"Maaf, saya tidak dibayar untuk ini." Aku menepis tangan Buana.
Jujur saja, Buana sempat membatku risih. Sebagai perempuan aku harus waspada. Kalau sekali dua kali atau tiga kali deh, aku tidak keberatan. Namun, Buana, setiap akhir pekan selalu meminta pelayanan khusus. Entah berapa bayaran yang diberikan kepada bosku sehingga ia mengkhususkan aku hanya untuk Buana.
"Aku hanya ingin merangkulmu. Aku tidak akan meminta lebih." Buana mengganjal kepalanya dengan telapak tangannya.
Aku merasa canggung, terhimpit dan diliputi rasa takut. "Maaf, jika Anda mau 'begitu' ini bukan tempatnya. Kami tidak seperti yang Anda pikirkan." Nadaku berusaha menegaskan walau akhirnya terdengar sumbang bahkan di telingaku sendiri.
"Ah, Miranda. Kau sudah salah paham. Aku menghormatimu dan tidak akan macam-macam." Buana merebahkan tubuhnya dan menatap plafon.
"Tapi gelagat Anda tu justru sebaliknya. Aku akan mendengarkan apa pun jika Anda butuh teman cerita, sebatas itu saja. Anda pun tahu peraturannya."
Buana mendesah, "Bisakah kita tidak berbicara formal, Miranda?"
Aku mencoba menatapnya setajam mungkin. Buana sama sekali tidak merasa risih. Ia terus saja menatap plafon sehingga aku jengkel sendiri.
"Kalau Anda memang tidak membutuhkan jasa saya lagi, saya izin pamit," ketusku.
Aku bersiap berdiri, tetapi tangannya yang kekar sudah terlebih dahulu menyambar pergelanganku. Aku hampir terjengkang. Pria ini semakin membuatku risih. Aku mengempas genggamannya dan siap menyemburnya. Sayang, lagi-lagi mata sendunya meluruhkan amarahku. Harusnya aku memakinya sama seperti pelanggan lain yang ingin berbuat macam-macam. Namun, Â pria ini sedikit berbeda. Di kedalaman hatiku justru berkata bahwa pria ini sebenarnya orang baik.