Butiran debu memenuhi seisi ruang kamarku yang gelap. Seberkas cahaya matahari mengintip dan menyelundup masuk melalui celah ventilasi jendela bergorden ungu muda. Sengaja tak kubuka gorden itu karena sinar matahari terlalu terang dan silau di siang bolong seperti ini.
Kubongkar seluruh kotak hadiah dengan beragam motif kertas yang membalutnya. Itu semua dari Lien, temanku sejak aku masih dalam gendongan ibuku. Kudapati pasfoto berseragam putih biru ukuran 3x4 di salah satu kotak yang berisi kain-kain perca berbagai motif.
“Akhirnya kamu menemukannya, Az.”
Aku menoleh dan mengangguk. Lien tersenyum di sampingku. Ia memakai jilbab merah muda lusuh yang menutupi dadanya. Gamis putih dengan sentuhan motif bunga lili merah membalut tubuhnya yang tinggi dan berisi. Tak lupa kaus kaki berwarna kulit menutupi telapak kaki hingga betisnya.
“Oh iya, aku mau menagih janjimu.”
“Janji apa?”
“Kamu akan memberiku pasfoto juga kepadaku jika kamu sudah cantik.”
Aku tertawa renyah, “Apa menurutmu sekarang aku sudah cantik?”
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, karena dari dulu juga aku bilang kalau kamu sudah cantik.”
“Hmm, baiklah. Tapi, ada syaratnya kalau kamu mau pasfotoku.”
“Apa?”
“Jangan menikah dulu!”
Kulihat raut wajahnya berubah. Ia tampak kesal, namun juga merasa bersalah.
Aku tertawa lagi, “Aku bercanda! Kamu sudah berpenghasilan dan menemukan tambatan hati. Aku juga sedang sibuk-sibuknya kuliah. Pada akhirnya kita punya jalan kita masing-masing.”
Lien tak membalas perkataanku sepatah katapun. Dia bangkit dan menarik lenganku, mengajakku keluar kamar.
“Mau ke mana?”
“Ke mana saja, sebelum aku menikah minggu depan.”
“Hey, setelah kamu menikah, kamu juga tetap harus memboncengkanku ke mana pun aku mau!” kataku sambil menyelipkan pasfotoku ke saku gamisnya.
Lien tak menjawab, justru kayuhan sepedanya yang makin cepat. Kami hanya berkeliling kompleks dusun kami, menyusuri jalanan setapak di desa yang masih alami, dengan lumut di beberapa bagiannya yang membuatku takut terpeleset. Kami habiskan waktu hingga senja menjemput kelelahan kami dan menggiring kami memasuki malam.
Esok harinya, Lien datang pagi-pagi sekali ketika aku masih meringkuk di balik selimut. Dia menyuruhku ke rumahnya dan membantunya memasak.
“Ibumu pergi?” tanyaku dengan mata setengah terbuka.
“Tidak. Aku hanya ingin memasak, dan aku butuh bantuanmu.”
Aku masih mengantuk dan lelah karena semalam begadang mengerjakan tugas kuliah, namun aku tidak tega menolak Lien. Hari itu aku menghabiskan waktu bersama Lien. Kami memasak berbagai masakan tradisional yang bahan-bahannya kami petik di kebun milik nenek Lien.
Kami juga ikut membantu nenek Lien menanam padi di sawah. Sebenarnya aku benci berpanas-panasan, juga bau lumpur di sawah yang terkadang membuatku sedikit mual. Namun, entah mengapa, untuk Lien, aku tidak lagi mementingkan egoku. Semua terasa seru dan baik-baik saja ketika bersamanya. Walaupun tak jarang aku juga panik memikirkan tugas-tugas kuliahku yang menumpuk dengan deadline pengumpulan yang berkejaran. Malamnya, setelah seharian memasak dan menanam padi, aku baru bisa fokus mengerjakan tugas kuliahku.
Ternyata esok paginya, hingga esoknya lagi dan pada akhirnya setiap hari aku selalu menghabiskan waktu bersama Lien, di sela-sela jadwal kuliahku. Dia sedang cuti kerja, namun dia tidak memberitahuku alasannya.
Kami melakukan banyak hal di hari-hari menjelang pernikahannya. Tidak seperti sepasang sahabat lainnya di zaman sekarang yang menghabiskan waktu bersama di kafe, pusat perbelanjaan, atau bioskop. Kami justru asyik membuat berbagai kerajinan dari kain perca, mulai dari membuat baju boneka barbie, hingga bandana dan ikat rambut. Selain itu, kami juga membuat berbagai menu masakan yang kami makan sendiri. Sesekali dia juga mengajakku bermain bersama keponakannya yang masih bayi. Juga memberi makan ayam dan bebek, walaupun aku takut sekali dengan kedua hewan itu, namun lagi-lagi Lien membuatku tetap enjoy melakukannya. Tak lupa dia juga mengajariku mengendarai becak milik ayahnya. Namun sayang, aku tidak bisa karena itu terlalu berat. Karena Lien bisa dan kuat, dia pun menyuruhku menjadi penumpang dan kami mengelilingi kompleks dusun kami dengan becak itu.
“Sudah jam 14.00, waktunya kamu kuliah, Az.”
Aku hanya menyengir dan segera pulang.
***
Esoknya, tepatnya sehari sebelum pernikahan Lien, dia menghampiriku kembali namun dengan mata sembab dan tangisan yang aku baru pernah melihatnya.
“Ada apa?” tanyaku cemas sambil memeluk Lien. Aku bertanya berkali-kali karena ia tak kunjung menjawab.
“Berhenti bertanya ada apa, Azkia.” jawabnya dengan tangis yang mulai mereda, menyisakan pipinya yang basah dan matanya yang memerah. Dadanya naik turun, menahan sesak.
“Aku mau meminta maaf karena telah menjadi parasit dalam hidupmu.” lanjutnya sambil melepas pelukanku.
“Aku tidak mengerti, Lien.”
“Aku selalu membebanimu.”
“Tidak, Lien.” balasku dengan pelupuk mata yang mulai berkaca-kaca.
“Bisakah kamu diam dulu?” ujarnya sambil menunduk.
Aku diam, menunggu perkataannya selanjutnya meskipun hatiku bergemuruh tak karuan karena Lien sangat berbeda hari ini. Dia terlihat sangat hancur, tidak setegar yang selama ini dia tunjukkan padaku.
“Aku tahu aku cuma anak tukang becak, bahkan ibuku tidak bekerja. Sedangkan kamu anak pejabat dan aku pikir kasta kita memang tidak sama. Apalagi aku hanya lulusan SMP, sedangkan kamu calon sarjana. Orang-orang berkata kalau aku tidak seharusnya menjadi parasit dihidupmu, Az. Aku sering meminjam uangmu, juga waktumu, yang seharusnya sudah aku kembalikan secepatnya. Kenapa seorang seperti kamu mau menjadi parasit yang selalu kumintai segala hal?”
“Lien, aku tidak pernah mempermasalahkan itu semua dan bukankah selama ini kita selalu baik-baik saja? Bisakah kamu biarkan anjing-anjing itu menggonggong saja?”
“Aku punya telinga dan gonggongan itu sangat menggangguku, Azkia. Oh iya, bukankah kamu tidak suka memasak karena takut api? Kamu juga tidak suka di sawah karena panas dan bau lumpur? Kamu takut ayam dan bebek, kamu tidak suka menjahit dan kamu bosan dengan kegiatan dan permainan kuno dariku. Iya, kan?”
Hening sejenak. Kemudian Lien melanjutkan perkataannya.
“Aku hanya membebanimu. Aku hanya menyita waktumu. Seharusnya kamu banyak belajar untuk kuliah dan fokus mengerjakan tugasmu serta mempersiapkan ujian. Tapi kamu justru menghabiskan waktumu bersamaku. Apakah kuliahmu tidak berantakan karena aku? Dasar bodoh. Kenapa bunga mawar sepertimu hidup berdampingan dengan bunga bakung sepertiku?”
“Kamu terus bertanya tanpa mengizinkanku menjawab?” tanyaku agak kesal.
“Itu pertanyaan retorik, Azkia.” jawabnya sambil mengusap pipinya. Tak terasa air matanya jatuh lagi lebih deras daripada ketika awal dia menemuiku tadi.
“Aku tahu ini klise. Hal ini banyak terjadi di sinetron atau drama korea. Tentang persahabatan dan kesenjangan yang menghalanginya. Tapi ini nyata adanya di kehidupan kita, Az. Jadi, daripada menyakiti satu sama lain, lebih baik kita saling memahami bahwa kita tidak lagi bisa bersama di satu bumi yang sama. Aku minta maaf telah membebanimu.”
Aku tidak bisa berkata-kata saking tidak mengerti. Hanya air mataku yang menjawab semua pernyataan retoriknya yang tak masuk akal. Sementara hatiku tak berhenti bertanya, “Kenapa dia menjadi banyak bertanya, menuduh, serta menyimpulkan keadaan dan perasaan orang lain hanya dengan dari mulutnya sendiri? Sejak kapan dia menjadi tidak menghargai pendapat dariku? Kenapa dia menjadi sangat sensitif?”. Oh, mungkin karena omongan orang-orang tentang persahabatan antara aku dengannya, seperti yang ia bilang tadi.
Selama ini, aku baik-baik saja ketika bersamanya. Tak merasa ada beban apapun. Terkadang memang aku suka geleng-geleng kepala menghadapi Lien. Mungkin teman-teman lain tidak akan betah berteman dengannya, mereka tidak suka perilaku Lien yang datar, aneh, dan suka nyeleneh. Mereka juga heran kenapa aku tetap bisa berteman dengannya meskipun tak jarang aku kesal dengan sikapnya. Bukan karena kami teman sejak masih minum ASI, atau bukan pula karena rumah kami yang hanya lima langkah jaraknya. Namun, karena segala keanehan yang dia punya, justru itu yang membuatku merasakan ketulusannya berteman denganku dan karena dia membuatku mengeksplor banyak hal yang tidak bisa aku lakukan sendirian.
“Azkia, ikhlaskan kepergian Lien. Mama tahu Lien orang baik, dia akan tenang di sana.”
“Lien?” panggilku dengan suara lemah.
“Iya, Sayang, ayo kita ketemu Lien untuk terakhir kali. Jangan menangis, nanti Lien sedih.”
Hanya suara Mama yang menjawabku. Lien yang menghilang dan suara orang-orang dari rumah Lien yang terdengar hingga ke kamarku menyadarkanku. Ternyata sedari tadi aku melamun dan otakku memutarkan memori hari-hari sebelum kematian Lien. Aku menuju ke jendela kamarku yang jarang sekali kubuka. Kusibak gorden yang berdebu dan Mama membantu membuka jendelanya. Tidak ada silau dari sinar matahari seperti biasanya. Mendung menggelantung di langit kelabu, seolah siap menangis bersamaku mengantar kepergian Lien. Kulihat di jendela kamar Lien, di seberang jendela kamarku. Lien tersenyum, dengan jilbab dan gamis yang terakhir dia kenakan ketika bertemu denganku. Aku berkata lirih padanya, “Kamu bukan parasit, Lien. Tapi kenanganmulah parasitnya. Mereka tetap ada dan mengikutiku ke mana pun, bahkan mengganggu hidupku, kuliahku, menyita waktuku. Mereka membuat hidupku berantakan, Lien. Mereka tak henti-hentinya membebani punggungku sehingga aku tak lagi bisa berdiri tegak setegak dulu saat masih ada kamu.”
Aku membalik badanku dan memeluk Mama. Mama berkata, “Kita hidup itu butuh beban, Sayang. Tanpa beban, hidup kita akan terlalu ringan sehingga kita akan mudah terbang hingga lupa berpijak pada bumi. Sejatinya, beban itu bukan untuk menjatuhkan kita, tapi dia yang menguatkan kita.”
Angin semilir menemani sore yang penuh duka. Dengan segenap kekuatan dari puing-puing kenangan antara aku dengan Lien, aku menemui calon suami Lien. Kami hanya beradu pandang, hanyut dalam duka yang tiada ada ujungnya. Semua orang-orang yang berduka di hari itu, sedang menguatkan diri mereka masing-masing dari segala beban yang seolah akan segera meruntuhkan hidup mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H