Konsep kepenjaraan dan pemasyarakatan sangatlah berbeda seperti berbanding terbalik 360 derajat.Pelakuan narapidana pada masa kepenjaraan tradisional memiliki misi yaitu mengacu pada mahzab detterence (penjeraan) yaitu jika dari sisi general yaitu penghukuman ditujukan untuk membuat aman artinya masyarakat menjadi takut melakukan kejahatan.Â
Jika dari sisi spesific bertujuan agar masyarakat tidak melakukan kejahatan kembali (residivis) ,artinya seseorang menjadi takut melakukan atau mengulangi kesalahan yang sama.Kemudian konsep kepenjaraan ini lebih mengacu pada falsafah punitif (asal kata :punishment) yaitu murni untuk pembalasan daripada rekonstrutif (membangun).Â
Konsep kepenjaraan juga merupakan doktrin retributif yang  dipengaruhi oleh prasasti dari Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa "an eye for an eye",yaitu seorang korban kejahatan yang hilang "satu mata"nya harus diganti atau ditebus dengan satu mata pula.
Paham ini merupakan paham retributif yang primitif misalnya lebih memandang kepada akibat yang diderita korban.Sistem ini bertujuan bahwa dikehendaki si pelanggar hukum akan bertaubat,sehingga pidana harus mewujudkan penderitaan diberikan kepada pelanggar sesuai atau sebanding dengan perbuatannya.Dalam hal ini masyarakat tidak mau adanya kenisbian atau keraguan dalam memberikan sanksi kepada pelaku tindak pidana.
Pandangan klasik memiliki penjelasan bahwa manusia melakukan kejahatan karena free will yang melahirkan filsafat pembalasan dalam penghukuman, serta penjelasan utilitarian yang melahirkan filsafat penjeraan dalam penghukuman.Kemudian jika kita kilas balik pada zaman rezim totaliter ,makna totaliter yaitu seluruh aspek kehidupan tiap individu harus sesuai dengan garis atau aturan negara, hal ini diperlukan untuk tercapainya tujuan negara, tujuan bersama.
Pada masa ini Gresham M Syskes mengatakan bahwa pidana penjara merupakan gagasan satu setengah abad yang lalu yang bersifat Long and Painfull yang berarti lama dan menyakitkan dan mengalami beberapa kehilangan The Pains of Imprisonment diantaranya adalah :
1. Lost of Liberty (Narapidana kehilangan kebebasan terpisah dari teman maupun keluarga)
2.Lost of Good and Services (Narapidana kehilangan atas akses pelayanan yang memuaskan)
3.Lost of Heterosexual Relationship (Narapidana kehilangan relasi seksual dengan lawan jenis)
4.Lost of Autonomy ( Narapidana kehilangan otonomi diri)
5.Lost of Security ( Narapidana kehilangan rasa aman )
Kesimpulannya konsep kepenjaraan bertujuan sebagai pemenjaraan terhadap seseorang sebagai perwujudan dari pidana hilang kemerdekaan membawa serta pula derita-derita lainnya yang jauh lebih berat daripada derita pidana hilang kemerdekaan itu sendiri.
Kehilangan hak untuk menentukan sendiri ,kehilangan hak untuk memiliki barang-barang,kehilangan hak untuk dilayani dan melayani sebagai peranan azasi manusia,kehilangan relasi emosional,kehilangan hubungan hetero-seksual ,kehilangan rasa aman karena bergaul dengan orang-orang yang bukan pilihannya,adalah beberapa diantara derita-derita yang diberi nama oleh Sykes "Pains of imprisonment".
Pemberian derita semata-mata sebagai ukuran tentang efektif tidaknya sanksi pidana tidak cukup memberi jaminan bahwa yang dikenakan sanksi itu akan jera ,tidak akan mengulangi perbuatannya dan karena itu tidak cukup memberi jaminan terhadap perlindungan masyarakat secara konsisten.
Kemudian membahasa tentang bagaimana perubahan konsep perlakuan narapidana dari kepenjaraan ke pemasyarakatan.Pemasyarakatan merupakan rumusan tentang hakekat pelanggar hukum dan perlakuan terhadapnya dan konsep ini mengedepankan hak asasi manusia,sangat jauh berbeda dengan konsep kepenjaraan.
Pada pemasyarakatan ini memperlakukan narapidana ,seperti memperlakukan manusia dengan kemanusiaan.Hal ini dapat kita kilas balik dalam dokumen Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tahun 2009, bab II, ditegaskan bahwa reintegrasi sosial adalah filsafat penghukuman yang mendasari pelaksanaan (sistem) Pemasyarakatan :
 "Secara filosofis Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh bergerak meninggalkan filosofi Retributif (pembalasan), deterrence (penjeraan), dan resosialisasi. Dengan kata lain, pemidanaan (penghukuman) tidak ditujukan untuk membuat derita sebagai bentuk pembalasan, tidak ditujukan untuk membuat jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan (penghukuman) ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakatnya (reintegrasi)."Â
Lalu ditegaskan pula oleh Dindin Sudirman (2007: 29) melihat dalam konteks yang lebih luas, sebagai bagian dari upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana, Sistem Pemasyarakatan adalah instansi yang melakukan pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana. Fokus dari rumusan ini adalah bahwa Sistem Pemasyarakatan merupakan sistem perlakuan bagi tahanan dan narapidana yang dikerangkai oleh hak asasi manusia.
Dalam halnya Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan, hal ini perlu ditegaskan posisi bahwa tugas utama Pemasyarakatan adalah perlakuan terhadap tahanan dan narapidana, serta klien dalam pembinaan, perawatan, dan pembimbingan, di dalam kerangka hak asasi manusia.Bahwa tugas utama  Pemasyarakatan adalah perlakuan terhadap tahanan, narapidana (dan klien), maka dari itu hal yang mendasarinya adalah munculnya teori dan praktek tentang sistem perlakuan tahanan dan narapidana (the treatment of offender).
Dengan menggunakan kerangka teori ini, secara sederhana berarti bahwa administrasi Pemasyarakatan mengacu pada aspek organisasi dan manajemen yang memfasilitasi proses perlakuan (treatment) kepada tahanan, narapidana dan klien. Dalam hal ini, aspek administrasi adalah pendukung. core business (sistem) Pemasyarakatan. Format dan proses administrasi yang akan dibentuk idealnya mampu memfasilitasi dengan baik proses pembinaan, perawatan, dan pembimbingan.
Hal yang menegaskan perlakuan narapidana dalam pemasyarakatan yang mengedepankan hak asasi manusia yaitu dalam 10 prinsip pemasyarakatan,berikut prinsip pemasyarakatan :
1. Â Ayomi dan berikan bekal agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai wargamasyarakat yang baik dan berguna.
2. Â Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh Negara.
3. Â Berikan bimbingan bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat.
4. Â Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada terpidana tidak boleh bersifat sekedar pengisi  waktu juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan Negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan dimasyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.
7. Bimbingan dan dididkan yang diberikan kepada terpidana dan anak didik harus berdasarkan pancasila.
8. Terpidana dan anak didik sebagai oang yang tersesat adalah manusia dan meraka harus  diperlakukan sebagai manusia, martabat dan harkatnya sebagai manusia harus di hormati.
9. Terpidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialami.
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif,korektif dan edukatif sistem pemasarakatan.
Terlepas dari prinsip pemasyarakatan ,Dr.Sahardjo(almarhum) beliau mengatakan pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara dan kalau kita mengkaji apa yang oleh beliau maksudkan sebagai pemasyarakatan ,maka pemasyarakatan merupakan pengungkapan yang sama dengan resosialisasi atau rehabilitasi,yaitu dalam pemusatan perhatian pembinaan lebih terletak pada individu pelanggar hukum secara ekslusif (khusus).
Pemusatan perhatian secara ekslusif terhadap pelanggar hukum mengandung pula unsur 'stigmatisasi' (peng-cap-an) ,karena dengan demikian pelanggar hukum yang bersangkutan dianggap mempunyai kelainan-kelainan pada manusia biasa.Stigma tersebut merupakan tantmasyarakat.Tantangan yang harus di lakukan adalah menetralisir stigma dari masyarakat,maka dari itu dalam pembinaan harus melibatkan masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa perlakuan terhadap narapidana pada pemasyarakatan adalah mengedepankan Hak Asasi Manusia (HAM) yang bertujuan untuk reintegrasi hidup, kehidupan dan penghidupan antara narapidana  dan andikpas dengan masyarakat. Yang dimaksud dengan reintegrasi adalah pemulihan atau memulihkan kesatuanhubungan yang telah retak antara narapidadana dan andikpas dengan masyarakat.Â
Reintegrasi dapat diwujudkan dengan melibatkan tiga unsur yakni narapidana & andikpas, petugas pas dan masyarakat di luar lapas dalam arti luas.Berbeda dengan Kepenjaraan yang mengedepankan penjeraan agar manusia takut melakukan kejahatan dan yang melakukan kejahatan memdapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang mereka perbuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H