Untuk menghapus citra negatif itu, beberapa peternak domba yang tergabung dalam Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) di tahun 1980 mengubah dan menyepakati perubahan Istilah Adu Domba menjadi Seni Ketangkasan Domba. Dengan menggunakan istilah seni ketangkasan diharapkan citra mempertontonkan kekerasan akan hilang sebab dalam seni ketangkasan yang dinilai adalah estetika dari domba aduan.
Penilaian didasarkan pada keindahan pengambilan ancang-ancang, pola serangan atau teknik pukulan dan teknik menghindari serangan saat domba di adu. Selain penilaian dari gerakan domba terdapat pula penilaian terkait dengan postur tubuh domba, masyarakat garut menyebutnya dengan istilah Adeg-Adeg yang meliputi; postur, jinjingan, ules, warna, corak bulu dan motif bulu dari masing-masing domba aduan.
Upaya positif untuk mengubah citra Adu Domba menjadi Seni Ketangkasan Domba ternyata masih belum menampakkan hasil yang optimal, hal ini tampak dari sebagian masyarakat Indonesia khususnya pecinta binatang yang menganggap apapun alasannya menjadikan objek binatang sebagai komoditas tontonan kekerasan tidaklah elok dan belum bisa mereka terima.
Melihat penolakan yang masih ada di sebagian masyarakat dan tidak ingin budaya leluhur ini hilang dari kultur budaya masyarakat Garut, sosok Entius Sutisna membuat terobosan baru dengan menciptakan Raja Dogar.
Raja Dogar merupakan singkatan dari Raja Domba Garut. Raja Dogar merupakan seni pertunjukan yang mereplikasi dari ajang Adu Domba, bedanya yang dipertarungkan disini bukanlah domba yang sebenarnya namun domba Garut yang divisualisasikan dalam bentuk atau model kostum yang menyerupai Domba Adu Garut.
Dalam kostum Raja Dogar terdapat dua orang yang mengisinya, ada yang sebagai kepala dan yang satunya sebagai badan dan ekor, hampir mirip kondisinya seperti Barongsai. Adapun dari ukurannya yang besar dan bentuk tubuh yang tinggi melebihi Domba inilah yang memberikan Inspirasi bagi Entius Sutisna memberinya nama Raja Dogar.
Raja Dogar hadir ditengah-tengah masyarakat Garut sebagai Budaya mewarisi model Adu Domba dari Hewan yang sebenarnya. Kesenian Raja Dogar ini benar-benar sebagai hiburan semata sehingga tidak mendapat penilaian negatif seperti adu domba dengan hewan yang sebenarnya. Hebatnya lagi Meski terbilang baru, kiprahnya dalam seni pertunjukan bisa diterima masyarakat luas baik tingkat regional, nasional bahkan hingga ke kancah Internasional.
Hal ini tentu menjadi kabar yang menggembirakan, sebab budaya Raja Dogar mampu menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa seni pertunjukan yang diilhami oleh Adu domba dapat menjadi hiburan tanpa memberikan persepsi negatif lagi seperti Adu Domba dengan hewan yang sebenarnya.
Dengan diterimanya Raja Dogar oleh masyarakat luas akan memberikan arti bahwa budaya Garut ternyata bisa tetap langgeng dan dapat  berlangsung seperti budaya Adu domba sebenarnya.
Selain itu seni pertunjukan Raja Dogar mampu mengangkat budaya lain diantaranya seni pencak silat dan iringan musik tradisional sunda diantaranya; seperangkat kendang pencak, Reog, Angklung, Tarantang, Simbal, Bass Drum dan Kulanter.
Dalam pertunjukannya agar lebih meriah Raja Dogar memang diiringi musik seperti juga saat musik yang sama dibunyikan mengiringi perhelatan Seni Ketangkasan Domba Garut dengan Seni Kendang Pencak. Dengan mengangkat budaya lain, Raja Dogar memiliki nilai lebih sebagai seni tradisional yang mampu menjaga marwah seni tradisional yang lain tetap terjaga kelanggengannya.