Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Nikmat Kematian | Cerpen

1 Juni 2023   13:52 Diperbarui: 5 Juni 2023   11:17 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu per satu mereka mati. Itu harapanku. Dan apa yang kuharapkan, terwujud.

Binatang memang memiliki kemampuan alamiah untuk bertahan hidup. Kalau berani, mereka akan menggertak dengan auman atau menyalak. Mereka bisa menjadi predator bagi binatang yang lebih kecil. Namun, di antaranya ada pula yang hanya bermodal kepercayaan diri tanpa keterampilan menyerang atau berburu. Kalau memang kalah kuat secara fisik, mereka akan memilih menghindar, berkamuflase bahkan mendadak kaku atau pura-pura mati.

Aku? Aku tidak memiliki semua kemampuan itu. Aku berbeda, bahkan dari semua manusia yang pernah kutemui.

Yang kuat yang berkuasa. Yang lemah akan punah. Tetapi perlu diketahui, tempat di mana kita tinggal bukan hutan. Hukum rimba tidak berlaku. Ada kalanya yang dianggap lemah akan bangkit, menikam dari belakang, menembus dada. Ketika ia menarik pedang untuk disarungkan, nyawa sudah terpisah dari raga secara bersamaan. Dengan cara yang tak terduga mereka akan menghadang siapa pun yang menghalangi jalannya. Ia tidak akan terhentikan, sampai lawan kalah telak dan ia membawa penyesalannya sampai ke neraka.

Aku tidak menyukai bau anyir darah. Namun, belakangan ini aku begitu menikmati aroma kematian seperti sedang menghidu aroma kopi hangat kala senja. Kematian menjadi sebuah kekuatan yang membuat candu. Serius. Apa lagi mereka berteriak, menjerit, menangis, kadang-kadang mereka berlagak punya nyali tetapi kemudian mulai putus asa. Sungguh, momen-momen itu tidak akan bisa diganti oleh apapun.

Pukul sebelas malam, sudah dapat dipastikan, kantuk akan mulai datang. Dan saat mata mulai terpejam, alam bawah sadar mulai bekerja. Dulu kupikir itu semua adalah mimpi, nyatanya bukan. Semuanya ada dalam kendaliku. Seperti kataku sebelumnya, ketakutan terbesar bisa menjadi kekuatan terbesar pihak lain untuk menghancurkan, termasuk merenggut nyawa.

Saat mata kupejam, aku memanggil bocah-bocah yang sering merundungku. Mereka ada dua orang tetapi aku mau mereka mati satu per satu dulu. Si botak ini, aku lebih membencinya. Tanpa dia Si Mata Besar tidak ada apa-apanya, ia seorang pengecut yang mencari aman di balik bayang-bayang kawannya. Jadi, pelajaran khusus untuknya nanti saja.

"Di mana ini?" gertaknya.

Aku tak mau langsung menjawab. Biarkan ia memahaminya sendiri. Biarkan ia menatap senyum sinisku lamat-lamat. Mata mencemooh itu biarkan beradu pandang dengan mataku. Ia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dunia yang hitam ini duniaku. Aku tidak perlu melorotkan topi sampai ke alis demi menghindari kontak mata dengannya. Aku tidak perlu berusaha berjalan cepat saat berpapasan dengannya. Ia tidak bisa dengan mudah menelenjangiku karena ini bukan jam olah raga. Biarkan ia meneriakiku 'si tante', 'banci' dan 'homo' supaya ia menikmati detik-detik terakhirnya.

"Anjing! Jawab!" bentaknya lagi.

"hem..." Aku merapatkan alis. "Kalau kataku, ini taman bermain," jawabku kemudian.

Ia semakin geram.

"Ini taman bermainku, dan neraka bagimu," kataku menambahkan.

Darahnya seperti sudah naik ke ubun-ubun. Ia berlari ke arahku. Masih beberapa langkah, ia terhenti. Tercegat darah. Ia takut darah. Seperti cacing kepanasan, ia roboh dan menggeliat-geliat pada permukaan yang juga sudah tergenang oleh cairan amis itu. Ia terus-terusan mengusap bagian tubuhnya yang berlumur darah. Merah darah itu malah terlihat seperti ayam sambal balado yang begitu menggiurkan.

Tak puas menyaksikan wajah tersiksanya dari jauh, kuputuskan mendekat saja. Memastikan apakah ia masih bisa memasang mata mengintimidasi atau sebaliknya minta dikasihani.

Keparat. Ia masih enggan untuk meminta tolong sekalipun ia berkali-kali memuntahkan cairan dari mulutnya. Lambungnya pasti terguncang hebat karena cairan yang menakutkan sekaligus menjijikkan telah lolos melewati mulutnya saat berteriak.

Atas kehendakku, hujan darah berhenti. Darah ditubuhnya juga kusingkirkan. Aku ingin bermain-main dengan orang ini, jadi kubiarkan ia tenang sebentar. "Bagaimana rasanya?" tanyaku.

"Bajingan!" umpatnya. Ia hendak melepaskan bogemnya. Aku menghindar dan berpindah posisi dalam satu kedipan mata. Ia terus berusaha dan terus sia-sia.

"Sudah kubilang, ini wilayahku. Aku hanya ingin bermain." Aku berjalan perlahan mengelilinginya. "Kau juga suka bermain denganku, bukan?"

Aku berhenti tepat di hadapannya. "Aku ingin melihat, apakah kali ini kau akan menikmatinya."

