Melamun sebentar membuatku tak sadar bahwa laki-laki itu pergi.
"Ke mana dia?" gumamku dalam hati. Kulihat ibu paruh baya di sampingku masih tertidur menghadap jendela.
Aku memutuskan menyiapkan satu kotak bakpia dalam kantung plastik terpisah, kemudian menulis pesan di kertas kecil untuk kutaruh di kotak tersebut. Pesan itu berisi permintaan maaf dan perkenalan singkat bahwa kami satu universitas. 30 menit berlalu namun dia tak kunjung kembali. Aku menaruh bakpia itu di kursinya. Ah, aku baru ingat, dia mungkin sedang ke toilet. Tapi mengapa lama sekali? Aku mencoba tidur karena perjalanan masih cukup lama.
"Semoga saja Tama segera kembali dan dia mau menerima bakpianya." gumamku lirih.
Aku tertidur cukup lama hingga hampir tiba. Untung saja Ayah menelepon, menanyai posisiku di mana dan memastikanku untuk tidak tertidur. Aku turun di Stasiun Purwokerto, perkiraan tinggal 30 menit lagi akan sampai. Ibu paruh baya di sampingku sudah bangun, namun Tama tetap tidak kulihat batang hidungnya, sepertinya dia sudah kembali, membawa bakpianya, dan turun di stasiun tujuannya.
Aku bersiap karena sebentar lagi akan tiba di stasiun. Kuikat tali sepatuku yang terlepas, namun ketika akan mengikat tali sepatu sebelah kananku, itu masih terikat dengan rapi dan kudapati kertas kecil berwarna kuning cerah menempel di situ.
"Terima kasih banyak, Kak. Akan kusampaikan pada Ibu bahwa Kakak adalah orang baik dan tidak suka menguping. Nomorku ada di balik kertas ini, jika Kakak berkenan, hubungilah aku."
Aku tertawa kecil saat membacanya dan segera menyimpan nomor itu, lalu bergegas mengambil ransel dan mengecek barang-barangku.
***
Weekend berlalu, hari Sabtu dan Minggu bersama Ayah di kampung halaman sudah kulalui dengan penuh cerita. Kuberitahukan juga soal bakpia di kereta kala itu dan Ayah pun mengapresiasinya.Â
Siang ini, hari Senin, lalu lintas sedang sibuk-sibuknya. Deru kendaraan menemaniku dan Ayah dalam perjalanan menuju stasiun. Mendung tampak menggelayut. Awannya memayungi kotaku, siap menurunkan hujan lebat.