Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Bermata Cokelat | Cerpen Banyu Biru

23 Mei 2024   19:30 Diperbarui: 8 Juni 2024   18:55 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kita doakan sehat juga ya,” harap Bu Dewi. Kemudian garis di wajahnya sedikit berubah. Matanya menatap lurus ke bola mataku, eh maksudku, mata Puja. “Gimana dengan mamasmu itu? Maaf, tapi dari omongan yang ibu dengar, sepertinya ibu agak ragu kalau dia bisa jaga kamu.”

Dari obrolan antara wali kelas dan anak walinya itu aku jadi cukup memahami situasi yang harus dijalani Puja. Ia seharusnya tinggal bersama ibunya karena ia anak semata wayang, tetapi sang ibu harus mengadu nasib ke Taiwan karena tidak ada pekerjaan. Sekarang ia dijaga oleh sepupunya yang ia panggil Mas Dami. Sayangnya perilaku Mas Dami jauh dari kata baik. Dia terkenal berandalan dan semaunya. Puja harus membiasakan diri dengan itu, toh, mereka tidak tinggal satu atap.

Setiap hari aku juga jadi sibuk menyusun potongan-potongan kehidupan Puja. Aku tidak bisa mengontrol penglihatan itu kapan datangnya. Walau rasanya ini mengganggu keseharianku, aku tidak lagi mempermasalahkannya. Aku seperti memiliki teman baru dan setiap harinya aku merasa semakin mengenal Puja. Sama seperti hari ini, ketika aku menatap cermin rias di kamarku. Aku menatap lekat-lekat mata ini. Cantik sekali, berwarna cokelat gelap yang sekilas seperti warna hitam. Katanya, wanita yang punya warna mata gelap sepertiku lebih tidak tahan terhadap rasa nyeri.

Saat asyik memandangi mata itu sosok di dalam cermin tiba-tiba berubah, masih dengan warna yang sama, tetapi dengan perawakan yang berbeda. Puja. Ia tiba-tiba hadir menggantikanku di dalam cermin. Ia melakukan hal yang sama denganku. Mata itu beradu tatap dengan mataku, seperti sedang menyelidiki atau mempertanyakan sesuatu. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang Puja pikirkan. Melihat Puja bergeming, aku juga ikutan mematung.

“Kau sedang apa Puja?” Suara berat dari balik punggung Puja mengalihkan fokus Puja dari cermin.

“Tidak ngapa-ngapain, Mas. Lagi ngaca aja,”

Kesan pertama yang muncul dibenakku ketika melihat lawan bicara Puja tidak buruk. Mas Dami, begitu Puja memanggilnya, bisa dibilang tidak separah penggambaran Bu Dewi. Ya, memang tidak begitu rapi, cuma senyumnya cukup bagus. Wajahnya terlihat ramah. Kalau dibilang berandal dengan wajah seperti itu, masih kurang meyakinkan.

“Bagaimana? Kamu sudah siap?”

“Sudah Mas,” angguk Puja.

Sepertinya ada yang sudah aku lewatkan. Puja dan Mas Dami ini hendak ke mana?

Bola mata Puja banyak fokus pada punggung Mas Dami. Tak banyak kata-kata sejak dari rumah. Selain punggung Dami, sepanjang perjalanan Puja lebih banyak banyak melihat ke bawah. Jadi, yang banyak kulihat hanya aspal, celana jin robek-robek Mas Dami dan bangunan atau pepohonan yang berlarian berlawanan arah dengan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun