Baca juga: Pernikahan
***
Aku mengikuti keseharian gadis ini. Sangat sederhana. Menurutku kesederhanaannya justru memamerkan kecantikan yang apa adanya, alami. Seperti gadis seusiaku, sebelum berangkat sekolah ia menyelesaikan tugasnya seperti memasak, mencuci piring dan memenuhi bak-bak penampung air sumur di rumahnya. Melihat ketulusannya, aku ingin punya kehidupan seperti ini. Hidup di desa, jauh dari keramaian mungkin akan menyenangkan.
Gadis ini memiliki langkah yang cepat. Bukan karena terburu-buru, memang kebiasannya seperti itu. Rambut yang terurai sampai pundaknya dikuncir belakang tidak menjadi berantakan kala ia berlari-lari kecil. Ini anak pasti sangat membuat orang tuanya bangga punya anak sesemangat ini menjalani hidup.
Omong-omong tentang orang tua gadis ini, aku belum pernah melihatnya. Di rumah aku hanya bisa melihat perkakas-perkakas yang sudah mulai usang. Sofa di ruang tamu sudah banyak terkoyak, semen rumah banyak yang retak dan berlubang. Pemandanganku setiap pagi tak jauh-jauh dari sumur, kompor, dan lukisan-lukisan tua d kamarnya yang hampir tak jelas lagi gambarnya karena sudah menguning. Aku tidak pernah melihat gadis ini menatap atau meratap foto orang tuanya jika memang sudah tiada.
Gadis ini sebatang kara?
Ternyata tidak. Untung saja hari ini aku bertemu, eh bukan, maksudku gadis bernama Puja yang entah bagaimana aku bisa melihat melalui matanya, sedang bersama seorang guru bernama Bu Dewi. Ia adalah wali kelas Puja—aku akan menyebut namanya saja supaya terbiasa.
“Bagaimana kabarmu, Puja?” tanya Bu Dewi ramah.
“Puji Tuhan, baik Bu,”
“Kalau ibu?”
“Seminggu ini belum komunikasian Bu. Terakhirnya dua minggu lalu.”