudahan belajar (fasilitator), memberikan dorongan belajar (stimulator). Kebanyakan guru belum mampu untuk melakukan multi perannya itu karena kebanyakan sekolah, guru adalah pejuang tunggal, yaitu guru merupakan sumber belajar, sebagai pusat tempat bertanya dan juga penempatan guru yang tidak sesuai dengan bidangnya sehingga banyak guru yang merangkap mengajar. Oleh karena itu tugas guru semakin bertambah sehingga guru tidak memiliki waktu untuk melakukan multi perannya itu. Guru tidak mungkin seorang diri melayaninya.
Sebagaimana hasil penelitian dari Ismail (2010) yang menyatakan bahwa guru haruslah memiliki standar kompetensi yang dipersyaratkan dalam undangundang guru dan dosen agar mendapat sertifikasi dan menjadi guru yang profesional. Menurut Woolfolk (1984) guru dikatakann berhasil dalam mengajar apabila menguasai berbagai metode pembelajaran dan mengetahui bahan ajar serta pengelolaan kelas.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan Pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada empat poin yang dapat diuraikan berkaitan dengan identifikasi permasalahan pendidikan. Pertama masalah pemerataan pendidikan, masalah kualitas pendidikan, masalah efisiensi dan masalah relvansi.
Dengan mengetahui faktor permasalahan pendidikan tersebut ada beberapa solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan mutu dan profesinalisme guru diantaranya: (1) seleksi yang ketat untuk penerimaan mahasiswa calon pendidik; (2) Pengembangan keteramilan tenaga pendidik melalui pelatihan-pelatihan; (3) penyempurnaan kurikulum yang materinya disesuaikan dengan muatan lokal di daerah setempat; (4) pengembangan sarana dan prasaran yang dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman; (5) penyempurnaan administrasi sekolah sehingga dapat efisiensi anggaran; (6) pengorganisasian dalam rangka untuk menjaga kualitas penyelenggara pendidikan perlu ditetapkan dengan didukung oleh lembaga yang sudah diberi wewenang dalam menjamin mutu diantaranya Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan, dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah Madrasah (BAN-SM) maupun dari lembaga independen.
Komentar : Pada artikel tersebut sudah sejalan dengan apa yang saya pelajari Dimana permasalahan (identifikasi permasalahan pendidikan di Indonesia untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme guru) merupakan permasalahan pendidikan menurut ahli Riza Yonisa Kurniawan yang Dimana berkaitan dengan identifikasi permasalahan pendidikan yaitu pemerataan pendidikan, masalah kualitas pendidikan, masalah efesiensi dan masalah relevansi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H