Mohon tunggu...
Nono Purnomo
Nono Purnomo Mohon Tunggu... Guru - mandiri

Belajar memahami dan merasakan ....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seni Raja Domba Garut Ubah Citra Negatif Menjadi Good!

22 Oktober 2019   23:06 Diperbarui: 25 Oktober 2019   15:01 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kita membicarakan tentang Garut seakan tidak lepas dari makanan yang memiliki rasa manis  dikenal dengan sebutan "Dodol Garut". Itulah sepintas bila kita bicara tentang daerah yang berada di wilayah Propinsi Jawa barat ini.

Pandangan itu tentu tidak salah namun rasanya kurang pas apabila membicarakan Garut hanya bicara tentang satu jenis makanan saja, apalagi hanya dodol. Mengapa Demikian?

Sebenarnya bila mau menelusuri lebih jauh tentang Garut, Daerah ini memiliki begitu banyak daya tarik, baik dari unsur seni budaya, kuliner, wisata dan beragam panorama alamnya yang indah. Dengan begitu banyak daya tarik Garut penulis mencoba untuk mengangkat sisi lain dari Garut utamanya pada unsur Budayanya.

Seni Budaya Garut mencakup tentang kepercayaan, norma-norma artistik dan sejarah-sejarah nenek moyang yang tergambarkan melalui kesenian tradisional. Hal ini dapat dilihat dari ragam kebudayaan yang lahir dari karya masyarakat penyangganya.

Jenis-jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang di Garut antara lain; Tari Topeng Koncaran, Surak Ibra, Boboyongan, Pencak Silat, Debus, Dodombaan, dan Raja Dogar. Ragam Kesenian ini umumnya berkembang di masyarakat Garut terkait dengan penggambaran tentang penjajahan zaman dahulu.

Dari sekian banyak ragam kesenian di atas, penulis tertarik untuk mengulas Raja Dogar lebih jauh dan mendalam. Ada alasan cukup kuat mengapa Raja Dogar ini menjadi pilihan untuk dikupas lebih dalam, pertama seni Raja Dogar terbilang masih baru, berdiri tanggal 15 Desember 2005. Dibanding dengan seni tradisional yang lain raja dogar termasuk yang paling belia. 

Kedua, Ada upaya dan semangat dari pencipta seni Raja Dogar yaitu Entius Sutisna yang menginginkan budaya tradisional sebagai warisan leluhurnya di Garut tidak hilang dan ditelan perubahan zaman. Keinginan ini seakan mewakili mayoritas masyarakat Garut agar seni dan budaya tradisional tetap terawat.

Sebagai gambaran singkat Raja Dogar memiliki keterkaitan erat dengan Budaya Adu Domba yang saat ini lebih dikenal dengan Ketangkasan Adu Domba, sedangkan Budaya Adu Domba ada yang memberikan pandangan negatif akibat memunculkan adanya kekerasan pada hewan dalam hal ini domba aduan.

Ajang Adu Domba sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Garut. Bahkan Adu Domba dalam sejarahnya sudah ada sejak abad 19. Awalnya beberapa anak gembala yang menggembalakan dombanya, mengadu domba-domba mereka yang jantan karena melihat dombanya memiliki sifat yang agresif.

Kebiasaan ini bukannya dilarang, justru diikuti orang tua mereka dan para juragan pemilik domba, sehingga pada tahun 1905 dibuatlah agenda khusus untuk menyelenggaran Ajang Adu Domba, dan diluar dugaan kegiatan ini meluas hingga ke wilayah lain yaitu kabupaten Bandung dan Sumedang.

Seiring dengan berjalannya waktu Ajang Adu Domba seakan mendapat stigma kurang bagus dan cenderung dinilai negatif bagi sebagian masyarakat utamanya diluar Garut, hal ini terjadi akibat penafsiran bahwa Ajang Adu Domba sebagai atraksi yang mempertontonkan kekerasan pada hewan dan tidak jarang dijadikan pula ajang perjudian.

Untuk menghapus citra negatif itu, beberapa peternak domba yang tergabung dalam Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) di tahun 1980 mengubah dan menyepakati perubahan Istilah Adu Domba menjadi Seni Ketangkasan Domba. Dengan menggunakan istilah seni ketangkasan diharapkan citra mempertontonkan kekerasan akan hilang sebab dalam seni ketangkasan yang dinilai adalah estetika dari domba aduan.

Penilaian didasarkan pada keindahan pengambilan ancang-ancang, pola serangan atau teknik pukulan dan teknik menghindari serangan saat domba di adu. Selain penilaian dari gerakan domba terdapat pula penilaian terkait dengan postur tubuh domba, masyarakat garut menyebutnya dengan istilah Adeg-Adeg yang meliputi; postur, jinjingan, ules, warna, corak bulu dan motif bulu dari masing-masing domba aduan.

Upaya positif untuk mengubah citra Adu Domba menjadi Seni Ketangkasan Domba ternyata masih belum menampakkan hasil yang optimal, hal ini tampak dari sebagian masyarakat Indonesia khususnya pecinta binatang yang menganggap apapun alasannya menjadikan objek binatang sebagai komoditas tontonan kekerasan tidaklah elok dan belum bisa mereka terima.

Melihat penolakan yang masih ada di sebagian masyarakat dan tidak ingin budaya leluhur ini hilang dari kultur budaya masyarakat Garut, sosok Entius Sutisna membuat terobosan baru dengan menciptakan Raja Dogar.

Raja Dogar merupakan singkatan dari Raja Domba Garut. Raja Dogar merupakan seni pertunjukan yang mereplikasi dari ajang Adu Domba, bedanya yang dipertarungkan disini bukanlah domba yang sebenarnya namun domba Garut yang divisualisasikan dalam bentuk atau model kostum yang menyerupai Domba Adu Garut.

Dalam kostum Raja Dogar terdapat dua orang yang mengisinya, ada yang sebagai kepala dan yang satunya sebagai badan dan ekor, hampir mirip kondisinya seperti Barongsai. Adapun dari ukurannya yang besar dan bentuk tubuh yang tinggi melebihi Domba inilah yang memberikan Inspirasi bagi Entius Sutisna memberinya nama Raja Dogar.

Raja Dogar hadir ditengah-tengah masyarakat Garut sebagai Budaya mewarisi model Adu Domba dari Hewan yang sebenarnya. Kesenian Raja Dogar ini benar-benar sebagai hiburan semata sehingga tidak mendapat penilaian negatif seperti adu domba dengan hewan yang sebenarnya. Hebatnya lagi Meski terbilang baru, kiprahnya dalam seni pertunjukan bisa diterima masyarakat luas baik tingkat regional, nasional bahkan hingga ke kancah Internasional.

Hal ini tentu menjadi kabar yang menggembirakan, sebab budaya Raja Dogar mampu menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa seni pertunjukan yang diilhami oleh Adu domba dapat menjadi hiburan tanpa memberikan persepsi negatif lagi seperti Adu Domba dengan hewan yang sebenarnya.

Dengan diterimanya Raja Dogar oleh masyarakat luas akan memberikan arti bahwa budaya Garut ternyata bisa tetap langgeng dan dapat  berlangsung seperti budaya Adu domba sebenarnya.

Selain itu seni pertunjukan Raja Dogar mampu mengangkat budaya lain diantaranya seni pencak silat dan iringan musik tradisional sunda diantaranya; seperangkat kendang pencak, Reog, Angklung, Tarantang, Simbal, Bass Drum dan Kulanter.

Dalam pertunjukannya agar lebih meriah Raja Dogar memang diiringi musik seperti juga saat musik yang sama dibunyikan mengiringi perhelatan Seni Ketangkasan Domba Garut dengan Seni Kendang Pencak. Dengan mengangkat budaya lain, Raja Dogar memiliki nilai lebih sebagai seni tradisional yang mampu menjaga marwah seni tradisional yang lain tetap terjaga kelanggengannya.

Dalam pertunjukan Raja Dogar ini banyak juga muatan karakter positif yang dapat digali dan nilai-nilai kebaikannya dapat digunakan oleh masyarakat. Seperti diketahui dalam seni Raja Dogar, personel yang dilibatkan cukup banyak kurang lebih ada sekitar 40 orang.

Masing-masing terbagi dalam posisi-posisi yang sudah ditentukan antara lain; 4 orang sebagai pemeran domba untuk 2 kostum Raja Dogar, 6 orang sebagai bobotoh, 1 orang sebagai wasit permainan, 6 orang sebagai pembawa umbul-umbul (Bandir), 6 orang sebagai Penari (Pesilat), 8 orang sebagai pemain music (pengrawit), 2 orang sebgai pembawa spanduk, 3 orang senagai pembawa roda Sound System,dan 4 orang sebagai pendorong panggung berjalan.

Keterlibatan sekian banyak personel yang berada diposisi berbeda dan mereka juga aktif bergerak menunjang atraktifnya pertunjukan seni Raja Dogar seakan memberikan pesan filosofis.

Pesan-pesan filosofis itu antara lain: Pertama, pembawa umbul-umbul melambangkan kegembiraan masyarakat sewaktu menyambut kedatangan tamu kehormatan atau menyambut tamu yang diagungkan, sedangkan umbul - umbul yang berjumlah 6, melambangkan Rukun Iman.

Kedua, Bobotoh dan Wasit berjumlah 7 orang, melambangkan lapisan bumi dan langit kita ada 7 lapisan, dan warna hitam pada pangsi (kampret) melambangkan warna tanah.

Ketiga. Domba berjumlah 2 ekor, melambangkan dua sisi dari kehidupan di dunia, ada siang dan malam, Baik dan benar, Lelaki dan Perempuan. Keempat, Warna Hitam dan Putih pada 2 Domba melambangkan hal baik dan hal buruk. Kelima, Pesilat selain dijadikan sebagai kembang desa juga diperlihatkan gerakan kekuatan dalam cara bela diri agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

 Begitulah Seni Pertunjukan Raja Dogar yang misi awal dibentuk untuk melanggengkan budaya leluhur yang ada ternyata justru memiliki banyak nilai postif yang dapat digali dan digunakan oleh masyarakat pecinta seni pertunjukan ini.

Maka tidaklah berlebihan ketika pemerintah daerah Garut memberi kontribusi positif terhadap budaya tradisional Garut dengan melaksanakan event tahunan yaitu Gebyar Pesona Budaya Garut, yang kebetulan ditahun 2019 jatuh pada tanggal 16 februari 2019 untuk memperingati hari Jadi Garut ke-206.

Tema yang diangkat kemarin yaitu "Garut Tandang Ngahibarkeun Dangiang" yang artinya kurang lebih upaya pemda Garut melestarikan budaya bangsa agar lebih dikenal hingga mancanegara.

Kondisi tersebut seakan gayung bersambut bagi upaya seorang Entius Sutisna yang menciptakan Seni pertunjukan Raja Dogar yang ingin agar budaya tradisional yang ada di Garut tetap langgeng, awet dan lestari. Tidak hanya itu saja, Seni Raja Domba Garut seakan telah menjawab secara nyata bahwa citra negatif Adu Domba Garut menjadi Good!!!

Pemerintah pusat melalui kementerian pariwisata juga sangat mengapresiasi kondisi tersebut di atas. Menteri pariwisata Arief Yahya menyatakan bahwa selama ini ketertarikan wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia, khususnya Wisman 60 % dipengaruhi oleh faktor budaya.

Jadi ketika ada pertunjukan budaya yang menyentuh hati nurani masyarakat tentu akan menjadi daya tarik positif yang sangat tinggi, sehingga berpengaruh pada peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara.

Pernyataan Pak menteri ini sekali lagi seakan menjadi penegas bahwa memiliki pertunjukan budaya tidaklah cukup hanya sekadar budaya warisan yang berupa pertunjukan saja tetapi haru  memiliki nilai dan karakter positif, dan lebih dari itu budaya yang dipertunjukkan harus mampu memberi inspirasi bagi penontonnya sehingga ada nilai-nilai kebaikan yang dapat diambil. Dan dari Bapak Entius Sutisna Seni Pertunjukan Raja Domba Garut mampu menjawab itu semua.

Sumber Rujukan

Srimulyani, Destri. 2013. Kesenian Raja Dogar Kecamatan Cibatu Kabupaten Garut.  Skripsi: Pepustakaan.Upi.Edu.

https://www.kompasiana.com/julkifliaji/55289ccaf17e610a6b8b457d/kehidupan-sosial-budaya-masyarakat-kabupaten-garut)

https://www.liputan6.com/regional/read/3935497/saatnya-warga-garut-menikmati-meriahnya-pesta-budaya

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/kesenian-tradisional-kabupaten-garut/

http://kongres.kebudayaan.id/kabupaten-garut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun