Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Video Call Karya Banyu Biru

20 Mei 2024   19:58 Diperbarui: 20 Mei 2024   19:58 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yang, di belakangmu..." Sapta tersendat-sendat.

Aku lagsung menangkap maksud Sapta. Kata-katanya langsung terangkai utuh di otakku yang menyatakan bahwa makhluk itu sekarang berada di belakangku dan siap mengakhiri riwayatku saat ini juga.

Oh Tuhan, Ia mendekat. Makhluk itu lebih besar dari penampakan di dalam layar. Jemariku gemetar hebat ketika berusaha menjangkau Sapta lagi. Di seberang sana, aku mendengar Sapta mengerang kesakitan. Berkali-kali ia berteriak meminta tolong hingga terdengar serak.  Kamera Sapta masih menyala dan mempertunjukkan keadaan Sapta yang membuatku merasa dingin dan beku. Ia tak lagi mampu bersuara. Sapta sudah terkapar dan bermandikan darah. Hanya bibirnya yang komat-kamit seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi sampai cakaran makhluk itu merobek punggungku, aku tidak bisa memahaminya.

Makhluk hitam ini menarik kasar tubuhku sehingga aku bisa merasakan perihnya daging yang terkoyak bergesekan dengan permukaan seprai. Makhluk itu meremas tangan kananku, memasukkannya ke dalam mulutnya yang besar. Aku masih mendengar dan merasakan gemeretak tulang-tulang jemariku beradu dengan barisan giginya yang taja. Ia mengunyahnya dengan lahap seperti orang yang sudah berpuasa cukup lama. Ngilu dan sakit berpadu hingga kemudian sekujur tubuhku mulai terasa dingin. Aku mulai kehilangan kemampuan untuk merasakan anggota tubuhku yang lainnya. Saat tubuhku melemah, teringat wajah terakhir Sapta yang menyedihkan. Dalam keputusasaanku, aku akhirnya menerjemahkan sendiri gerak bibirnya yang kuanggap adalah kata-kata terakhirnya.

***

Dering tanda panggilan masuk samar-samar menerobos masuk ke telinga. Aku tidak bisa meraihnya karena tanganku sudah tidak memungkinkan. Makhluk hitam itu mendekat ke arah ponsel. Bip bunyi panggilan diterima. Bunyi kresek keluar bersamaan suara seorang laki-laki dari ponselku. Aku mengenal suara itu. Itu suara Abi, salah satu rekan kerjaku. Nama yang juga terlintas di benakku saat mencoba membaca gerak bibir Sapta. Aku yakin betul itu suaranya karena relasi kami cukup. Tapi, kenapa dia mengingkan kami mati?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun