"Jadi traktir kan?"
Aku bergegas ke kasir. Aku memberikan gaun itu ke Kak Sella setelah berada di dalam mobil.
"Kakak ada pertemuan penting apa?"
Kak Sella bergumam panjang dan menghela napas. "Aku akan bertemu maut. Dia tak kunjung menemuiku padahal aku menantikannya." Kak Sella tertawa. Aku tersentak.
"Kamu, bertahanlah lebih lama. Setidaknya hiduplah, meski kamu mungkin akan sedikit gila." Kak Sella tertawa lagi.
Aku menelan ludah. Rasa takut merayapi seluruh tubuhku. Tetapi tidak ada yang bisa kulakukan. Aku berusaha menganggap semua itu candaan, karena Kak Sella tertawa lepas setelah mengatakan kalimat-kalimat menakutkan itu.
"Malam ini aku tidur di kamarmu, ya. Toh ibu sedang ke luar kota."
Aku mengangguk.
"Temani aku minum bir."
Aku tersentak, melirik sekilas ke arah Kak Sella yang sudah memegang sebotol bir.
**
Sinar matahari pagi mengintip di balik tirai jendela kamarku. Aku terbangun dengan kondisi kamar penuh barang-barang branded. Aku benar-benar membeli semua ini kemarin, bukan mimpi, dan bukan sulap. Kepalaku pusing dan segera aku melihat ke sekeliling dan merasakan ada sesuatu di telapak tangan. Sebuah pisau dan lumuran darah! Tetes-tetes darah ada di kasurku dan kulihat jejaknya sampai ke bawah kasur. Astaga! Kak Sella tergeletak di atas kubangan darahnya sendiri. Lehernya terluka pisau dan ia mengenakan gaun kuning yang semalam dibelinya. Ada jahitan tulisan Rosemary dari benang berwarna emas di bagian pinggangnya. Wajah dan tubuhnya pucat pasi, kaku, dan dingin. Aku berteriak hingga suaraku menghilang. Tubuhku sepenuhnya terguncang. Tak terasa air mataku pun menetes saat kulihat secarik kertas di tangan kanan Kak Sella.