Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Bermata Cokelat | Cerpen Banyu Biru

23 Mei 2024   19:30 Diperbarui: 8 Juni 2024   18:55 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diedit menggunakan Canva

Semua orang tahu kalau aku sudah berteman dengan hitam sejak ke luar dari rahim Mama. Bahkan keluarga besarku masih ingat raungan Mama yang katanya sampai menembus dinding ruang persalinan saat tahu aku buta. Ia mungkin tidak paham bahwa tangisan pertamaku bukan karena harus keluar dari kenyamanan di dalam sana, melainkan karena dunia ini sama gelapnya dengan rahimnya.

Dulu aku sudah berdamai dengan gelap itu sendiri. Seluruh indraku lebih peka dan sangat bisa diandalkan, kecuali mata tentunya. Kalau orang bertanya, apa aku menyesal dengan keadaanku? Jawabku tidak. Toh, aku tidak bisa membandingkan. Aku sudah nyaman dan kuyakin semua orang di dunia ini berusaha mencari kenyamanan mereka. Tak heran jika mereka mau melakukan apa pun untuk itu. Jadi pikirku, merekalah yang sedang tidak nyaman sehingga terus mempertanyakan keadaanku. Kata Mama, kebanyakan orang malah memilih menutup mata dari masalah yang bukan urusan mereka. Itu pasti supaya kenyamanan mereka tidak terusik, bukan?

Namun sekarang, sepertinya aku harus berpikir ulang sejak mimpi buruk bulan lalu. Tiba-tiba area mataku terasa sangat gatal dan perih. Aku terus mengucek-ngucek mataku untuk meredakannya, tetapi makin menjadi-jadi setelah aku merasa ada sesuatu yang bergerak, merayap di kedua bola mata itu. Ingin rasanya aku mencungkil kedua bola mata yang tak berguna itu. Aku meronta-ronta, limbung dan mulai menabrak benda-benda yang ada di kamarku. Mama dan Papa berusaha menenangkan tetapi perih di mataku ini benar-benar membuatku belingsatan. Aku mendengar Papa berlari ke luar kamar, menelepon rumah sakit atas perintah Mama.

Paginya, sesuatu yang tak biasa masuk ke dalam mataku. Masuk menembus jendela kamar. Cahayakah?

Aku mengerjap-ngerjap. Awalnya terlihat samar lalu kemudian aku melihat sesuatu yang membuatku melambung. Inikah yang mereka sebut warna? Indah sekali. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat, aku kegirangan dan berteriak memanggil Mama dan Papa.

"Aku bisa melihat. Aku bisa melihat. Ma, Pa, aku bisa melihat." Aku mengulang kata-kata itu.⠀

Dua orang paruh baya segera menghambur ke arahku. Mereka juga sama terkejutnya denganku. Mama memelukku dan menciumi kepalaku. Kulihat mata Papa berkaca-kaca, kemudian bergabung bersama kami. Bagi kami ini adalah keajaiban. Mama langsung mengenalkan warna-warna yang ada di kamarku. Katanya, aku harus tahu sebab warna bisa jadi identitas sesuatu.

Setelah aku bisa melihat, aku makin sering bermimpi. Mimpi yang jauh berbeda. Seperti menonton film, aku bisa melihat warna dan bentuk benda-benda yang ada di depan mataku, termasuk...tepat di depanku, seorang perempuan lusuh menatapku tajam. Merah. Merah di tubuhnya adalah darah. Kata Mama merah seperti itu mengerikan. Tidak sedikit yang takut dengan merah itu, nyatanya aku salah satunya.

Matanya membelalak lalu kemudian mukanya memelas. Wajahnya basah entah karena keringat atau air matanya. Ia meminta tolong. Tolong, temukan aku, katanya. Dengan tangannya yang bersimbah merah darah, ia mencoba meraihku. Aku begitu takut sampai-sampai tubuhku menjadi kaku. Aku tak bisa bergerak, bahkan ketika ada sosok yang mendekati perempuan itu dengan kapak di tangannya. Kapak itu meneteskan cairan yang tampaknya masih segar. Kapak itu menerjang tubuh perempuan berulang kali hingga erangan perempuan itu perlahan berganti menjadi desis. Desisan itu membentuk sebuah kalimat yang terucap dengan lambat. Temukan aku. Mata itu akan menuntunmu.

Tubuhku mengejang hebat dan mimpi itu berlalu begitu saja. Masalahnya, semenjak itu sesuatu yang aneh telah terjadi. Mata ini tidak sepenuhnya milikku. Sesuatu telah mengendalikannya, memaksaku untuk melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Pembunuh itu.

Baca juga: Pernikahan

***

Aku mengikuti keseharian gadis ini. Sangat sederhana. Menurutku kesederhanaannya justru memamerkan kecantikan yang apa adanya, alami. Seperti gadis seusiaku, sebelum berangkat sekolah ia menyelesaikan tugasnya seperti memasak, mencuci piring dan memenuhi bak-bak penampung air sumur di rumahnya. Melihat ketulusannya, aku ingin punya kehidupan seperti ini. Hidup di desa, jauh dari keramaian mungkin akan menyenangkan.

Gadis ini memiliki langkah yang cepat. Bukan karena terburu-buru, memang kebiasannya seperti itu. Rambut yang terurai sampai pundaknya dikuncir belakang tidak menjadi berantakan kala ia berlari-lari kecil. Ini anak pasti sangat membuat orang tuanya bangga punya anak sesemangat ini menjalani hidup.

Omong-omong tentang orang tua gadis ini, aku belum pernah melihatnya. Di rumah aku hanya bisa melihat perkakas-perkakas yang sudah mulai usang. Sofa di ruang tamu sudah banyak terkoyak, semen rumah banyak yang retak dan berlubang. Pemandanganku setiap pagi tak jauh-jauh dari sumur, kompor, dan lukisan-lukisan tua d kamarnya yang hampir tak jelas lagi gambarnya karena sudah menguning. Aku tidak pernah melihat gadis ini menatap atau meratap foto orang tuanya jika memang sudah tiada.

Gadis ini sebatang kara?

Ternyata tidak. Untung saja hari ini aku bertemu, eh bukan, maksudku gadis bernama Puja yang entah bagaimana aku bisa melihat melalui matanya, sedang bersama seorang guru bernama Bu Dewi. Ia adalah wali kelas Puja—aku akan menyebut namanya saja supaya terbiasa.

“Bagaimana kabarmu, Puja?” tanya Bu Dewi ramah.

“Puji Tuhan, baik Bu,”

“Kalau ibu?”

“Seminggu ini belum komunikasian Bu. Terakhirnya dua minggu lalu.”

“Kita doakan sehat juga ya,” harap Bu Dewi. Kemudian garis di wajahnya sedikit berubah. Matanya menatap lurus ke bola mataku, eh maksudku, mata Puja. “Gimana dengan mamasmu itu? Maaf, tapi dari omongan yang ibu dengar, sepertinya ibu agak ragu kalau dia bisa jaga kamu.”

Dari obrolan antara wali kelas dan anak walinya itu aku jadi cukup memahami situasi yang harus dijalani Puja. Ia seharusnya tinggal bersama ibunya karena ia anak semata wayang, tetapi sang ibu harus mengadu nasib ke Taiwan karena tidak ada pekerjaan. Sekarang ia dijaga oleh sepupunya yang ia panggil Mas Dami. Sayangnya perilaku Mas Dami jauh dari kata baik. Dia terkenal berandalan dan semaunya. Puja harus membiasakan diri dengan itu, toh, mereka tidak tinggal satu atap.

Setiap hari aku juga jadi sibuk menyusun potongan-potongan kehidupan Puja. Aku tidak bisa mengontrol penglihatan itu kapan datangnya. Walau rasanya ini mengganggu keseharianku, aku tidak lagi mempermasalahkannya. Aku seperti memiliki teman baru dan setiap harinya aku merasa semakin mengenal Puja. Sama seperti hari ini, ketika aku menatap cermin rias di kamarku. Aku menatap lekat-lekat mata ini. Cantik sekali, berwarna cokelat gelap yang sekilas seperti warna hitam. Katanya, wanita yang punya warna mata gelap sepertiku lebih tidak tahan terhadap rasa nyeri.

Saat asyik memandangi mata itu sosok di dalam cermin tiba-tiba berubah, masih dengan warna yang sama, tetapi dengan perawakan yang berbeda. Puja. Ia tiba-tiba hadir menggantikanku di dalam cermin. Ia melakukan hal yang sama denganku. Mata itu beradu tatap dengan mataku, seperti sedang menyelidiki atau mempertanyakan sesuatu. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang Puja pikirkan. Melihat Puja bergeming, aku juga ikutan mematung.

“Kau sedang apa Puja?” Suara berat dari balik punggung Puja mengalihkan fokus Puja dari cermin.

“Tidak ngapa-ngapain, Mas. Lagi ngaca aja,”

Kesan pertama yang muncul dibenakku ketika melihat lawan bicara Puja tidak buruk. Mas Dami, begitu Puja memanggilnya, bisa dibilang tidak separah penggambaran Bu Dewi. Ya, memang tidak begitu rapi, cuma senyumnya cukup bagus. Wajahnya terlihat ramah. Kalau dibilang berandal dengan wajah seperti itu, masih kurang meyakinkan.

“Bagaimana? Kamu sudah siap?”

“Sudah Mas,” angguk Puja.

Sepertinya ada yang sudah aku lewatkan. Puja dan Mas Dami ini hendak ke mana?

Bola mata Puja banyak fokus pada punggung Mas Dami. Tak banyak kata-kata sejak dari rumah. Selain punggung Dami, sepanjang perjalanan Puja lebih banyak banyak melihat ke bawah. Jadi, yang banyak kulihat hanya aspal, celana jin robek-robek Mas Dami dan bangunan atau pepohonan yang berlarian berlawanan arah dengan kami.

“Masih jauh, Mas?” teriak Puja tiba-tiba.

“Enggak. Udah deket.”

Ternyata ‘dekat’nya Mas Dami tidak benar-benar dekat. Mataku sampai ikut merasa kelelahan. Aku harus berpindah ke kasur, mencoba bertahan, bertahan, tetapi gagal. Kelopak mataku semakin berat hingga akhirnya aku pasrah dan menjatuhkan diriku kemudian tertidur.

Baca juga: Video Call

Aku bermimpi. Tepat di depanku, seorang perempuan lusuh menatapku tajam. Merah. Merah di tubuhnya adalah darah. Kata Mama merah seperti itu mengerikan. Tidak sedikit yang takut dengan merah itu dan aku salah satunya.

Matanya membelalak lalu kemudian mukanya memelas. Wajahnya basah entah karena keringat atau air matanya. Ia meminta tolong. Tolong, temukan aku, katanya. Dengan tangannya yang bersimbah merah darah, ia mencoba meraihku. Aku begitu takut sampai-sampai tubuhku menjadi kaku. Aku tak bisa bergerak, bahkan ketika ada sosok yang mendekati perempuan itu dengan kapak di tangannya. Kapak itu meneteskan cairan yang tampaknya masih segar. Kapak itu menerjang tubuh perempuan berulang kali hingga erangan perempuan itu perlahan berganti menjadi desis. Desisan itu membentuk sebuah kalimat yang terucap dengan lambat. Temukan aku. Mata itu akan menuntunmu.

Puja! Pekikku. Aku tersentak dan terbangun. Aku kembali merasakan empuknya kasur seperti biasa. Masalahnya, walau aku merasa sudah terbangun dan merasa berada di kamarku, penglihatanku masih sama seperti yang ada di mimpiku. Lokasi pembantaian seorang gadis seusiaku.  Tubuh Darmi yang tidak berdaya dibiarkan tergeletak seperti seonggok bangkai kucing yang terlindas mobil. Kapak menindihnya dan darah melumurinya. Kalau begini, jangankan wanita dengan mata cokelat gelap, siapa pun tidak akan tahan dengan nyeri karena pembantaian seperti ini.

Beberapa meter dari sana, mata Puja yang mulai redup berusaha melihat tiga pria dewasa yang bercakap-cakap dan beberapa kali melihat ke arah Puja. Aku terenyak. Dadaku teremas. Dua dari orang berdiri di sana adalah orang yang sangat kukenal.

“Bagaimana selanjutnya Pak Marwan?” tanya seorang pria bertubuh gempal yang kuketahui adalah dokter spesialis yang menangani operasi mataku.

“Aku hanya butuh kornea matanya. Sisanya aku serahkan pada kalian,” kata papa.

“Semoga semuanya seperti yang kita harapkan,” kata Dokter Faisal sambil menepuk lengan papa.

Papa dan pembantai Puja mengangguk. Kemudian papa memberikan sesuatu kepada pembantai  lalu mengakhiri pertemuan itu dengan berjabat tangan.

Papa dan Dokter Faisal meninggalkan pembunuh itu.

Pembunuh itu mendekati Puja. Ia mengambil posisi jongkok. Dia mengelus rambut Puja beberapa kali. Jarak sedekat itu tidak lagi bisa menyamarkan wajah. Dan ini benar-benar gila, orang yang menyiksa dan membantai Puja tak lain adalah sepupunya sendiri, Mas Dami. “Maafkan aku Puja. Aku terpaksa melakukannya.” Suaranya bergetar.

Mas Dami kembali meraih kapak yang menindih punggung Puja. Ia mengangkatnya tinggi dan menghunjamkannya ke tubuh Puja. Saat itu pulalah baik Mas Dami dan lokasi pembantaian itu lenyap dan berganti dengan interior kamar berwarna biru langit. Desain plafon seperti langit malam tiba-tiba menjadi malam yang suram terlebih saat salah satu pembunuh itu masuk ke kamarku, papa.

Jangan lewatkan: Mara dan Tragedi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun