Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Bermata Cokelat | Cerpen Banyu Biru

23 Mei 2024   19:30 Diperbarui: 8 Juni 2024   18:55 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diedit menggunakan Canva

“Masih jauh, Mas?” teriak Puja tiba-tiba.

“Enggak. Udah deket.”

Ternyata ‘dekat’nya Mas Dami tidak benar-benar dekat. Mataku sampai ikut merasa kelelahan. Aku harus berpindah ke kasur, mencoba bertahan, bertahan, tetapi gagal. Kelopak mataku semakin berat hingga akhirnya aku pasrah dan menjatuhkan diriku kemudian tertidur.

Baca juga: Video Call

Aku bermimpi. Tepat di depanku, seorang perempuan lusuh menatapku tajam. Merah. Merah di tubuhnya adalah darah. Kata Mama merah seperti itu mengerikan. Tidak sedikit yang takut dengan merah itu dan aku salah satunya.

Matanya membelalak lalu kemudian mukanya memelas. Wajahnya basah entah karena keringat atau air matanya. Ia meminta tolong. Tolong, temukan aku, katanya. Dengan tangannya yang bersimbah merah darah, ia mencoba meraihku. Aku begitu takut sampai-sampai tubuhku menjadi kaku. Aku tak bisa bergerak, bahkan ketika ada sosok yang mendekati perempuan itu dengan kapak di tangannya. Kapak itu meneteskan cairan yang tampaknya masih segar. Kapak itu menerjang tubuh perempuan berulang kali hingga erangan perempuan itu perlahan berganti menjadi desis. Desisan itu membentuk sebuah kalimat yang terucap dengan lambat. Temukan aku. Mata itu akan menuntunmu.

Puja! Pekikku. Aku tersentak dan terbangun. Aku kembali merasakan empuknya kasur seperti biasa. Masalahnya, walau aku merasa sudah terbangun dan merasa berada di kamarku, penglihatanku masih sama seperti yang ada di mimpiku. Lokasi pembantaian seorang gadis seusiaku.  Tubuh Darmi yang tidak berdaya dibiarkan tergeletak seperti seonggok bangkai kucing yang terlindas mobil. Kapak menindihnya dan darah melumurinya. Kalau begini, jangankan wanita dengan mata cokelat gelap, siapa pun tidak akan tahan dengan nyeri karena pembantaian seperti ini.

Beberapa meter dari sana, mata Puja yang mulai redup berusaha melihat tiga pria dewasa yang bercakap-cakap dan beberapa kali melihat ke arah Puja. Aku terenyak. Dadaku teremas. Dua dari orang berdiri di sana adalah orang yang sangat kukenal.

“Bagaimana selanjutnya Pak Marwan?” tanya seorang pria bertubuh gempal yang kuketahui adalah dokter spesialis yang menangani operasi mataku.

“Aku hanya butuh kornea matanya. Sisanya aku serahkan pada kalian,” kata papa.

“Semoga semuanya seperti yang kita harapkan,” kata Dokter Faisal sambil menepuk lengan papa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun