Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate, Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gaun Kuning Milik Rosemary

15 Desember 2023   20:21 Diperbarui: 15 Desember 2023   20:33 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: unsplash.com/TeoSticea

Wanita itu menari di tengah hujan, di antara makam-makam. Ia membiarkan dirinya basah bersama seluruh air matanya. Gaun selutut berwarna kuning cerah melekat di tubuhnya. Sebagian besar gaun itu berubah warna menjadi merah kehitaman, terutama di bagian punggung. Di bagian pinggangnya, terdapat renda yang dilengkapi jahitan dari benang berwarna emas bertuliskan "Rosemary".

**

"Kamu yakin nggak mau kerja di perusahaan ibu saja? Aku ada posisi kosong untukmu."

Aku menggeleng dan tersenyum. "Jangankan kerja di perusahaan ibu, Kak. Tinggal bersama ibu saja aku tidak mau. Aku pasti bisa tetap hidup dengan pekerjaan serabutanku yang sekarang. Yang penting mental dan hatiku aman dari caci maki ibu."

Kak Sella diam, menatapku tajam. Raut mukanya yang garang dengan alis tebal pasti akan memberi kesan galak bagi orang yang belum mengenalnya. Namun nada bicaranya setiap berhadapan denganku penuh kelembutan dan kasih sayang. Dia tidak seperti saudara tiri yang dibicarakan di film dan buku cerita. Dia sudah seperti kakak kandungku sendiri. Umur kami yang hanya terpaut satu tahun membuat kami begitu akrab. 

Sepeninggal ayah kandungku karena sakit, aku memutuskan tinggal terpisah dengan keluarga tiriku demi menjaga kewarasanku. Ibu tiriku layaknya tokoh ibu di film Cinderella ataupun di cerita rakyat Bawang Merah Bawang Putih yang ditayangkan di televisi. Untungnya, hubunganku dengan Kak Sella lebih dari baik. Hanya saja, hubungan kami merenggang setelah tinggal terpisah dan disibukkan dengan pekerjaan. Kini kami bertemu lagi, namun dia justru menawariku pekerjaan yang sudah jelas akan kutolak.

Kak Sella menyeruput teh chamomile hangatnya sampai tandas.

"Besok ikut aku ke bank ya. Ada hadiah untukmu," ujar Kak Sella menutup perjumpaan.

**

Kak Sella menyetor uang tunai ke rekening baru atas namaku. Nominalnya mencapai angka tiga digit.

"Hadiah dalam rangka apa, Kak?" tanyaku sepulang dari bank, di perjalanan menuju ke mall di pusat kota.

"Ulang tahunmu."

"Masih satu bulan lagi."

"Rezeki nggak boleh ditolak."

Aku mengatupkan bibir, mengalah untuk tidak mengulik alasan pemberian uang sebanyak itu. Benar kata Kak Sella, ini rezeki. Lumayan bisa untuk berbelanja sebagai self reward selama dua puluh lima tahun aku hidup dan tidak pernah memanjakan diriku sendiri. Seumur hidupku tabunganku tidak pernah sekalipun menyentuh angka sebanyak itu.

"Sekarang kita beli apapun yang kamu mau dulu, setelah itu traktir aku!" seru Kak Sella.

Aku melirik sepatuku yang sudah lusuh. Kak Sella mengikuti arah pandangku. Kami pun masuk ke toko sepatu. Sepasang sepatu seharga lima juta berhasil kukantongi. Lalu, aku melirik pergelangan tanganku. Tidak ada perhiasan apapun. Kak Sella menepuk bahuku dua kali lalu menyuruhku mengekorinya menuju toko perhiasan. Aku membeli jam tangan seharga dua puluh lima juta, cincin berlian seharga tujuh juta, dan gelang emas seharga dua juta. 

Aku menelan ludah sejenak. Selama ini aku tahu bahwa barang-barang yang kubeli ini memang mahal. Tetapi aku tak pernah membayangkan atau menaksir berapa harganya. Ternyata setelah kubeli, itu sangat jauh di luar jangkauan ekonomiku selama ini. Namun, kini aku bisa membelinya bahkan tanpa berpikir dua kali. Padahal biasanya untuk membeli sepatu seharga lima ratus ribu dan kemeja seharga dua ratus ribu saja aku berpikir ribuan kali di siang dan malam, lalu berakhir pada keputusan tidak jadi membelinya.

Dari siang hingga malam memutari mall, membuatku dan Kak Sella kelelahan. Kami pun istirahat dan makan malam di restoran jepang yang bisa menghabiskan satu juta untuk makan dua orang. Aku merasa tak mau buang air besar setelah makan di situ, saking enak dan mahalnya. Setelah makan, aku menepuk pipi, dahi, dan semua bagian tubuhku. Sakit. Aku tidak bermimpi.

"Ayo pilihkan gaun untukku!" ajak Kak Sella.

Kami melangkah menuju suatu butik gaun mahal. Gemerlap gaun-gaun kelas atas dengan  detail yang mewah dan elegan memanjakan mata para wanita seusia kami.

"Mana?" tanya Kak Sella sambil tersenyum.

Aku menatap sekeliling, mencari gaun paling indah. Mataku terpaku pada gaun lengan pendek berwarna kuning dengan renda emas di bagian pinggangnya dan panjangnya selutut. Bahannya dari kain satin yang memberi sentuhan elegan dan berkilau. Detail rendanya menambah nuansa indah dan cantik.

"Ini, Kak," kataku menunjuk gaun kuning itu.

Kak Sella masuk ke fitting room.

"Cantik sekali!" pujiku dengan mata berbinar saat Kak Sella keluar dari fitting room.

Dia melempar senyum secerah warna gaun yang dipakainya, kemudian berbicara agak berbisik dengan pelayan toko. Aku hanya memperhatikan dari jauh dan tidak mendengar obrolan mereka.

"Aku request sesuatu untuk gaun itu. Kita tunggu sebentar ya," ujar Kak Sella setelah selesai berbicara dengan pelayan toko. Aku mengangguk, tak bertanya lebih jauh.

"Kamu mau beli gaun juga? Barangkali kamu akan membutuhkannya jika ada pertemuan penting juga sepertiku."

"Nggak, Kak. Aku belum ada pertemuan penting dalam waktu dekat ini."
"Syukurlah, kamu berarti berniat untuk hidup lebih lama."

"Maksud Kakak?"

Kak Sella hanya tersenyum. Kami pun diam sampai gaun kuning tadi sudah siap dibawa pulang.

"Jadi traktir kan?"

Aku bergegas ke kasir. Aku memberikan gaun itu ke Kak Sella setelah berada di dalam mobil.

"Kakak ada pertemuan penting apa?"

Kak Sella bergumam panjang dan menghela napas. "Aku akan bertemu maut. Dia tak kunjung menemuiku padahal aku menantikannya." Kak Sella tertawa. Aku tersentak.
"Kamu, bertahanlah lebih lama. Setidaknya hiduplah, meski kamu mungkin akan sedikit gila." Kak Sella tertawa lagi.

Aku menelan ludah. Rasa takut merayapi seluruh tubuhku. Tetapi tidak ada yang bisa kulakukan. Aku berusaha menganggap semua itu candaan, karena Kak Sella tertawa lepas setelah mengatakan kalimat-kalimat menakutkan itu.

"Malam ini aku tidur di kamarmu, ya. Toh ibu sedang ke luar kota."

Aku mengangguk.

"Temani aku minum bir."

Aku tersentak, melirik sekilas ke arah Kak Sella yang sudah memegang sebotol bir.

**

Sinar matahari pagi mengintip di balik tirai jendela kamarku. Aku terbangun dengan kondisi kamar penuh barang-barang branded. Aku benar-benar membeli semua ini kemarin, bukan mimpi, dan bukan sulap. Kepalaku pusing dan segera aku melihat ke sekeliling dan merasakan ada sesuatu di telapak tangan. Sebuah pisau dan lumuran darah! Tetes-tetes darah ada di kasurku dan kulihat jejaknya sampai ke bawah kasur. Astaga! Kak Sella tergeletak di atas kubangan darahnya sendiri. Lehernya terluka pisau dan ia mengenakan gaun kuning yang semalam dibelinya. Ada jahitan tulisan Rosemary dari benang berwarna emas di bagian pinggangnya. Wajah dan tubuhnya pucat pasi, kaku, dan dingin. Aku berteriak hingga suaraku menghilang. Tubuhku sepenuhnya terguncang. Tak terasa air mataku pun menetes saat kulihat secarik kertas di tangan kanan Kak Sella.

"Untuk Rosemary yang lugu, pakailah gaun ini di hari pemakamanku. Jangan lupa untuk tetap hidup, meskipun kau gila." - Rosella.

Belum sempat aku memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, masuklah ibu tiriku bersama aparat berseragam ke dalam kamar. Aku makin bergetar. Ibu tiriku berteriak histeris dan pingsan. Borgol mendarat di kedua tanganku yang lemas.

"Anda akan diinterogasi atas dugaan kasus pembunuhan dan pencurian uang perusahaan yang ditimbun di rekening atas nama Anda," kata salah seorang polisi yang memborgol tanganku.

"Tolong izinkan saya ganti baju dengan gaun itu dulu," ucapku pelan, sangat pelan hingga seperti berbisik.

Hingga detik itu, aku masih tidak mengerti apa tujuan Kak Sella menempatkanku pada situasi seperti ini. Pada detik terakhir sebelum aku benar-benar tidak waras, aku tidak tahu, siapa lagi yang bisa kupercaya jika Kak Sella sebagai orang yang paling kupercaya telah menjadikanku pencuri sekaligus pembunuh.

**

Wanita bergaun kuning yang menari di makam itu adalah aku. Rosemary namaku. Tetapi namaku akan berubah sejak anak-anak yang bermain hujan di jalan seberang pemakaman meneriakiku, "Orang gila!"

Ya, aku tetap hidup, meski gila.

Gaun kuning ini menjadi saksi tentang wanita yang memakainya. Entah yang telah mati, atau yang hanya beruntung masih hidup meski jiwanya mati. Ah, aku bahkan tidak tahu apakah hidup menjadi orang gila adalah suatu keberuntungan. Gaun kuning ini jadi satu-satunya harta yang berharga untukku saat diriku sendiri saja sudah tidak ada harganya lagi. Aku telah kehilangan segala kepercayaanku pada orang lain. Jangankan percaya pada orang lain, percaya pada diriku sendiri saja aku tidak mampu. Semesta pun pasti mengasihaniku dan Kak Sella, sebagai wanita bergaun kuning yang berakhir mengenaskan.

**

#cerpenbebas

#pulpen

#sayembarapulpenx

Rani Febrina Putri. Sedang terjun bebas ke dunia cerpen dan puisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun