"Kau pasti terlalu sibuk makan uang dan berfoya-foya sampai tak sadar bahwa banyak manusia yang makan uang juga! Uang yang bukan haknya pula."
"Ah, kalian ini malah membandingkan diri dengan para manusia tak tahu diuntung itu!"
"Nah, apa bedanya kita dengan mereka jika sama-sama makan uang? Makanlah apapun yang dianggap wajar bagi bangsa tikus seperti kita ini!"
"Sudahlah, biar aku yang makan semua uang ini! Kalian mau coba wahai anak-anak tikus yang lucu dan menggemaskan?"
Anak-anak kami telah sepenuhnya membeku mendengar perdebatan kami para tikus tua dengan si tikus sok kaya. Ketakutan tergambar jelas dari raut wajah dan gemetarnya tubuh mereka, apalagi melihat mata si tikus sok kaya yang memerah.
Kami pun menyaksikan si tikus sok kaya itu memakan uang dengan lahap tanpa bersisa. Kami hanya menelan ludah. Sekejap saja, si tikus sok kaya itu sudah membuncit perutnya.
Kemeja dan setelan jas yang tadinya rapi menjadi sobek karena badannya yang membengkak kekenyangan. Ia pun tergeletak di sudut lemari, tersenyum sinis sambil membenarkan kerah jas dan dasi bergaris yang ia pakai sejak pertama kali bertemu kami. Ia mati kekenyangan dan terlilit dasinya sendiri.
Kami bersyukur karena meskipun cacian manusia selalu kami terima, setidaknya kami tidak ada di headline berita tentang korupsi, penggelapan dana, dan penyuapan. Kami tidak dipenjara, dan yang terpenting, kami tidak mati kekenyangan karena melahap uang demi memenuhi keserakahan dan kepentingan kami sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H