Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate, Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Menyendok Sisa Tawa dalam Sepiring Kesepian

22 Januari 2024   11:42 Diperbarui: 7 Maret 2024   00:44 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempe goreng dan sambal terasi tak bersisa di meja makan. Sayur lodeh masih tersisa beberapa sendok, nasi juga menyisakan beberapa centong lagi. Ada tambahan menu spesial, seperti ikan gurame goreng, sate ayam, dan es buah. Meja makan itu penuh, begitu pula isi perut sekeluarga itu.

Sesekali derai tawa mereka mengusik para cicak yang sedang mencari mangsa. Piring dan sendok di hadapan mereka ikut mendengarkan celotehan Soleh mengenai masa mudanya, awal mula bertemu Warsini, juga masa kecil Santi dan Robi. 

Meski cerita itu diulang-ulang entah berapa kali, tetapi istri dan anaknya masih bisa tertawa lepas seolah itu baru diceritakan satu kali. Hingga tiba di pembahasan masa kecil anak bungsu Soleh yang membuat sekeluarga itu tersedak.

"Ela sudah meninggal ya? Kenapa aku sampai lupa hal seperti itu? Rasanya, Ela masih ada, makan cumi asam pedas sampai nasi satu bakul dia habiskan semua," Soleh berkata sambil mengernyitkan dahinya yang sudah keriput. Garis wajah dan rahangnya nampak sekali melukiskan kesepian dan kerinduan, ditinggal putri bungsu yang sangat dikasihinya.

Hening. Tak sadar air mata dari empat pasang mata di ruang makan itu akhirnya jatuh. Sekeluarga itupun gagal menjaga pipi mereka tetap kering, setidaknya di hari perayaan ulang tahun Soleh. 

Nasi di piring mereka sudah mulai habis. Warsini, Santi, dan Robi tak berbicara, larut dalam perasaan duka masing-masing. Kesedihan itu membuat mereka menyendok sisa nasi, sekaligus sisa tawa yang masih sempat berderai beberapa menit lalu. 

Di sepiring kesepian yang menjalari meja makan, harapan-harapan mengudara mencari pegangan. Tak bisa dipungkiri, mereka berempat ingin berbagi tawa dengan Ela, agar suapan-suapan kesepian di piring itu tandas tak bersisa.

"Kasihan sekali cumi asam pedas itu. Hanya anak bungsuku yang senang dan beruntung dapat menikmati hidangan selezat itu."

Hening beberapa saat. Lalu Soleh berkata lagi.

"Bapak akan makan ini, supaya ketika Ela pulang, kami bisa memakannya bersama-sama. Ayo, kalian juga!" suruh Soleh kepada istri dan kedua anaknya.

Warsini terpaksa membagi sama rata hidangan cumi asam pedas itu ke empat piring. Ia dan kedua anaknya hanya memandangi cumi itu. Warsini akan mual jika memakannya. Sedangkan Santi dan Robi tidak akan bisa makan kecuali gatal-gatal akan terasa di sekujur tubuh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun