"Bapak kerja?" tanya Nunah dengan suara seraknya.
      "Eh kamu sudah bangun. Ini ada beberapa pekerjaan tapi sudah selesai." jawab Bapak sambil membereskan meja kerjanya dan menuju ke keran tempat berwudhu. Nunah mengucek kedua matanya, kemudian menyusul Bapak. Tumben sekali dia bangun sepagi itu, padahal biasanya salat subuh saja kesiangan.
      Bapak membentangkan sajadah untuknya, dan untuk putri kesayangannya. Nunah tersentuh kembali. Di momen istimewa yang akan membawanya berdialog dengan Allah di sepertiga malam itu, Bapak tidak hanya mendo'akan Nunah, tetapi juga mengajaknya berdo'a bersama. Aku kembali iri. Tetapi bulan dan bintang muncul menghiburku. Sedangkan hujan sedang beristirahat, mungkin akan turun lagi besok malam.
      Cukup melelahkan memang menemani Nunah hari ini. Karena banyak sekali momen penting yang bahkan belum sempat aku ceritakan dalam tulisan ini. Entah Nunah yang terlalu menghargai momen bersama Bapak sekecil dan sesederhana apapun itu, atau Bapak yang terlalu banyak meninggalkan jejak kenangan-kenangan yang sangat tidak mungkin dilupakan putri semata wayangnya yang cengeng dan manja itu.
Menemani Nunah menyusuri memori-memori bersama Bapak yang tak terlupakan di usianya yang ketujuh belas tahun itu hanyalah sebagian kebiasaanku. Masih ada memori di usia nol tahun sampai enam belas tahun yang harus Nunah telusuri, mau tidak mau, agar dia tetap bisa bertemu Bapak. Dan karena aku juga rindu Bapak, menemaninya menjelajah memori itu lambat laun menjadi kebiasaanku. Jika diminta untuk menyebutkan satu hal yang paling kuingat, itu adalah romantisme di antara Nunah dan Bapak. Meski aku hanya mengamatinya dari jauh, tetapi aku jatuh cinta pada keduanya. Banyak romansa yang terjadi di bawahku, tetapi tidak ada yang sesederhana keromantisan mereka berdua. Aku terus terlibat dalam perjalanan hidup mereka. Meski Bapak tidak lagi berada di alam yang sama dengan Nunah, tetapi aku tetap ada. Tetap menaungi Bapak, ataupun Nunah di manapun mereka berada.
"Tenang di sana ya, Pak." gumam Nunah dalam hati sambil menatapku.
Aku tersenyum tapi mungkin dia tidak mengetahuinya. Kusuruh bulan untuk mewakilkan senyumku. Nunah ikut tersenyum walaupun sambil menitikkan air mata. Kulihat Bapak juga tersenyum di alam lain. Aku merangkul Nunah meski dia tak bisa merasakannya. Kusiapkan diri untuk menyambutnya esok pagi dengan biru mudaku yang kuharap bisa menenangkannya.
Tentang Penulis
Lulusan dari universitas swasta di Yogyakarta. Lahir di Purbalingga, pada bulan Februari. Karyanya "Kesetiaan Doa" dalam buku antologi puisi Dermaga Kesetiaan (2018) dan "Patah Hati Paling Patah" dalam buku antologi puisi Bahana Patah (2019) dimuat bersama karya puluhan penulis lain. Menyukai dunia cerpen dan puisi. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca dan orang-orang yang ditemui.