Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seperti Langit dan Romansa di Bawahnya

29 Agustus 2023   08:26 Diperbarui: 29 Agustus 2023   08:30 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi buta dengan suhu udara minus delapan belas derajat. Aku masih mendekap gelap, mendengar sayup-sayup suara azan subuh saling bersahutan. Hari ini aku akan menemani Nunah, gadis remaja tujuh belas tahun. Ia masih menekuk tubuhnya, memeluk lutut di balik selimut tebal. Salah satu kelemahan terbesarnya adalah sulit bangun pagi. Dia punya satu kelebihan yang dapat dipasangkan dengan kelemahannya itu. Mempunyai Bapak yang akan membangunkannya dengan tegas sekaligus lembut. Tidak hanya itu, Bapak adalah sosok ayah paling romantis dalam segala hal. Sulit dideskripsikan. Tetapi yang pasti, aku ingin memiliki Bapak juga dengan segala kesederhanaannya yang memperkaya. Oleh karena itu, pada cerita ini, aku akan memanggil Bapak milik Nunah, dengan sebutan 'Bapak' juga.

            Bapak berhasil membangunkan Nunah. Tak lupa Bapak menyetel murotal dzikir pagi untuk menemani aktivitas yang sibuk di rumah itu. Nunah tergopoh sambil mengenakan kerudungnya, menuju meja makan. Bapak sudah siap dengan sepiring nasi disiram sup ayam dan dua potong tempe goreng. Segelas air putih hangat tak lupa menemani menu sarapan Bapak pagi itu. Dengan seragam SMA yang dikenakan Nunah dan roknya yang mulai menyempit di bagian pinggang, ia melahap sarapannya bersama Bapak.

"Ini bekal makan siangnya. Air minumnya sudah kan?" tanya Bapak sambil menyodorkan kotak bekal berwarna ungu di hadapan Nunah yang masih mengunyah. Nunah hanya mengangguk, fokus pada makanannya.

Pukul setengah tujuh mereka berangkat. Nunah sekolah dan Bapak ke kantor. Akupun sudah melepas kegelapan pagi buta, menggantinya dengan biru muda yang menenangkan. Matahari sigap di dekatku, menemaniku yang sedang menemani Nunah. Sepertinya matahari ikut mengamati Nunah sampai saatnya nanti ia akan tenggelam.

Nunah dan Bapak bersama-sama membelah pagi yang biru dengan hiruk pikuk keramaian orang yang berlomba untuk tiba di tempat tujuan masing-masing.

"Nggak ada yang ketinggalan kan, Nun?" tanya Bapak setengah berteriak mencoba mengalahkan suara deru kendaraan.

"Hmm, aman, Pak."

"Baju olahraga, air minum, bekal makan siang, buku catatan sejarah, buku latihan soal matematika, tempat pensil, penggaris, sudah?"

"Aman." jawab Nunah sambil tersenyum meskipun Bapak tak melihatnya.

"Manis sekali senyum anak Bapak."

Nunah refleks melihat ke arah kaca spion kiri. Ternyata Bapak melihatnya dari situ. Ia tertawa kecil. Bapak menoleh sedikit, mencoba menunjukkan wajahnya ke Nunah meski agak sulit karena helm yang dikenakannya.

"Kenapa, Pak?" tanya Nunah memastikan jika Bapak ingin berkata sesuatu.

Bapak hanya tersenyum. Itu yang Nunah tahu. Ia hanya melihat sudut bibir Bapak yang melengkung. Nunah kembali tersenyum, hatinya menghangat. Begitupun aku. Melihatnya seperti itu, menghangatkanku juga. Matahari bahkan sempat iri, bukan dia yang membuat Nunah sebahagia itu. Padahal ia sudah berusaha menyibak awan supaya dingin pun berlalu, berganti dengan kehangatan sinarnya. Namun ternyata, Bapak bisa melengkapi kehangatan yang dibutuhkan Nunah, melebihi kehangatan dari matahari.

            Siang yang terik telah bergulir. Senja yang hangat mengantarkan Bapak untuk menjemput Nunah pulang sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler yang padat mengakibatkan Nunah pulang sesore itu. Bapak dengan hati lapangnya hanya bisa memaklumi. Justru Bapak terlihat gusar melihat raut muka dan bahasa tubuh Nunah yang kelelahan. Sepertinya Bapak sedang memutar otak untuk menaikkan mood anaknya lagi.

            Nunah tersenyum sambil menaiki motor Bapak. Helm sudah terpasang di kepalanya, dipasangkan Bapak tentunya. Buku-buku di tangan kiri dan kotak bekal makan siang di tangan kanan membuat Nunah tak bisa mengenakan helmnya sendiri.

            "Ayo beli es krim." ajak Bapak setibanya mereka di parkiran minimarket.

            Mata Nunah langsung berbinar. Indahnya mengalahkan jingga senja. Sinarnya mampu mengaburkan semburat awan kelabu yang menggelantung di ufuk barat. Beberapa menit kemudian, mereka keluar dari pintu minimarket. Kini tangan Bapak yang penuh oleh barang-barang Nunah. Sedangkan Nunah memegang es krim cone kesukaannya di tangan kanan. Tangan kirinya menggandeng lengan Bapak dengan erat, seperti akan ada yang merebut Bapak darinya. Ah, mungkin dia sedang mencurigaiku. Takut aku akan menculik Bapak.

            Senja berakhir. Aku berubah lagi dari semu oranye kemerahan menjadi gelap memikat malam. Kali ini bukan bulan dan bintang yang menemaniku, sayang sekali. Tetapi, aku tidak terlalu bersedih karena melihat Nunah dan Bapak yang tetap melengkungkan senyum mereka. Hujan turun, menemaniku menggantikan bulan dan bintang yang absen malam ini. Nunah dan Bapak menyukai hujan. Bapak jelas menyukainya karena saat hujanlah waktu terkabulnya do'a. Sedangkan Nunah, mungkin ia menyukai hujan karena saat itulah ia bisa menikmati mie instan kuah yang pedas buatan Bapak. Lengkap dengan telur dan sayuran tentunya.

            "Nunah ada tugas matematika, Pak." ujarnya saat melihat Bapak merebus air untuk memasak mie instan.

            "Iya, dikerjakan. Setelah itu, kita makan."

            "Yeay!" Nunah kegirangan. Bersemangat segera menyelesaikan lima soal mengenai trigonometri dalam waktu beberapa menit. Ia menutup buku tepat ketika aroma khas mie kuah buatan Bapak menyeruak ke hidung. Saking lezatnya, aroma itu sampai bisa kucium juga.

            Makan malam berakhir. Waktu terus merayap mengiringi bunga tidur Nunah sampai ia terbangun di jam tiga pagi. Semburat cahaya lampu ruang tengah memasuki ventilasi kamarnya. Ia langsung tahu bahwa Bapak sudah bangun juga.

            "Bapak kerja?" tanya Nunah dengan suara seraknya.

            "Eh kamu sudah bangun. Ini ada beberapa pekerjaan tapi sudah selesai." jawab Bapak sambil membereskan meja kerjanya dan menuju ke keran tempat berwudhu. Nunah mengucek kedua matanya, kemudian menyusul Bapak. Tumben sekali dia bangun sepagi itu, padahal biasanya salat subuh saja kesiangan.

            Bapak membentangkan sajadah untuknya, dan untuk putri kesayangannya. Nunah tersentuh kembali. Di momen istimewa yang akan membawanya berdialog dengan Allah di sepertiga malam itu, Bapak tidak hanya mendo'akan Nunah, tetapi juga mengajaknya berdo'a bersama. Aku kembali iri. Tetapi bulan dan bintang muncul menghiburku. Sedangkan hujan sedang beristirahat, mungkin akan turun lagi besok malam.

            Cukup melelahkan memang menemani Nunah hari ini. Karena banyak sekali momen penting yang bahkan belum sempat aku ceritakan dalam tulisan ini. Entah Nunah yang terlalu menghargai momen bersama Bapak sekecil dan sesederhana apapun itu, atau Bapak yang terlalu banyak meninggalkan jejak kenangan-kenangan yang sangat tidak mungkin dilupakan putri semata wayangnya yang cengeng dan manja itu.

Menemani Nunah menyusuri memori-memori bersama Bapak yang tak terlupakan di usianya yang ketujuh belas tahun itu hanyalah sebagian kebiasaanku. Masih ada memori di usia nol tahun sampai enam belas tahun yang harus Nunah telusuri, mau tidak mau, agar dia tetap bisa bertemu Bapak. Dan karena aku juga rindu Bapak, menemaninya menjelajah memori itu lambat laun menjadi kebiasaanku. Jika diminta untuk menyebutkan satu hal yang paling kuingat, itu adalah romantisme di antara Nunah dan Bapak. Meski aku hanya mengamatinya dari jauh, tetapi aku jatuh cinta pada keduanya. Banyak romansa yang terjadi di bawahku, tetapi tidak ada yang sesederhana keromantisan mereka berdua. Aku terus terlibat dalam perjalanan hidup mereka. Meski Bapak tidak lagi berada di alam yang sama dengan Nunah, tetapi aku tetap ada. Tetap menaungi Bapak, ataupun Nunah di manapun mereka berada.

"Tenang di sana ya, Pak." gumam Nunah dalam hati sambil menatapku.

Aku tersenyum tapi mungkin dia tidak mengetahuinya. Kusuruh bulan untuk mewakilkan senyumku. Nunah ikut tersenyum walaupun sambil menitikkan air mata. Kulihat Bapak juga tersenyum di alam lain. Aku merangkul Nunah meski dia tak bisa merasakannya. Kusiapkan diri untuk menyambutnya esok pagi dengan biru mudaku yang kuharap bisa menenangkannya.

Tentang Penulis

Lulusan dari universitas swasta di Yogyakarta. Lahir di Purbalingga, pada bulan Februari. Karyanya "Kesetiaan Doa" dalam buku antologi puisi Dermaga Kesetiaan (2018) dan "Patah Hati Paling Patah" dalam buku antologi puisi Bahana Patah (2019) dimuat bersama karya puluhan penulis lain. Menyukai dunia cerpen dan puisi. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca dan orang-orang yang ditemui.

#cerpeningatan

#pulpen

#sayembarapulpen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun