"Maaf, saya tidak dibayar untuk ini." Aku menepis tangan Buana.
Jujur saja, Buana sempat membatku risih. Sebagai perempuan aku harus waspada. Kalau sekali dua kali atau tiga kali deh, aku tidak keberatan. Namun, Buana, setiap akhir pekan selalu meminta pelayanan khusus. Entah berapa bayaran yang diberikan kepada bosku sehingga ia mengkhususkan aku hanya untuk Buana.
"Aku hanya ingin merangkulmu. Aku tidak akan meminta lebih." Buana mengganjal kepalanya dengan telapak tangannya.
Aku merasa canggung, terhimpit dan diliputi rasa takut. "Maaf, jika Anda mau 'begitu' ini bukan tempatnya. Kami tidak seperti yang Anda pikirkan." Nadaku berusaha menegaskan walau akhirnya terdengar sumbang bahkan di telingaku sendiri.
"Ah, Miranda. Kau sudah salah paham. Aku menghormatimu dan tidak akan macam-macam." Buana merebahkan tubuhnya dan menatap plafon.
"Tapi gelagat Anda tu justru sebaliknya. Aku akan mendengarkan apa pun jika Anda butuh teman cerita, sebatas itu saja. Anda pun tahu peraturannya."
Buana mendesah, "Bisakah kita tidak berbicara formal, Miranda?"
Aku mencoba menatapnya setajam mungkin. Buana sama sekali tidak merasa risih. Ia terus saja menatap plafon sehingga aku jengkel sendiri.
"Kalau Anda memang tidak membutuhkan jasa saya lagi, saya izin pamit," ketusku.
Aku bersiap berdiri, tetapi tangannya yang kekar sudah terlebih dahulu menyambar pergelanganku. Aku hampir terjengkang. Pria ini semakin membuatku risih. Aku mengempas genggamannya dan siap menyemburnya. Sayang, lagi-lagi mata sendunya meluruhkan amarahku. Harusnya aku memakinya sama seperti pelanggan lain yang ingin berbuat macam-macam. Namun, Â pria ini sedikit berbeda. Di kedalaman hatiku justru berkata bahwa pria ini sebenarnya orang baik.
"Maaf aku menyinggungmu, Miranda. Tetapi sungguh, aku hanya ingin kamu tetap di sini. Lagi pula aku masih punya 20 menit lagi, bukan?"
Buana menyindirku dengan peraturan. Sial.
"Baik. Karena saya karyawan yang profesional, maka saya akan menemani Anda, tetapi saya tidak segan-segan melaporkan Anda jika Anda macam-macam."
Buana membetulkan posisi duduknya. Ia menyenderkan tubuhnya ke sofa. Lagi-lagi ia mendesah.
"Kau semestinya mengingatku, Miranda. Kau pernah memberikan ini."
Buana mengeluarkan sebuah benda yang memang sepertinya tak asing bagiku. Sebuah gelang karet hitam yang tren pada masanya. Itu sudah lama sekali, kalau tidak salah semasa aku duduk di bangku kelas 1 SMP.
"Aku tidak tahu. Lagi pula bagaimana bisa kau mengait-ngaitkan mainan anak kecil seperti itu denganku?"
"Kau memberikan ini kepada anak laki-laki yang dirundung semasa SMP. Katamu ini adalah gelang keberuntungan. Kalau beruntung, kau akan bertemu lagi dengan laki-laki itu."
Otakku seperti bergerak cepat memanggil semua kenangan semasa SMP seperti yang dimaksud Buana. Dari sekian banyak anak laki-laki, memang ada satu anak laki-laki yang paling menonjol. Anak laki-laki kurus dan berbadan kecil. Sekujur tubuhnya ada bekas-bekas luka kudis yang mengeluarkan nanah bercampur darah. Ia menangis di dalam kerubungan anak-anak usil yang sedang menggodanya karena penyakitnya.
Mata pria ini memang sama dengan anak kecil waktu itu. Tapi apa mungkin? Perawakannya dan tampangnya jauh sekali berbeda. Lengannya yang berotot serta urat yang menjalar di sepanjang pergelangan tersebut jauh dari lengan anak kecil yang ringkih belasan tahun lalu.
"Ya, kau tidak salah. Aku adalah bocah itu," kata Buana seperti bisa membaca pikiranku.
 "Sejak saat itu aku selalu mengingat kamu."
"Tidak mungkin...."
"Tapi aku ada di sini, Miranda," potongnya, "Berkat kamu aku punya tekad untuk jadi lebih kuat. Aku bertekad mencari kamu. Sekarang aku menemukanmu."
"Lalu apa maksud semua ini?"
"Sejak saat itu, aku merasa sesuatu yang beda dalam diriku. Tiba-tiba aku seperti punya tujuan hidup. Kamu. Kamu Miranda. Aku beruntung bertemu kamu, apakah kamu merasakan hal yang sama?"
Tidak masuk akal. Bagaimana momen sesingkat itu mempengaruhi pria ini? Ini gila. Aku tidak mengenal Buana lebih dari pelanggan Listening Caf. Aku hanya diminta untuk mendengarkan curhatan hati pelanggan, bukan untuk dipermainkan seperti ini. Bos memang mengapresiasiku atas kepuasan pelanggan-pelanggan yang kutangani. Namun, jika ada kesepakan tak lazim antara bos dengan pria ini, ini sudah keterlaluan.
"Katakan seberapa besar uang yang Anda bayarkan kepada bos saya! Saya akan mengembalikan sisanya kepada Anda dan Anda bisa pergi sekarang juga," perintahku geram.
Buana gelagapan, "No,no,no, Miranda. Please, aku berkata jujur. Tolong dengarkan aku, setelah itu aku akan pergi."
"Tidak perlu," ketusku.
Aku tak lagi memikirkan kerapian diri. Yang ada di pikiranku hanyalah keluar dari ruangan kecil ini. Pikirku Listening caf sudah menyalahi tujuannya sendiri sebagai pendengar yang baik untuk orang-orang problematik seperti pria di dalam kamar itu.
Buana? Nama bocah itu, Buana?
Ikuti event Kongsi: https://bit.ly/KONGSIVolume1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H