"Ibu sudah meninggal, Kak." kata Tama tiba-tiba tanpa mengalihkan perhatiannya dari jendela.
Aku terkejut, namun separuh pikiranku seperti sudah menduga hal tersebut karena melihat raut wajah dan tatapan Tama.
"Ibu meninggal sesaat setelah kami bicara di telepon. Mendengar kabar itu, aku langsung ke toilet dan menangis di sana. Aku tidak percaya aku bisa menangis. Oh ya, aku yakin, Ibu suka sekali bakpia yang kakak berikan, bahkan sebelum ia mencicipinya." tambahnya.
Akhirnya aku tahu alasan dia ke toilet dan tak kunjung kembali hingga aku tertidur. Aku memberanikan diri menepuk pundaknya pelan, "Yang kuat, ya. Kamu pasti bisa melaluinya, walau nggak akan mudah untuk terbiasa merangkak di dunia yang keras ini tanpa kehadiran wanita paling berharga di dunia."
Aku ikut menatap jendela sambil menopang dagu.
"Kakak juga harus lebih kuat karena tidak sedang berada di posisiku." balasnya.
Aku diam sejenak, "Tentu saja," jawabku sambil tersenyum pada jendela dan panorama malam di baliknya.
Kudengar Ayahku dan Ayah Tama tertawa dengan guyonan mereka sendiri. Detik demi detik meloncat pasti dalam ruang waktu. Membawa kami pada dialog-dialog ringan. Tama ternyata mahasiswa baru, satu tingkat di bawahku yang mengenaliku karena aku pernah menjadi panitia ospek. Namun dia tidak tahu namaku, dan kubiarkan saja dia memanggilku Kakak Bakpia.
"Tapi kenapa Kakak tidak menghubungiku?"
"Oh bukan apa-apa. Aku hanya gengsi menghubungi duluan. Tapi nomormu sudah kusimpan." jawabku sambil tertawa.
Tidak terasa dialog-dialog ringan kami di dalam gerbong kereta ini ikut mengantarkan kami ke kota tujuan, Yogyakarta. Saat kereta berhenti, Ayahku dan Ayah Tama jalan lebih dulu. Aku dan Tama berhenti sejenak di samping gerbong saat kami sudah turun dari kereta. Orang-orang masih sibuk berjejalan menuju pintu keluar.