“Jangan menikah dulu!”
Kulihat raut wajahnya berubah. Ia tampak kesal, namun juga merasa bersalah.
Aku tertawa lagi, “Aku bercanda! Kamu sudah berpenghasilan dan menemukan tambatan hati. Aku juga sedang sibuk-sibuknya kuliah. Pada akhirnya kita punya jalan kita masing-masing.”
Lien tak membalas perkataanku sepatah katapun. Dia bangkit dan menarik lenganku, mengajakku keluar kamar.
“Mau ke mana?”
“Ke mana saja, sebelum aku menikah minggu depan.”
“Hey, setelah kamu menikah, kamu juga tetap harus memboncengkanku ke mana pun aku mau!” kataku sambil menyelipkan pasfotoku ke saku gamisnya.
Lien tak menjawab, justru kayuhan sepedanya yang makin cepat. Kami hanya berkeliling kompleks dusun kami, menyusuri jalanan setapak di desa yang masih alami, dengan lumut di beberapa bagiannya yang membuatku takut terpeleset. Kami habiskan waktu hingga senja menjemput kelelahan kami dan menggiring kami memasuki malam.
Esok harinya, Lien datang pagi-pagi sekali ketika aku masih meringkuk di balik selimut. Dia menyuruhku ke rumahnya dan membantunya memasak.
“Ibumu pergi?” tanyaku dengan mata setengah terbuka.
“Tidak. Aku hanya ingin memasak, dan aku butuh bantuanmu.”