Aku mengambil jarak beberapa langkah dari posisi duduk Si Botak. Matanya mengikutiku. Saat mata kami bertemu ia masih memasang tatapan mengancam. Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya ialah yang sedang terancam.

Sepasang tangan berlumuran darah mencuat dari bawah permukaan. Ruas jari dan kukunya yang panjang berhasil membuat Si Botak terkejut dan refleks menghindar. Matanya kian melebar ketika batok kepala plontos yang juga berlumuran darah ikut menyembul. Bukan hanya itu, ia melihat wajahnya tercetak pada wajah sosok itu. Persis. Dengan tampilan yang bengis dan taring pada mulutnya.

Tidak butuh waktu lama bagi sosok itu untuk menampilkan wujud utuhnya. Ia menyerupai Si Botak dengan tubuh kurus kering dengan postur lebih tinggi. Lengannya yang panjang mencoba meraihnya. Si Botak berusaha menghindar. Saat berdekatan, sosok itu menjilat wajah Si Botak seperti sedang menjilat es krim. Sosok itu tidak peduli dengan Si Botak yang sedang berusaha menahan napas dan mengusap-usap wajahnya supaya lendir yang menjijikkan itu tersingkir dari mukanya.

"Pergi! Pergi!" jerit Si Botak.

Aku menyaksikanya dengan geli sekaligus mual karena bau busuk itu sangat menyengat sampai bikin pusing kepala. "Dia tidak akan berhenti, sebelum puas bermain denganmu," cetusku.

"Apa maumu?" hardiknya.

Aku tidak menjawab. Sosok itu sudah mengambil alih permainan. Terbukti dari jerit kesakitan laki-laki itu cukup memekakkan. Mungkin ia tidak menduga tindakan sosok itu yang tiba-tiba mematahkan salah satu jarinya hingga putus. Sosok itu tampak bergairah. Lidahnya dibiarkan bergelantung dan meneteskan lendir hitam yang berbau busuk. Dua...tiga... jemari laki-laki tak ubahnya seperti ranting kayu yang dipatahkan.Suara gemeretaknya cukup enak di dengar.

"Ampun!" jerit Si Botak.

"Astaga! Kau telat sekali," kataku dengan nada dan muka mengejek. "Kau baru minta ampun setelah telapak tanganmu buntung? Kau lucu."

"Ampun!" Kali ini dengan nada lirih, laki-laki itu memelas.

"Dengan tangan buntung seperti itu, kau tidak terlihat tulus." Aku menyentuh dagu. Kualihkan pandanganku pada sosok di samping laki-laki itu. Sosok itu sedang sibuk mengunyah daging yang baru saja ia copot dari tempatnya.

"Kau," kataku pada makhluk itu. "Kau puas hanya dengan telapak tangannya? Kenapa tidak sekalian dengan lengannya?"

Si Botak tercengang. Dadanya kembali naik turun ketika sosok itu menoleh ke arahnya. Ia bergidik ngeri ketika lidah sosok itu dijulurkan. Mengendus-endus lengan laki-laki itu seperti memastikan aroma santapnya untuk menggenjot nafsu makannya.

"Jangan... jangan... aku mohon. Aku tidak akan mengulangi perbuatanku. Tolong," racaunya.

"Kau memang tidak akan mengulanginya lagi. Karena kau akan berakhir disini," ketusku.

Laki-laki itu terbelalak. Antara tak terima atau pasrah, yang pasti ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain meraung kesakitan. Apa lagi saat sosok itu meregangkan lengannya, menariknya tanpa ampun hingga tulang lengan atas dan bawahnya terpisah. Darah muncrat mengenai wajah laki-laki itu membuatnya mengejang ketakutan. Matanya seperti ingin melompat ketika melihat sosok itu berusah mencopot lengan atasnya.

Laki-laki itu melemah. Suaranya semakin lirih. Kondisinya sekarang seperti figur yang bisa dibongkar pasang. Ia dipreteli bagian demi bagian mulai dari lengan, kaki, paha sampai ke pinggang. Laki-laki itu telang hilang kesadaran sepenuhnya.

Aku menarik napas lega. Permainan malam ini sudah selesai dan aku ingin keluar sebentar dari dunia ini. Sedang pada langit-langit kamar, seekor laron tengah terperangkap di dalam mulut seekor cicak. Tanpa bermaksud mengusik hewan itu, aku bangun dengan hati-hati. Mengelap keringat yang membasahi sekujur tubuh sebelum kembali tidur. Aku harus tidar nyenyak malam ini supaya besok siap mendengarkan berita segar yang buat gempar.

Cicak itu masih menempel di langit-langit. Aku mengamatinya dengan bangga. Sama seperti hewan kecil itu, ternyata aku juga bisa. Manusia punya hasrat untuk membunuh. Mereka hanya terbentur oleh norma. Hukum yang katanya bisa menciptakan keteraturan. Cuih! Keteraturan itu ilusi. Hukum hanya alat untuk mengendalikan manusia-manusia lainnya. Aku tidak akan bisa dikendalikan oleh siapapun. Ingat, aku menikmati aroma kematian. Sekali berharap kau mati, kau mati. Itu kemampuan yang sekarang kupunya.

Foto diri Penulis
Foto diri Penulis

Rapael Sianturi (a.k.a Banyu Biru) adalah tenaga pendidik yang memiliki ketertarikan dalam menulis fiksi. Selain menjadi pengajar di
sebuah sekolah swasta, saat ini juga terus melatih keterampilan menulis dengan menjadi kontributor dalam berbagai proyek antologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun