Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tikus yang Mati Kekenyangan

2 Februari 2024   10:01 Diperbarui: 2 Februari 2024   21:21 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah kisah kami, para tikus yang tinggal di atap-atap rumah.

Nama panggilan yang paling sering kami dengar dari manusia adalah tikus sialan, tikus tak tahu diri, tikus rakus, tikus serakah, dan tikus nakal.

Kami memang mengakui kalau begitu sialannya kami karena memakan makanan manusia, sembako persediaan mereka, hingga perabotan. Kami sudah kebal dengan makian manusia terhadap itu karena kami juga makhluk hidup yang butuh makan, bukan?

Sebenarnya kami juga tidak berniat untuk hidup sebagai hewan yang merugikan makhluk lain, yang membawa penyakit, menjijikan, dan rakus. Tetapi kehidupan dan takdir inilah yang memaksa kami menjalaninya.

Namun, dari sekian sifat buruk kami, ada satu tikus yang lebih buruk sifatnya dan lebih pantas dicaci maki seumur hidupnya.

Suatu malam di musim hujan, dia datang dengan penuh kesombongan ke atap rumah tempat tinggal kami.

"Kalian tinggal di sini selama ini?" tanyanya sambil mencicit. Kami pun menjawab bahwa kami tinggal di atap rumah ini sejak lahir.

"Malang sekali hidup kalian. Padahal kita sesama tikus, tetapi aku bernasib baik karena bisa tinggal di tempat yang lebih layak daripada kalian. Hahaha." Tawa tikus itu menggema di atap. Kami pun bertanya di mana ia tinggal.

"Aku tinggal di rumah mewah. Apa kalian mau ikut tinggal bersamaku?"

Kami tidak langsung percaya karena dia adalah tikus baru bagi kami, bahkan baru kenal beberapa menit yang lalu. Bisa saja dia justru akan membuang kami di suatu tempat, atau menyuruh kami mencari makanan sedangkan dia tinggal tidur-tiduran di atap rumah mewah itu.

"Makanan di sana lebih enak, lebih bersih, lebih bervariasi setiap harinya! Bahkan rasa kayu perabotannya lebih enak, walaupun lebih susah dicerna. Kalian harus punya gigi yang kuat dan mulut yang siap mengunyah kayu itu. Kalian tahu sendiri, perabotan mahal pasti diciptakan untuk tidak mudah dimakan oleh bangsa kita, hahaha. Tetapi kabar baiknya, kita tidak akan bersaing dengan bangsa rayap untuk menikmati remah-remah kayu itu," jelas si tikus dengan dada yang membusung.

Kami tidak peduli dengan seluruh penjelasan persuasif yang dia bicarakan. Apa gunanya makanan enak, bersih, bervariasi, dan kayu yang mahal? Kami tidak hidup untuk itu. Kami hidup untuk menjadi makhluk kotor, di mana makanan kotor pun akan terasa nikmat di lidah dan lambung kami.

"Ah, jadi kalian tidak mau?" tanyanya meyakinkan sekali lagi.

Penampilannya yang bersih dan rapi menunjukkan bahwa dia tikus yang dirawat, atau bahkan dipelihara dengan baik? Ah, yang pasti dia beda dari kami. Bukan termasuk kalangan kami yang kotor, menjijikan, tak pernah mandi, dan kumal meski dilihat dari sisi manapun.

Tetapi, kami tetap jengkel dengan gayanya yang sok kaya, paling bahagia dan berkuasa. Kami pun serentak menggelengkan kepala dan menyuruhnya segera pergi dari atap rumah ini.

"Kalian akan menyesal!" teriaknya marah sambil meloncat turun dari atap dan segera berlari sambil mencicit.

**

Esok harinya, kami bangun dan kaget karena tak melihat satu ekorpun anak-anak kami. Tidak seperti biasanya mereka bermain dan menghilang di pagi menjelang siang hari seperti ini. 

Kami pun panik dan sibuk mencari ke sana kemari. Kami sampai mengunjungi kawanan tikus got, masuk ke saluran pembuangan air, barangkali mereka tersesat. Kami juga mencari ke sawah-sawah milik petani. Barangkali mereka bosan bermain di rumah dan ingin mencoba berlarian di sawah atau memakan padi. Tetapi, hasilnya nihil.

Kami pun berlarian pulang saat gelap telah menjemput. Ketika kami melewati sebuah rumah mewah, muncul segerombol anak-anak kami berlarian mendekat dan menahan kami. Akhirnya kami berkumpul di selokan depan rumah itu. Ternyata anak-anak kami seharian ini bermain di rumah mewah itu. Bukan hanya di atap, mereka leluasa bermain ke setiap sudut di rumah itu dan memakan hidangan mewah. Astaga! Kami para tikus tua pun tak habis pikir dan menjitak kepala mereka satu per satu.

"Pokoknya ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, adik, dan bayi-bayi kita harus mencoba tinggal di sana, seperti yang ditawarkan Bapak Tikus Yang Terhormat itu!" ujar anak-anak.

Sepertinya mereka sudah dicuci otaknya oleh si tikus sok kaya itu, karena sampai menyebut Bapak Tikus Yang Terhormat? Astaga. Kami kembali mengelus dada mencoba meredam emosi.

"Ayo kita bermalam di rumah mewah ini!" teriak anak-anak sambil menyeret kami untuk masuk ke rumah mewah yang besarnya hampir tiga kali lipat dari rumah yang biasa kami tinggali.

Kami menelan ludah, mencoba menuruti anak-anak kami. Kami yakin rumah itu bisa saja adalah tipu daya semata. Kami tak mau mudah tergiur kenikmatan dan kemewahan karena kami tidak benar-benar membutuhkan itu. Kami masih hidup bahagia bahkan beranak pinak di tempat tinggal kami, apa lagi yang harus kami cari?

"Nah, ini kamar Bapak Tikus Yang Terhormat!" teriak anak-anak kami sambil memasuki sebuah kamar besar yang luasnya sepertiga dari rumah yang kami tinggali. Kami menangkap sosok si tikus sok kaya sedang mendengkur di atas kasur mewah yang spreinya terlihat begitu lembut dan hangat. Tikus itu pun terbangun mendengar anak-anak kami yang berisik.

"Wah ada tamu rupanya! Selamat datang para tikus udik yang sok suci. Hahaha."

Kami tak menggubris, justru menatapnya dengan mata yang kini lebih tajam dari mata kucing dan harimau.

"Kalian datang untuk membantuku memakan sesuatu yang lezat bukan?"

Anak-anak bersorak riang. Kami para tikus tua hanya bergeming, tidak tertarik.

"Ayo ikut!" Si tikus sok kaya beranjak dari kasur dan menuju ke lemari besar yang sudah berlubang di sudut kanan bawahnya.

"Lewat sini!" teriak si tikus sok kaya sambil masuk ke lubang. Anak-anak kami berloncatan riang mengikutinya. Sedangkan kami dengan malas terpaksa mengikutinya karena takut anak-anak kami celaka.

"Jangan kaget ya kalian!" teriak tikus sok kaya lagi di depan segepok uang tunai berwarna merah terang. Meski cahaya minim di dalam lemari itu, tetapi warna uang itu cukup terlihat dan membuat kami terbelalak.

"Kau menyuruh kami memakan uang ini?" tanya salah satu dari kami, si kakek tikus yang membawa tongkat ke mana-mana.

"Iya. Kau masih punya gigi bukan? Hahaha," jawab si tikus sok kaya sambil tertawa. Kami terdiam.

"Ayo kita lahap sampai habis!" ajaknya bersemangat.

"Tetapi uang bukan untuk dimakan!" sanggah salah satu dari kami, si nenek tikus yang sudah beruban.

"Hahaha, jangan naif! Apakah kayu, perabot, sampai buku-buku itu untuk dimakan? Tidak juga bukan? Apalagi jika kalian melihat dari pandangan manusia! Bagi bangsa seperti kita apa saja bisa dimakan! Bukankah dalam ilmu biologi kita diciptakan sebagai makhluk omnivora?"

Kami pun terdiam sejenak, lalu serentak menjawab, "Uang ini bukan hak kita!"

"Kalian pikir semua yang kalian makan di rumah itu adalah hak kalian?"

"Tentu saja! Kami ditakdirkan memakan itu untuk bertahan hidup!"

"Baiklah. Begitupun uang ini, anggap saja takdir kalian!"

 "Kalau kita makan uang itu, apa bedanya kita dengan manusia?"

"Manusia tidak makan uang!"

"Kau pasti terlalu sibuk makan uang dan berfoya-foya sampai tak sadar bahwa banyak manusia yang makan uang juga! Uang yang bukan haknya pula."

"Ah, kalian ini malah membandingkan diri dengan para manusia tak tahu diuntung itu!"

"Nah, apa bedanya kita dengan mereka jika sama-sama makan uang? Makanlah apapun yang dianggap wajar bagi bangsa tikus seperti kita ini!"

"Sudahlah, biar aku yang makan semua uang ini! Kalian mau coba wahai anak-anak tikus yang lucu dan menggemaskan?"

Anak-anak kami telah sepenuhnya membeku mendengar perdebatan kami para tikus tua dengan si tikus sok kaya. Ketakutan tergambar jelas dari raut wajah dan gemetarnya tubuh mereka, apalagi melihat mata si tikus sok kaya yang memerah.

Kami pun menyaksikan si tikus sok kaya itu memakan uang dengan lahap tanpa bersisa. Kami hanya menelan ludah. Sekejap saja, si tikus sok kaya itu sudah membuncit perutnya.

Kemeja dan setelan jas yang tadinya rapi menjadi sobek karena badannya yang membengkak kekenyangan. Ia pun tergeletak di sudut lemari, tersenyum sinis sambil membenarkan kerah jas dan dasi bergaris yang ia pakai sejak pertama kali bertemu kami. Ia mati kekenyangan dan terlilit dasinya sendiri.

Kami bersyukur karena meskipun cacian manusia selalu kami terima, setidaknya kami tidak ada di headline berita tentang korupsi, penggelapan dana, dan penyuapan. Kami tidak dipenjara, dan yang terpenting, kami tidak mati kekenyangan karena melahap uang demi memenuhi keserakahan dan kepentingan kami sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun